Namaku Rio. Ayah dan ibuku asli Yogyakarta, tetapi sejak kelas 4 SD kami harus pindah ke Jakarta karena tugas baru ayah. Di sini, aku menghabiskan masa kecilku hingga tamat perguruan tinggi Universitas Indonesia. Ayah dan ibu menginginkanku untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri tapi aku sendiri belum mengiyakan. Bukan karena aku tak ingin sekolah tinggi, tapi ada suatu pilihan lain yang muncul tiba-tiba beberapa bulan terakhir. Aku ingin masuk biara. Sebuah pilihan yang pasti akan sangat mengejutkan kedua orangtuaku. Apalagi aku adalah anak tunggal dalam keluarga. Malam itu, kuberanikan diri untuk mengatakan niatku pada mereka. Apapun yang terjadi, aku sudah siap.
“Ayah, ibu, aku sudah merencanakan dengan matang. Maafkan aku jika kali ini tidak bisa mengikuti keinginan ayah dan ibu. Aku sudah punya pilihan sendiri. Aku ingin masuk biara.”
Ayahku kaget mendengarnya. Ibu pun demikian. Tapi aku tahu, ayah dan ibu bukanlah tipe orang yang suka memaksakan kehendak. Sejak kecil mereka telah mengajariku keberanian untuk memutuskan sendiri. Asal bertanggung jawab.
“Rio. Selama ini, ayah dan ibu sudah berusaha memberikan yang terbaik bagimu. Kamu pun sudah membalas semuanya dengan tidak pernah mengecewakan kami. Hidup di biara bukanlah apa yang ayah dan ibu inginkan. Tapi jika itu memang keinginanmu, kami hanya bisa mendukung.”
Begitulah ayah ibuku. Mereka memang tidak akan pernah menolak apapun keinginanku. Kurangkul mereka satu per satu. Airmataku jatuh karena bangga memiliki mereka.
“Ayah, ibu, terimakasih.”
***
Satu bulan telah berlalu setelah keputusan pentingku malam itu. Aku akan hidup membiara. Aku bergabung dengan kongregasi Para Misionaris Claretian. Karena sudah menyelesaikan perguruan tinggi, aku akan langsung diterima di Novisiat. Begitu penjelasan salah seorang pastor Claretian.
Menamatkan Studi S1 di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Staf pengajar di SMA Pancasila, Borong. Tinggal di Paroki Borong.