(Harmoni Terlarang: Ketika Hati Memilih yang Tidak Bisa Menjadi Milik1)
“Cinta itu indah ketika baru dimulai dan
akan terasa lebih indah bila bertahan sampai akhir”
Selasa, 17/10/2023 Pukul 10.05 WITA: Budaya Sambung Rasa
Claretpath.com-Suatu siang yang panas dan gaduh di ruang kelas Aristoteles, di antara kursi-kursi yang teratur dan buku-buku yang terbuka, tersembunyi sebuah kisah cinta yang tak terucap. Di antara deretan kursi dan meja, dua hati saling memikat, tetapi tak bisa menyatukan diri dalam keheningan pembelajaran. Sosok-sosok itu, terjebak dalam pandangan yang berbicara tanpa kata-kata, menciptakan simfoni diam yang memenuhi ruang kelas dengan rahasia cinta yang tumbuh di setiap tatapan. Mereka tidak bisa berbicara secara keras mengenai perasaan yang perlahan-lahan sudah mulai tumbuh di dalam relung hati. Seketika mereka menemukan sebuah cara komunikasi cinta yang amat klasik, unik dan romantis. Ya, mereka mulai membangun komunikasi cinta bukan dengan menggunakan WhatsApp tapi melalui surat-menyurat. Selembar kertas putih menjadi jembatan penghubung serentak penyambung rasa dan pergulatan hidup mereka berdua sebagai seorang Frater dan Suster.
Mari kita temukan keajaiban di balik buku pelajaran, kertas penghubung sekaligus penyambung di mana cerita cinta mereka merajut benang tak terlihat di setiap sudut ruang kelas yang penuh arti namun tak bisa saling memiliki. Frater Rusthom mulai menyapa Suster Yustin dengan kelihaian romantismenya melalui secarik kertas buram.
Fr. Rusthom, OCD: Hari ke-17 di bulan ke-10, antara mata dua pribadi bertemu tanpa perencanaan. Pukul 10.05 WITA, mata hati mulai berkata tanpa suara. Disaksikan oleh guru besar Filsafat Kebudayaan, menghasilkan satu budaya baru, yakni BUDAYA SAMBUNG RASA.
Sr. Yustin, SSpS: Dan aku pun merasakan hal yang sama bahwa rasa itu akan selalu ada.
Fr. Rusthom, OCD: Sebetulnya rasa yang ada telah kuungkapkan pada hari yang telah silam. Namun, sisi lain dalam diriku berbisik bahwa aku perlu diam.
Sr. Yustin, SSpS: Diam yang penuh makna itulah yang kita namakan sebagai rasa. Bahwa sesuatu yang bernama rasa itu terkadang tidak harus perlu kita ungkapkan melalui kata-kata. Tetapi terkadang kita harus membiarkan rasa itu sendiri yang berbicara dengan caranya sendiri. Bahkan bila tanpa kata-kata. Diam. Itu sudah cukup. Diam itu bukan berarti bahwa rasa itu lewat begitu saja layaknya angin lalu. Tidak. Rasa yang berbicara dan bergerak dalam diam, sejatinya mau mengatakan bahwa rasa itu sudah mulai terpatri di sini dan di sana, di hatiku dan hatimu.
Fr. Rusthom, OCD: Kalau begitu, izinkan diri ini dalam diam memperhatikanmu, dalam diam mengagumimu, dalam diam menjagamu dan dalam diam bertindak di balik layar pesonamu demi membuktikan kebenaran tentang silent love ini, tentang rasa sejati ini.
***
Fr. Rusthom, OCD: Lakukan pekerjaan kecil dengan cinta yang besar.
Sr. Yustin, SSpS: Dan lakukanlah cinta yang besar itu dengan rendah hati.
Fr. Rusthom, OCD: Kerendahan hati menunjuk pada ketulusan cinta.
Sr. Yustin, SSpS: Dan ketulusan cinta itu akan bergerak menuju pada keabadian.
Fr. Rusthom, OCD: Untuk bisa menggapai keabadian, kita pun harus bersatu.
Sr. Yustin, SSpS: Dan persatuan itu pun haruslah sebuah persatuan yang dikehendaki oleh Sang Pencipta, yakni Allah.
Fr. Rusthom, OCD: Dengan itu, maka genaplah Firman Allah ini: “Apa yang telah dipersatukan Allah, janganlah diceraikan lagi oleh manusia”
***
Bapa Rohani: Kapan berkat…?? Diam. Lalu kembali merenung.
Sr. Yustin, SSpS: Apakah bapa Rohani setuju??
Bapa Rohani: Sejuta dulu baru setuju.
Fr. Rusthom, OCD: Sepertinya kami sudah melampaui sejuta deh…
Sr. Yustin, SSpS: Karena itu, kami bersatu dalam sejuta setuju itu untuk mengkristalisasi cinta kami berdua.
Bapa Rohani: Musnas! Wora! Artinya: Berhenti! Penipu! (Kata Musnas berasal dari Bahasa Dawan dan Wora berasal dari Bahasa Ende)
Semoga buah cinta kalian pun boleh berbuah melimpah melampaui sejuta itu. AMIN.
(A)llah (M)au (I)ndahkan (N)egosiasi cinta kita berdua.
***BERSAMBUNG***
Kupang, 17/10/2023
Ruang Kelas Aristoteles-Fakultas Filsafat Unwira Kupang.
- Judul Cerpen ini adalah: “Jubahmu Belisku”. Cerpen ini merupakan hasil dialektika lepas antara Fr. Rusthom, OCD bersama Sr. Yustin, SSpS. Keduanya merupakan teman kelas yang kini sedang menempuh pendidikan Filsafat di Unwira Kupang. Kini keduanya berada di semester 5 dan selalu saling mendukung dalam menekuni perjalanan panggilan hidup membiara mereka masing-masing. Penulis juga sudah mendapat izin untuk mempublikasikan hasil dialog mereka seputar pergulatan hidup membiara dan cinta yang ikut hadir dalam panggilan mereka dengan tetap mempertahankan nama asli mereka berdua. Rencananya, cerpen: “Jubahmu Belisku” ini akan dipublikasikan per episode. ↩︎
Mahasiswa Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira-Kupang. Pencinta kopi, senja dan novel Jonathan Livingston, Karya Richard Bach.