๐๐š๐ก๐š๐ฒ๐š ๐‹๐ข๐ญ๐ž๐ซ๐š๐ฅ๐ข๐ฌ๐ฆ๐ž ๐’๐ค๐ซ๐ข๐ฉ๐ญ๐ฎ๐ซ๐š๐ฅ | Opini

Picture By dutaislam.com

Penaclaret.com – โ€œNyawa sesama pun halal โ€“ sejauh memenuhi tuntutan teks sakralโ€. Penggalan kalimat tadi merupakan dampak bahaya literalisme skriptural. Literalisme merupakan cara membaca yang berpusat pada makna harfiah teks. Teks yang dimaksud di sini adalah kitab suci. Karena sakral, teks ini dihormati oleh setiap orang.

Banyak peristiwa kelam di masa lalu yang menjadi anak kandung literalisme skriptural. Sebut saja, peristiwa tragis yang menimpa WTC (World Trade Center) di New York Amerika Serikat pada 11 September 2001. Peristiwa naas itu menelan banyak korban. Para pelaku berhasil membunuh banyak nyawa alih-alih karena menuruti perintah teks sakral.

Baca juga :  Membendung Keinginan

Tak hanya ada di negeri Paman Sam, peristiwa serupa terjadi di bumi Nusantara. Misalkan, peristiwa tragis di Bali pada 12 Oktober 2002. Tiga ledakan bom beruntun menelan banyak nyawa di pulau Dewata tersebut. Naifnya, para pelaku melancarkan aksi karena menjalankan ihktiar suci. Pelaku mempertaruhkan nyawa demi janji hidup bahagia di surga seperti yang ditawarkan kitab suci.

Lantas masih banyak peristiwa serupa di bumi nusantara ini bila diinventariskan. Satu hal yang pasti, semua peristiwa tersebut (dan peristiwa lain yang belum disebut tetapi memiliki indikator sama), merupakan buah rahim literalisme skriptural. Hal-hal tersebut menampakkan bahaya secara gamblang bukan hanya pelaku melainkan manusia yang menjadi sasaran literalisme skriptural tersebut.

Baca juga :  Uskup Mgr. Petrus Turang akan Mengundurkan Diri, Mengapa?

Sebagai masalah yang riskan, literalisme skriptural tidak boleh dibiarkan. Literalisme skriptural bisa diatasi dengan pendekatan โ€œseni memahamiโ€ ๐˜ข-๐˜ญ๐˜ข Friedrich Schleiermacher. Melalui pendekatan ini, teks sakral harus โ€œdipahami dalam konteks yang melahirkannyaโ€, bukan sebagaimana tampak secara harfiah. Mengapa harus dipahami dalam konteks yang melahirkannya? Karena teks-teks itu, mula-mula ditulis dalam konteks tertentu. Tidak ditulis untuk menjawab soal melintas batas zaman โ€“ tetapi sebagai respon terhadap masalah aktual pada zamanya.

Baca juga :  Fatima Mernissi, Harem Dan Perempuan Muslim || Sosial

Oleh karena itu, teks-teks sakral yang diyakini memiliki otoritas dan dinilai suci tidak boleh dibaca lepas dari konteks yang melahirkannya. Hanya dengan begitu, literalisme skriptural bisa diatasi. Dengan demikian, nyawa sesama tidak lagi menjadi korban halal memenuhi tuntutan teks sakral.