Tugas Terakhir

Penaclaret.com – Si Raja siang merangkak berbalik ke peraduannya. Perlahan namun pasti. Pantulan jingganya dari lautan tenang menambah indahnya kisah senja ini. Kisah senja sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara. Deburan ombak tidak terlalu keras. Cukup untuk membasahi mata kaki. Di bibir pantai aku berdiri tegak menatap wajah bulat Febi. Tiba-tiba semuanya terasa sunyi. Ombak seolah-olah berhenti berdebur. Angin seakan malas berhembus. Waktu seakan lelah berputar.

Degupan jatungku berpacuh kencang bak pelari yang baru saja berenti.  Darah seakan megalir deras di setiap nadiku. Bibirku gemetar seperti melihat hantu. Perlahan aku memegang tangannya lembut.  Tiba-tiba… “Kring, kring, kring,” terdengar suara handphone di dekat kepalaku. Reflex, tanganku meraih benda itu. “Febi, selamat pagi. Ayok bangun! Udah jam 6 ni,” terdengar suara dari seberang menyapa. “Aku udah bangun kok,” balasku. “Ahh boong bangat. Udah bangun kok suaranya gitu,” timpal Febi. “Jangan lupa sebentar sebelum kuliah ngisi presensinya ya. Tugasmu udah aku kerja. Nanti tinggal kamu ngirim aja ke LMS ya, tambah Febi. “Asiap ibu,” balasku sebelum mematikan sambungan telepon.

“Ahh sial! Ternyata tadi itu hanya mimpi. Aku pikir itu benar-benar terjadi. Indah bangat mimpiku tadi,” gumanku dalam hati. Febi adalah wanita cantik dan pintar di kampus. Dulu sebelum pandemi Covid-19, aku sekelas dengan dengannya. Dia selalu memberiku perhatian lebih dibanding teman-teman lainnya. Dia membantuku dalam belajar khususnya dalam mengerjakan tugas-tugas.

“Kamu mandi nggak? rambutmu kelihatan kusut bangat,” tanya Febi setiap pagi ketika kami bergerak menuju kelas. Itulah kebiasaannya ketika bertemu denganku setiap pagi. Ia selalu saja mengoreksi semua penampilanku. Mulai dari ujung rambut hingga sepatu yang aku kenakan. “Ya mandilah! Tapi tadi emang aku sengaja nggak nyisir rambut. Aku mau kelihatan berantakan biar nggak ada cewek yang suka sama aku”, balasku sedikit percaya diri. Febi hanya memukul bahuku lembut mendengar jawaban itu.

Baca juga :  Mimpi Nahum

Kini semua perkuliahan dilakukan dari rumah. Febi tidak lagi mengoreksi penampilanku. Dia juga tidak lagi memukul bahuku setiap kali aku membuatnya marah. Febi adalah semangatku untuk belajar. Maklum, dia adalah orang yang aku cintai. Namun aku tidak berani mengungkapkanya. Lebih tepatnya, aku takut mengatakannya karena takut kehilangannya. Bagaimana jika ia tidak suka denganku? Tapi, bukankah ia selalu memberi perhatian lebih kepadaku? Apakah itu tanda bahwa dia menyukaiku? Aku tidak mau kehilangan kebersamaan dengannya.

Sejak memulai perkuliahan semester ini dengan sistem daring, aku agak malas bangun pagi. Namun setiap pagi Febi pasti selalu menelpon untuk membangunkanku. Aku semakin yakin bahwa dia juga menyukaiku. Dia selalu memberi perhatian lebih kepadaku.

Aku tidak sanggup lagi memendam perasaan ini. Aku benar-benar mencintainya. Aku harus mengungkapkan perasaanku ini. Memendam hanya akan membawa luka. Tapi apakah mengungkapakan juga tidak mendatangkan luka? Semua pertaanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalaku. Namun keputusanku sudah bulat. Aku harus mengungkapkan cintaku kepadanya.

***

Malam minggu kini menyapa. Aku sudah menepi bersama Honda CBR 150R milikku di sebuah lorong jalan yang kelihatan sepi. Mataku mencari seseorang yang belum muncul juga dari dari dalam kost. “Febi, kamu dimana? Aku udah di depan ni,” chatku singkat. Tidak sampai satu menit dia sudah berada di hadapanku. Mataku tak bisa berpaling darinya. Malan ini dia benar-benar cantik. “Ayo, jalan!” kata Febi menyadarkan aku dari kekaguman.

Honda CBR 150Rku mulai membelah jalur kota. Febi duduk rapi dibelakangku. Aku sengaja mengendarai motorku agak pelan, menikmati momen yang selalu aku nantikan, momen indah bersama wanita berhati malaikat yang hadir dalam hidupku. Setelah tiga puluh menit berkeliling, kuda besiku menepi tapat di sebuah coffe bertuliskan Bitter Way. Sengajaku pilih tempat ini karena situasi agak romantis.

Baca juga :  Tiada Selain-Mu

Aku dan Febi mengambil posisi agak di pojok caffé. Sambil menikmati coffe latte yang tadi aku pesan, aku dan Febi mengobrol soal tugas kampus dan kegiatan studi.  Aku masih mengumpulkan keberanian untuk mengungkapakan perasaanku. Aku tahu hal ini akan sulit bagiku karena aku harus mengungkapkan perasaanku kepada orang yang paling dekat denganku.

“Febi, aku mau ngomong serius sama kamu, kataku agak gugup. “Ngomong aja. Aku dengar kok,” jawab Febi santai. “Aku serius”, balasku sambil memegang tangannya. “Aku mau ngomong serius sama kamu. Malam ini aku sengaja ngajak kamu ke sini soalnya aku mau ngungkapin rasa yang selama ini aku pendam,” lanjutku. Aku sedikit memperbaiki posisi dudukku dan menarik nafas panjang. “Aku nggak tau harus mulai dari mana karena aku juga bingung dengan dengan diriku. Aku sebenarnya memendam perasaan cinta yang sangat besar selama ini. Namun aku tidak berani mengungkapkannya karena aku takut semuanya menjadi hancur,” kataku terbata-bata. “Maksud kamu apa Yo? Jangan buat aku bingung. Kok tiba-tiba suasananya jadi berubah gini. Kamu serius amat sih” potong Febi. “Febi, Maksudku gini. Aku tuh suka sama kamu. Aku cinta sama kamu. Dan itu yang aku rasakan selama ini,” balasku dengan bibir yang agak bergetar. “Aku udah pendam rasa ini sejak lama. Aku takut mengungkapkanya karena takut kehilangan kamu,” lanjutku.

Febi menatapku biasa saja. Kata-kata itu sepertinya tidak berefek sama sekali baginya. Dia bahkan merasa bingung dengan tingkahku yang menurutnya mungkin aneh. “Yo, aku selama ini dekat sama kamu, baik sama kamu bukan karena aku punya perasaan sama kamu. Aku dekat sama kamu karena kamu mengingatkanku pada seseorang yang telah hilang dimakan waktu. Dia telah pergi selamanya,” balas Febi dengan mata berkaca-kaca.

Baca juga :  Siasat Antologi Puisi Petrus Nandi

***

Dua tahun lalu…

“Febi, bantuin aku donk, kerjakan tugasku,” pinta Yohan agak memohon. “Ahh, malas bangat kamu. Tugas segitu aja nggak bisa dikerjain. Dasar anak malas,” balasku sedikit emosi. “Kepalaku sakit bangat Febi. Aku nggak bisa kerjakan tugasku,” balas Yohan. “Dasar manja. Pokoknya aku nggak mau. Terserah kamu mau ngerjain atau nggak, itu bukan urusanku” bantahku.

Aku sangat kesal dengan Yohan yang akhir-akhir ini selalu memintaku membantu mengerjakan tugasnya. Aku lalu berbalik untuk keluar dari kamar Yohan. Jarakku belum sampai lima langkah dari kamarnya, tiba-tiba terdengar suara, “plak” dari dalam kamar Yohan. Dengan cepat aku berlari memastika apa yang sedang terjadi. Ternyata Yohan pingsan. Mukanya pucat sekali. Darah mengalir deras dari hidungnya.

Aku yang melihat itu sangat ketakutan. Dengan cepat aku pangku kepala Yohan, adik sepupuku yang kini terkulai tak berdaya. “Febi, tolong kerjakan tugasku yah. Ini tugas terakhir yang aku minta kamu kerjakan. Ke depannya, kamu nggak akan repot-repot lagi mengerjakan tugas-tugasku,” kata Yohan dengan suara yang hampir tak bisa terdengar. Itulah kata-kata terakhir yang aku dengar dari Yohan sebelum dia masuk rumah sakit dan akhirnya pergi selamanya.