Pena Claret.com– Cinta tanpa pengorbanan adalah sebuah tipu muslihat dan pengorbanan tanpa cinta adalah kesia-siaan.
Gadis dengan perawakan punk sedang menyusuri jalanan yang ramai. Satu dua orang terlihat memperhatikan penampilannya. Gadis itu tanpa peduli tetap melangkahkan kaki yang dibalut sepatu Converse keluaran terbaru. Rambut yang di kuncir tinggi menampilkan tatto dadu dengan ukiran ‘J’ di bagian kiri leher jenjangnya. Ia berhenti sejenak di depan sebuah bangunan gaya Victoria bertuliskan Ramalan Cinta dan Jodoh. Gadis itu tersenyum sinis. Dasar bodoh. Mereka mencari uang dengan memanfaatkan sesuatu yang jelas-jelas tidak bisa diramal. Cinta. Satu kata yang sering dikambinghitamkan oleh orang-orang yang lemah. Gadis itu melihat dari balik kaca pintu. Pemandangan di sana tidak kalah bodohnya dari nama tempat itu. Orang-orang terlihat berdesakan agar segera di ramal.
Setelah banyak kali mengelengkan kepala, si Gadis berbelok ke arah pasar yang ramai seperti biasanya. Ia langsung duduk di depan kedai kopi.
“Hei Jei! Dari mana saja kau.” Suara itu datang dari seorang pria muda dengan clemek putih dengan gambar cangkir kopi berwarna coklat.
Jei memalingkan wajahnya. Ia tidak menjawab.
“Masuklah Jei, ada tempat kosong banyak. Kau pasti ingin kopi terbaik pagi ini kan?”
Jei sekali lagi tidak menjawab. Ia hanya memasang wajah memelas. Ia memang suka kopi namun ia terlihat tidak bersemangat.
Pria tadi memutar bola matanya.
“Iya. Kopi pagi untukmu tidak dipungut biaya”
Jei seketika tersenyum.
“Terima kasih Jhos, kau memang paling mengerti” Jei berkata sambil berlari ke dalam kedai.
“Jeiii!! Kau bisa mengusir semua orang di dalam. Ini bukan lapangan” Jhos berteriak ke gadis yang kini duduk di sudut ruangan. Lebih ke arah tidak peduli bahkan. Jhos masuk dengan senyum malu terhadap beberapa pelanggan yang terganggu.
***
Hampir setengah jam Jei hanya duduk di kedai kopi. Kopinya sudah tandas. Jhos sedari tadi mengamati gadis itu.
“Butuh teman Jei?” Jhos sudah duduk di depan gadis yang memang tanpa teman sedari tadi.
Jei tidak menjawab. Ia memanjangkan leher dan mengamati meja Bar kedai.
“Tidak perlu kuatir. Sekarang pelanggan sedang sepi. Saya juga sedang tidak melakukan apa-apa.” Kalimat Jhos membuat jei memendekkan kembali lehernya. Bibir dengan lipstik berwarna hitam itu seperti menggumamkan sesuatu. Jhos yang tidak mengerti menautkan kedua alisnya.
“Tidak apa-apa Jhos.”
Jhos mengamati lekat gadis di depannya. Ia tahu Jei sedang tidak baik-baik saja. Jei yang ia kenal adalah Jei yang periang, tidak begitu peduli dan selalu menampilkan diri apa adanya. Seperti Jhos tidak melihat itu hari ini.
“Tidak ingin bercerita?” Jhos coba memancing gadis yang kini menatap dengan tatapan kosong.
“Cinta.” Jei bergumam entah pada siapa.
“Apakah aku tidak normal?” Jei masih bergumam sendiri.
“Setiap orang selalu membicarakan cinta. Setiap hari selalu ada orang yang tertawa karenanya. Tidak jarang juga ada yang menangis karenanya. Namun mereka tetap ingin merasakan cnta. Aku ingin seperti mereka. Namun bagaimana, aku bahkan tidak mengerti apa artinya cinta” Jei menghembuskan nafas berat.
Jhos menatap Jei yang kini menunduk. Walaupun agak aneh namun ia tahu apa yang Jei bicarakan. Ia mengenal Jei sebagai seoranng gadis yang lahir dari keluarga Broken Home. Jei sudah mandiri bahkan sebelum usianya 10 tahun. Jhos tahu mengapa Jei sekarang membahas perihal cinta. Jei pasti tidak merasakan hal yang seharusnya ia dapatkan dari sebuah keluarga yang justru menanamkan trauma.
“Aku tidak percaya dengan cinta.”
Jei menatap pria di depannya. Kalimat yang ia dengar terasa tidak wajar. Ia pun mengenal Jhos. Keluarga harmonis dan selalu dikelilingi banyak teman membuat Jei ragu dengan kalimat Jhos barusan. Bagaimana mungkin ia tidak mempercai cinta sedangkan ia selalu hidup didalamnya.
“Aku tidak percaya dengan cinta. Aku hanya percaya pada ketulusan dan pengorbanan” Jhos berkata sambil tetap menatap Jei di depannya.
“Bukankah ketulusan dan pengorbanan adalah bentuk dari cinta?” Jei berkata cepat.
“Memang. Namun tidak sedikit yang menyamakan ketulusan dengan kemunafikan dan pengorbanan dengan kebodohan. Apakah memang cinta itu adalah kemunafikan dan kebodohan?”
Jei menatap Jhos lama. Ada sesuatu yang ia rasakan dari kalimat barusan. Apakah memang cinta itu sebuah kemunafikan, atau bahkan sebuah kebohongan.
Jhos tersenyum.
“Aku tidak percaya pada cinta. Tapi aku tahu cinta itu ada.”
“Maksudnya?” Jei tidak mengerti apa yang Jhos katakan.
“Entah sadar atau tidak. Aku sedang membicarakanmu. Kau yang ragu dengan cinta. Kau yang tidak percaya dengan cinta. Padahal kau selalu menerimanya setiap saat. Kepahitan yang kau dapat adalah sebuah daya dari sebuah cinta yang menuntut keikhlasan dan luka-luka masa lalu adalah cinta yang menutut pengampunan. Jei…” Jhos menarik nafas perlahan.
“Kau sudah memilikinya. Cinta yang tidak semua orang mampu menerimanya. Kau sudah menerimanya sejak dulu namun kau justru menganggapnya tidak ada.” Jhos berhenti sambil mengamati mata Jei yang mulai berkaca-kaca.
Jei menunduk pelan. Ia tampak tersenyum di tengah air matanya yang sudah jatuh.
“Terima kasih, Jhos” Jei berkata lirih.
“Sudahlah Jei.” Jhos mengusap bahu gadis di depannya pelan.
Jei mengangkat wajah sembabnya sambil tersenyum. Senyum yang sudah akrab di mata Jhos. Jhos ikut tersenyum. Ia ingin beranjak dari tempatnya namun terhenti seketika karena Jei menahan tangannya.
“Kenapa?”
“Aku ingin kopi lagi.” Jei berkata sambil memajukan dua bibirnya.
“Mengerikan.” Jawab Jhos sambil mendelikkan tubuhnya.
ClaretPath.Com adalah ruang pengembangan bakat menulis dan media kerasulan, terinspirasi dari Santo Antonius Maria Claret, Pelindung Pers Katolik.