Narasi Paskah

Narasi Paskah
Gambar: Ilustrasi Narasi Paskah

ClaretPath.comNarasi Paskah

Bertahun-tahun berlalu. Masih saja mata itu menyiratkan kenang, tak jua hilang. Ia bagai lukisan abstrak, terkadang pergi tapi meninggalkan corak.

Wahai Tuan, diri-Mu serupa fajar tiba, yang pijarnya selalu kudamba. Semeriah dan riuhnya jika suaramu terdengar di telinga. Seirama jantung berdegup yang membuatku acapkali gugup.

Kau adalah senja yang kunanti di lelahnya jiwa. Kala sang surya enggan menampakkan wujudnya di musim pancaroba. Kau adalah cahaya purnama yang selalu kujaga agar tak berakhir redup tiba-tiba.

Baca juga :  Curhat Si Anak Pengemis Pada Sang Ibu || Lembar Sastra

Jika saja kubisa meminta, kuingin bisa meniti kehidupan dengan hangatnya cinta dari-Mu. Searif bijak laku-Mu yang tak lekang oleh waktu. Kerap buatku rindu ingin dimanja oleh rinai kasih-Mu.

Ketahuilah di pojok ruang berdebu. Aku lagi-lagi menyatukan huruf membingkai bait, menyusun kekata untuk mahir melukis kebaikan hati yang sebenarnya. Ya, itu adalah Dikau, wahai pujaan yang kerap berkecamuk di kepala.

Baca juga :  Dengan Kewajibanmu, Kamu akan Mendapatkan

Tahukah diri-Mu?

Puisi-puisi telah rampung kutulis, tapi entah tak jua mampu ku menuju-Mu. Perjalanan yang terus kujalani meski kini menantang, setantang hati yang tak lagi bisa menarasikan bat-bait hidup.

Namun, aku percaya! Aku akan menang. Pasti menang. Selalu menang. Dan selamanya menang dalam titian Paskah yang membebaskan.

Baca juga :  Tapak-Tapak Senja

Selamat Paskah!

Narasi Paskah