“Bila sunyi adalah bunyi yang sembunyi lalu bagaimana dengan malam? Bisakah kita menyebutnya sebagai siang yang tidak berisik?”
Dalam keheningan malam, suara hatiku meminta izin untuk berbicara. Aku ingin memulai dengan mengatakan bahwa betapa beruntungnya aku memiliki classmate sepertimu. Setiap detik bersamamu adalah bagian dari sebuah kisah cinta yang penuh warna meski hanya bisa kupendam. Tapi, di antara kerlipan bintang-bintang dan sentuhan angin malam, aku bingung dari mana aku harus memulai. Biarlah rasa cinta dalam sembunyi ini kumulai dengan senyumanmu yang mampu mencairkan kebimbanganku ini. Mungkin, seperti halaman yang putih, kita bisa mengisi lembaran hidup kita bersama dengan kisah cinta yang tak akan terlupakan. Jadi, izinkan aku memulai goresan hatiku ini dengan satu kata: cinta.
Cinta ini perlahan tumbuh meski masih tersembunyi. Bahwasannya tidak semua rasa cinta harus diungkapkan dengan pekikan yang lantang seperti mengatakan; “I Love You”. Itu hanya salah satu dari sekian banyak cara terbaik untuk mengungkapkan rasa yang selalu menggebu dalam dada setiap kita. Aku pun percaya bahwa sesuatu yang bernama rasa itu jauh lebih besar melampaui apa yang terkatakan oleh mulut. Rasa itu beyond dan memiliki caranya tersendiri untuk menyatakan dirinya. Diam. Dan sunyi sekali pun ia tetap ada dan bertumbuh. Mulut bisa saja menipu tapi hati selalu mengatakan kebenaran. Hati tidak pernah berpura-pura. Itulah mengapa aku pun memilih untuk berdiam dan bersembunyi dalam sunyi bersama rasa ini agar kau tidak merasa risih denganku.
***
“Bingung….!” Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan situasi yang kualami malam ini.. Bingung dengan situasi, bingung akan kondisi, bingung terhadap keadaan hati yang tentunya membingungkan.,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,suasana bingung membuatku diam . Dalam diam tanpa kata terucap jari jemari ini mulai berkreasi memainkan keyboard laptop untuk mengisi kekosongan selembar word yang ada di kursi belajarku.
Entah mengapa pikiran mulai mengingat kembali peristiwa singkat hari kemarin bersama weta (sebutan untuk saudari perempuan dalam bahasa Bajawa) di kelas. Karena itulah tercipta tulisan kecil ini yang akan diberikan kepadanya …
Surat Untuk Weta
“Sepertinya harus menggunakan bahasa yang sederhana untuk mengisahkan perjumpaan yang sederhana namun membekas. Aahhh,, hal yang ‘sederhana’ ini nampaknya tidak sesederhana seperti defenisi sederhana pada umumnya, karena yang ‘sederhana’, kini menjadi rumit dan berbelit sehingga membuat diri ini menjerit, namun tindakanku tetap melejit.
Lebih tepatnya hal yang akan dibicarakan ini mengenai ”RASA”.. Yaaa,, terdapat begitu banyak rasa, tergantung situasi, kondisi dan keadaan. Rasa itu memberikan banyak arti ,tergantung orang yang mengalami ‘Rasa’. Hmmmm,,, Rasa juga membingungkan sebab terdapat pula rasa yang sulit diartikan maupun didefenisikan.
”Rasa” yang dibagikan ini bukanlah rasa yang bisa dimakan, namun bisa dicerna, ‘Rasa’ yang sulit diungkapkan namun bisa dialami..
”Rasa inilah yang kumau ,,tentang dia yang kumau, kurasa yang lain juga pasti tahu,, kalau kita saling tahu….”
Yang selalu memikirkanmu dalam diam…
Entah bagaimana, itulah goresan tinta cintaku malam ini selepas sambung rasa di kelas minggu lalu. Mudah-mudahan, setiap kata yang keluar dari hati yang masih membeku ini bisa menjadi kalimat pertama dari kisah cinta kita yang tak akan terbatas.
Pojok K-18_Lembah Matani,
Senin, 23-10-2023
Mahasiswa Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira-Kupang. Pencinta kopi, senja dan novel Jonathan Livingston, Karya Richard Bach.