Penaclaret.com – Seperti biasa, Kota Kupang selalu panas. Malam atau pun siang sama saja. Kota yang dijuluki Kota Karang itu selalu begitu. Panas. Notifikasi di handphone Ian menunjukan 34,6 derajat suhu Kota Kupang siang ini. Ian terlihat bermandikan keringat. Bajunya basa seperti baru saja kehujanan. Dia baru saja pulang dari kampus dengan berjalan kaki. Jaraknya memang tidak terlalu jauh. Namun siapa yang bisa tidak berkeringat jika tinggal di kota itu? Orang yang mengidap anhidrosis pun pasti berkeringat. Apalagi manusia normal seperti Ian.
Buru-buru Ian membuka pintu kostannya untuk berlindung dari sengatan panas si raja siang. Baru saja meneguk segelas air untuk melegahkan tenggorakan, tiba-tiba handphone di kantong celananya bergetar. “Ian, malam ini kita jalan-jalan ko?” terdengar suara lembut dari seberang telefon. “Saya tidak bisa. Saya sibuk,” jawab Ian santai. “Kau kenapa? Setiap kali saya ajak selalu jawab sibuk. Kau juga tidak pernah ajak saya jalan-jalan,” balas suara itu kesal sebelum memutus sambungan telefon.
Suara itu adalah Lala, wanita pujaan hatinya. Mereka baru saja membangun asmara selama satu bulan. Selama pacaran dengan Lala, Ian tidak pernah mengajaknya jalan-jalan, sekadar mengahabiskan waktu berdua. Ian melakukan ini bukan tanpa dasar. Sebagai anak dari keluarga miskin, dia tidak punya cukup biaya untuk kuliah di Kota Karang yang segalanya serba beli.
Sebenarnya ibu Ian tidak setuju dia melanjutkan pendidikan di jenjang perguruan tinggi. Alasan utama ibunya sederhana: tidak ada biaya. Ian harus menjadi tulang punggung kelaurga. Hidup keluarganya hanya bergantung pada hasil tanaman sayur dari sebidang tanah di pinggir sungai warisan ayahnya yang telah tiada.
Meskipun ayahnya telah tiada, Ian tetap bersih keras untuk melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi. Dia tidak mengharapkan biaya dari keluarganya. Bermodalkan otak yang sangat baik, Ian nekat melanjutkan pendidikannya. Dia diterima di kampus melalui ujian tes yang diikutinya ketika masih di bangku kelas tiga SMA.
Ketika masih SMA Ian adalah bintang kelas. Dia banyak mengukir prestasi untuk sekolanya. Dia sangat terkenal di sekolah karena kejeniusannya. Bahkan guru-guru di sekolahnya selalu mempercayai dia untuk mengajari temam-temannya.
Belum sempat makan siang, Ian langsung meninggalkan kostannya menuju warung nasi goreng tempatnya bekerja. Jarak warung itu mungkin hanya 500 meter. Setibanya di sana, Ian membantu Mas Wawan, pemilik warung kecil itu.
“Ian, Kamu nggak malu kerja di sini? Tanya Mas Wawan dengan aksen Jawanya yang sudah agak bercampur Kupang. “Buat apa malu Mas? Intinya saya bisa dapat sedikit uang buat bayar kuliah dan kostan,” jawab Ian sambil membolak-balik nasih goreng pesanan. Mas Wawan hanya tertunduk diam mendengar semangat Ian untuk bisa berkuliah.
Semakin gelap, warung Mas Wawan semakin ramai. Ian sibuk membuat nasi goreng dan sesekali mengantar pesanan ke meja. Ian tampak sangat semangat bekerja. Dia tidak ingin mengecewakan Mas Wawan, bosnya.
“Ian, itu pesanan cewek cantik yang di meja ujung. Jadi biar aku aja yang ngantar. Kamu pasti udah capek,” cegat Mas Wawan sambil merebut pesanan nasi goreng yang dibawa Ian. “Biar saya saja yang antar. Kalo urusan cewek cantik, berikan kepada saya. Lagian Mas juga sudah punya istri. Ingat umur Mas,” balas Ian sambil berjalan penuh semangat menuju si cewek yang sedang mengotak-atik handphone.
“Ian, kau buat apa di sini? Kau kerja di sini? Kenapa kau tidak carita? Jadi setiap kali saya ajak jalan kau selalu sibuk itu karena ini? Ternyata kau jualan nasi goreng?” mengalir pertanyaan tak percaya dari mulut Lala yang kaget melihat Ian membawa nasi goreng pesanannya. “Ia,” jawab Ian santai. “Kau itu pintar sekali. Kenapa kerja begini? Kau tidak malu?
Nanti teman-teman saya tahu bagaimana?” lanjut Lala dengan nada kesal. Ian hanya tertunduk. Bibirnya bergetar seperti ingin mengucapkan sesuatu tetapi sulit untuk mengatakannya. Dia tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. “Sekarang kau pilih, mau berhenti jualan nasi goreng atau kita putus? tanya Lala dengan tatapan tajam. “Supaya kau tahu, ada ijazah saya dalam nasi goreng ini,” jawab Ian dengan nada bergetar sebelum berbalik meninggalkan Lala.
Bersambung…..
Mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, program studi Filsafat Keilahian. Pengagum karya Tere Liye. Berasal dari kota Karang, Kupang, NTT.