Lelaki tua di persimpangan... Rambutnya telah memutih bagai salju di musim dingin. Matanya tanpa harap. Senyum telah pamit. Tangan dan kaki yang keriput itu bergetar kala melangkah di atas jalanan yang juga dilewati orang-orang kaya. Persis di sebuah persimpangan dengan lalu lalang manusia, ia menyandarkan tubuhnya pada sepotong penyangga. Ia keluarkan sebuah piring kecil dari tas kusutnya lalu meletakkan persis di depannya. Ia duduk di situ, beralas kegetiran dan berpayung kemelaratan. Sesekali ia tertunduk mendengar semesta yang membisikkan kata-kata kematian. Ia berada di penghujung senja, dan malam mulai menampakkan wajahnya berusaha memeluk dan membawanya ke atas tempat tidur penistaan. Ia sekarat, kelaparan di antara orang-orang berpunya. Ia miskin di kota yang hidup dan kaya. Ia diselimuti mendung kesiksaan meski mentari masih setia bersinar. Hidupnya adalah pagi yang tak kunjung datang. Ketika ia harus puas dengan kenyataan bahwa kebahagiaan berarti memeluk derita yang melampaui kesanggupannya. Harapannya adalah kesanggupan untuk bertahan. Ia kini jadi tawanan sengsara. Makanannya sebongkah roti pahit kesepian dan segelas anggur masam kemalangan. Ia berontak, berusaha melepaskan diri dari penjara yang menelan habis sisa-sisa kebahagiaan dalam tubuh rentanya. Namun penderitaan yang kejam lebih kuat mencengkeram dengan cakar yang tajam. Ah, hidup telah menghisap habis madu yang manis dari tubuh itu. Ia pasrah pada keadaan yang telah menempatkan dirinya dalam situasi mengerikan itu. Apakah dia korban keangkuhan manusia? entahlah... Ia tak ingin beranjak dari situ. Matahari kepedihan mulai menyengat kulit keriputnya yang mulai dijamah usia. Ia masih sendiri berteman piring tua yang kumal seperti dirinya. Sesekali ia terbang jauh, hilang dari dirinya dan masuk ke dalam realitas tak bernyawa. Kosong. Seperti tubuhnya yang tak berisi. Di sana, ia menuntut keadilan terhadap semesta yang telah melemparkan dia ke neraka dunia. Ia kembali tersadar saat beberapa tangan penuh welas singgah di piring tuanya. Mata sayunya melirik ke dalam piring itu berharap menemukan sepotong kehidupan di sana. Namun ia tersenyum kecut. Ah, koin-koin kecil itu hanya memperpanjang sejarah hidupnya yang kelam. Sepotong pelipur untuk berbagai pilu laranya, sekaligus penyambung cerita pahitnya. Ia tak tahu ke mana harus melangkah. Kakinya hanya mengenal jalan-jalan bertabur bara dan ke sanalah dirinya dituntun. Ia terlahir dari jeritan, merangkak dalam tangisan, berjalan dalam kepedihan dan berlari dalam keperihan. Ia lupa akan kenyamanan surga. Hidup telah menjelma kengerian. Kematian pun terus menguntit di belakang. Ia tetap di situ, terperangkap dalam tahanan kemiskinan. Bukankah hidup adalah surga yang pintunya hati manusia? demikian seorang penyair berkata. Dan kematian menjadi sahabat yang paling dirindukan saat itu, karena hidup membuka jalan baginya menuju neraka tetapi kematian memberi kesempatan untuk menikmati surga. Oh Khalik, bawalah terbang bersama-Mu jiwa yang kini terkungkung dalam pelukan neraka dunia. Itulah hiburan terakhir yang paling didambakannya. Lelaki tua... Ketika wajahmu menyanderaku siang itu…
Menamatkan Studi S1 di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Staf pengajar di SMA Pancasila, Borong. Tinggal di Paroki Borong.