Sepenggal “Sunyi” Untuk Sahabat

photo by tribunnews.com

Oleh: Emilio Aranho, CMF*

Dear…

Dari seberang rindu yang tengah terlunta kukabari kau. Bahwasanya kesunyian yang dulu kita puja; kita cumbui kini telah berubah rupa. Ia adalah nestapa yang mengisi setiap detak perziarahan. Banyak orang menamainya sebagai ketiadaan yang ada; ia adalah candu yang bergantung di setiap mata yang basah: sebuah kenikmatan atas pengharapan dilipur lara. Tepat di penghujung ini, segala kerentaan makin sarat dengan sepi; singgasana semesta makin asyik merayakan kesendirian; sedang manusia tetap gencar melupa kesejatian demi sepenggal fantasi firdaus.

Baca juga :  Kopi Manggarai

Dear…

Inilah wajah kesunyian kita; hati yang terbang menuliskan kisah cinta piatunya pada selembar dedaunan basah: Rahim terakhir untuk mengabadikan sejarah tatkala. Sanubari tak lagi layak untuk mengekalkan kenangan; sebuah anamnesis yang keluh, katanya.

Dear…

Kesunyian adalah aku di waktu ini; berusaha meneguk darah sang takdir. Tatkala kehidupan lebih fasih melafalkan kematian. Kesunyian adalah aku: bila di waktu ini. Luka lebih nikmat daripada kemesraan; dan air mata adalah penghiburan yang lebih bermakna. Ketika secuil senyuman semakin mahal di tanah budaya.

Baca juga :  Siasat Antologi Puisi Petrus Nandi

Dear…

Kenyataan dan mimpi perlahan memijar dalam kata: bait-bait kebatinan dan percakapan tanpa suara: kesunyian. Meski demikian hidup bukanlah kenyataan yang patut diratapi tatkala segalanya terlihat makin uzur; Kehidupan adalah cinta: sebuah tugas bagaimana kita terus bangkit menunaikan sebuah ibadah. Maka berjanjilah…tanggalkanlah separuh kenikmatan yang membuat kita terasing dan mari berlayar menuju pulau terluar; mencumbu kebahagiaan yang terselip di bawah setiap nafas; hingga kelak segalanya menuntun langkah menuju semesta kesunyian kudus

Baca juga :  Corona Bulan Juli

“seperti dulu”.

*Misionarais Claretian pecinta sastra.