Aleteia

Penaclaret.com – Aleteia, aku tak pernah menyangka bahwa semua akan berakhir secepat ini. Aku bahkan tak pernah tahu cinta telah membimbing kita sampai mana. Yang aku percayai saat ini adalah cinta telah memalingkan mukanya, dan kita hanya bisa tunduk tanpa sedikitpun paham dengan luka yang ditorehkannya. Dan yang paling menyebalkan adalah, kau yang memilih pergi tanpa sedikitpun memberi ruang bagi kita untuk berjuang bersama.

Aleteia, kau lupa bahwa pergimu yang terlalu tiba-tiba dan tanpa sepengetahuanku adalah ujian kesetiaan paling berat. Saat aku mulai betah mengagumimu, kau malah hilang tanpa sedikitpun menitipkan pesan. Sungguh, kau pecundang paling memikat. Mencintaimu telah membuatku paham bahwa jarak antara luka dan keindahan itu terlampau dekat. Pergilah, ya pergilah bersama angin menuju luka-luka yang hanya sembuh oleh air mata. Kuhargai lukamu, karena aku tahu darimana kau mendapatkannya.

Sekarang semesta pun paham bahwa puncak dari rasa rindu adalah kehilangan. Jangan salahkan aku, karena bila merindukanmu adalah dosa tak terampuni maka hidupku adalah jalan paling pintas menuju neraka. Kini, bahkan pada saat aku harus menghadapi kenyataan tanpa hadirmu, bayangmu yang terlalu rapuh di hadapan sebuah paling masih setia menunggu di depan pintu penuh harap. Ia datang tanpa paksaan karena ia tahu hati mana yang takut berkhianat.

Baca juga :  Semogaku Enggan Menjadi Amin

Aleteia, kisah cinta kita adalah pentas penuh tragedi, saling menyanjung tapi lupa mempersiapkan diri untuk setiap kenyataan pahit yang berdiri di tengah kita. Kita lebih suka saling mengagumi daripada membiarkan cinta mengajarkan tentang arti memiliki. Kau tahu berapa banyak orang yang akhirnya berbalik dan mengutuki kekasihnya hanya karena terlampau dikuasai hasrat yang bersembunyi di balik perasaan-perasaan sesaat? Cinta tidak seperti itu. Ia bukan pesona yang dipentaskan pada sebuah panggung lalu menjadi tontonan menghibur kala hati sedang kusut. Ia juga bukan tempat segala keinginan menjadi mungkin. Cinta adalah pertarungan berdarah, sampai kau mengerti bahwa kebahagiaan tidak selamanya menjadi milik mereka yang tak pernah terluka. Itulah alasannya mengapa cinta selalu raib di hadapan seorang pengecut.

Tapi sudahlah. Mengharapkan kau kembali itu sama seperti mengumpulkan penyesalan untuk kutangisi lagi esok hari. Aku akan terus menjadi sahabat bagi kesendirian ini. Kini, kehilangan membuatku paham bahwa mencintai itu ibarat memandang sebuah gunung; semakin aku berdiri jauh semakin aku melihat keindahannya. Aku tak akan membuat cinta menjadi lebih mengerikan dengan membenci kepergianmu. Mencintai tidak harus berakhir dengan menambah satu musuh dalam hidupku. Tuhan pun tahu jatuh cinta tidak pernah jadi dosa, meski aku sadar itu bukan pilihan terbaikku.

Baca juga :  Tentang Rasa

Kepergianmu telah mengajariku banyak hal. Terutama tentang janji yang kadang hanya menjadi penghibur bagi hati yang sedang kasmaran. Bukankah kau pernah bilang ‘jika kau setia, cinta akan membimbingmu, bila tidak, ia memaksamu?’ Tapi apa yang kau lakukan membuat segalanya menjadi jelas; bahwa kata tidak selalu menjadi ungkapan sempurna dari setiap perasaan yang selalu berubah. Satu-satunya kebenaran dari kata-katamu adalah bahwa cinta telah memaksamu untuk membuat pilihan tanpa mengindahkan kesiapan yang lain. Bukankah itu egois?

Aleteia, sesungguhnya rasa sakit ini tidak datang dari pengkhianatan, tapi perjumpaan awal yang terlampau mengesankan. Aku tidak membenci kepergianmu, tapi aku membenci keputusanku untuk terlalu cepat masuk dalam hidupmu. Sekarang aku akan belajar untuk memeluk rasa sakit dengan caraku sendiri. Membuatnya menjadi bagian dari pilihan paling rumit dari setiap keputusanku untuk mencintaimu dulu. Aku tahu ini bukanlah sebuah kegagalan, karena jika prahara adalah perihal yang ingin selalu dihindari, maka tak ada seorangpun di dunia ini yang benar-benar mau mencintai dengan ikhlas. Aku masih percaya bahwa di setiap kehilangan hati mampu menyingkapkan muara sesungguhnya dari cinta yang paling murni. Yang kubutuhkan kini adalah percaya bahwa keyakinan itu dapat berbuah kelak.

Tapi Aleteia, aku tahu bahwa pilihanmu untuk pergi tidak semuanya menjadi salahmu. Aku sadar, ada hal-hal yang tidak harus dijelaskan, bila ia hanya mendatangkan luka yang lebih besar. Sekarang, kita hanya perlu lebih tepat meletakkan duka-duka ini pada tempat yang seharusnya. Ini bukanlah akhir dari segala usahaku untuk mencintaimu, karena jika dunia tidak pernah  menjadi tempat yang nyaman, maka izinkan aku memelukmu di surga kelak. Karena sesungguhnya, mencintaimu adalah hal terbodoh yang selalu kunikmati.

Baca juga :  JANGAN MELIHAT FOTO ITU

Aleteia, kau bisa melarangku untuk memilikimu, tapi kau tidak perlu memaksaku untuk berhenti mencintaimu. Kau mungkin diberi kesempatan untuk memilih siapa lagi yang harus kau cintai, tapi kau tak punya kesempatan untuk memilih bagiku hati siapa yang pantas kucintai. Karena jika aku harus memilih untuk mencintai seseorang lagi, maka itu adalah dirimu yang dulu, yang mengajarkanku bahwa untuk jatuh cinta orang tidak perlu alasan yang terlalu rumit.

Sekarang, aku akan jatuh cinta lagi padamu, tapi dengan diam-diam. Aku yakin, itu juga sebuah doa. Akan kusimpan kenangan kita pada lapisan terluar cerita ini, agar ia tinggal bersama remah-remahnya yang jatuh ke tanah tanpa terus melukai siapapun di antara kita.

Penulis: Angga UsfalEditor: Rio Nahak