Fragmen Sebuah Minggu Pagi

Penaclaret.com – Jalanan enggan menjadi jalan setelah lelah mengalasi orang-orang berlari meninggalkan luka –dan memburu luka. Wajah-wajah melebam. Ada yang tertambat di reranting belimbing: potongan-potongan kesedihan. Menjelma karbon dan membiarkan pohon tumbuh dalam kepalsuan yang paling palsu.

Seorang gadis menulis sajak teramat samak. Kata-kata tercurah dari asap rokok dan kopi yang kehilangan hijau di bibir gelas. Aku menjarah gelisah berhamburan dari rambutnya. Kubisikkan bahwa ia punya masa depan. Asbak dari kayu randu diam tapi diam-diam menyerap semuanya. Disimpannya gema bibirku, saat wanita gemar menutup mata dan telinga sambil menulis puisi yang itu-itu saja.

Baca juga :  Tugas Terakhir

Langit kehilangan pekerjaan. Sedang vultur gryphus dan burung dara tak ingin melarat tapi suka menjaring kepastian. Apa yang dapat kutuliskan untukmu bila tiada cinta di sini? Masalahnya,  kupu-kupu dan kembang sepatu bercinta dalam cara tak lazim, tak pernah diajarkan guru moral di universitas dan pastor paroki di gereja.

Baca juga :  Sepenggal “Sunyi” Untuk Sahabat

Tiada kendaraan. Angin berlari lebih gesit dari perkiraanku, mendekati belimbing yang nyaris tak pohon dan jalanan yang enggan lapang. Membius gadis pemuisi dan orang-orang yang tak mau berhenti berlari, mengendap di buku sakuku,

“Aku hendak beristirahat untuk sekadar tertawa dan minum air. Ini raga terlampau dahaga lantaran api di kepala mereka, orang-orang yang kehilangan isi dadanya.

Baca juga :  Mengasihi: Kunci Kesetiaan

Hari ini Tuhan…