Penaclaret.com – El Salvador di Amerika Tengah menjadi berita selama bertahun-tahun akibat perang saudara yang kejam. Pada saat perang berakhir di awal 1990-an, sekitar 170.000 orang telah terbunuh. Negara ini terpolarisasi di sepanjang garis politik dan di sepanjang garis ekonomi (minoritas yang sangat kaya dan mayoritas yang sangat miskin). Polarisasi berakar pada sejarah negara tentunya, tetapi diperburuk oleh Perang Dingin. Pada malam hari, masyarakat akan mendengar bom meledak, atau aksi baku tembak di kejauhan. Insiden seperti ini sering terjadi. Tidak heran, jika ada perkumpulan kaum muda, pada pukul tujuh malam, mereka akan selalu cemas melihat jam untuk pulang. Jadi ada iklim ketakutan di kota-kota dan terutama di daerah pedesaan di mana yang termiskin sering menjadi korban kekerasan.
Dalam situasi yang chaos ini, ada beberapa yang mencoba berbicara. Di antaranya para Yesuit yang bekerja di Universitas Amerika Tengah di San Salvador. Katakanlah Rektor universitas, Pater Ignacio Ellacuría atau Pater Ignatius. Dia adalah manusia bermental baja yang paling berapi-api dalam mengekspos dan membela orang-orang miskin. Pada saat itu, para Yesuit di seluruh dunia menekankan keadilan sosial sebagai ekspresi kontemporer terhadap penghayatan Injil. Pater Ignatius sangat bersemangat untuk mengakhiri polarisasi di El Salvador, sehingga rakyat jelata dapat memperoleh kesetaraan dalam pendidikan dan kesehatan, maupun di depan hukum.
Namun, dia dianggap oleh sebagian masyarakat Salvador, dan bahkan di Gereja, sebagai pendukung pasukan gerilya sayap kiri. Dia mencoba menyajikan legitimasi aspek-aspek tertentu dari ideologi sayap kiri kepada seluruh masyarakat Salvador. Dia juga mengutuk dengan tegas penggunaan kekerasan yang tidak sah oleh kedua belah pihak. Gairah utamanya adalah mendidik. Pendidikan, dikombinasikan dengan bekerja untuk perdamaian, akan menjadi inti dari setiap strategi untuk mengangkat orang miskin keluar dari ketidakadilan dan kesengsaraan. Sayangnya, bagai air susu dibalas tuba, banyak orang kaya Salvador dalam bagian diplomatik membencinya.
Pada 11 November 1989, gerilyawan kiri (FMLN) melancarkan serangan besar-besaran ke ibu kota, San Salvador, dari utara kota, tempat komunitas diplomatik dan orang kaya tinggal. Tentara Salvador terkejut dan berpijar karenanya. Mereka juga geram karena serangan terhadap wilayah diplomatik bisa menimbulkan masalah besar bagi negara secara internasional.
Peristiwa tersebut menjadi dalil serangan batalion Salvador ke Universitas Amerika Tengah pada tanggal 16 November, pesta St Margaret dari Skotlandia. Misi mereka adalah membunuh P. Ignatius yang, tanpa bukti, dianggap sebagai dalang di balik serangan militer. Perintah yang diberikan juga bahwa tidak ada saksi yang dibiarkan hidup. Alhasil, P. Ignatius, lima Yesuit lainnya, termasuk pembantu rumah tangga beserta putrinya dibantai di luar kediaman mereka di universitas. Para prajurit menggunakan AK-47, senjata buatan Rusia, untuk memberi kesan bahwa sebenarnya gerilyawan yang melakukan perbuatan tersebut.
Dini hari tanggal 16 November, bel pintu depan Kedutaan Vatikan di Salvador berbunyi dan masuklah Uskup Agung San Salvador dan Provinsial Yesuit. Mereka seputih seprai, gemetar karena marah dan takut. Mereka hampir tidak bisa memberi tahu apa yang telah terjadi. Dan dari Kedutaan Vatikan akhirnya bersama mereka dengan mobil ke universitas, tempat keenam jesuit dibunuh.
Yang menarik adalah saat mereka tiba di tempat kejadian, suasana yang mereka rasakan agak berbeda. Seperti ada sesuatu yang lain. Sementara merasakan teror, mereka juga merasakan sesuatu yang hanya dapat digambarkan sebagai kekudusan. Bukan kekudusan sebagai keadaan moral atau spiritual, tetapi kekudusan ‘di luar sana’ di depan mereka, menutupi yang terbunuh dan menutupi semua yang ada di sana. Dapat dibayangkan, mereka merasa disentuh oleh Tuhan di tempat dan waktu yang mengerikan dan menakutkan, karena keenam Jesuit dibunuh atas dasar mempraktikkan Injil. Kita mungkin dapat berpikir, bagaimana perasaan Maria dan Yohanes, dan yang lainnya, di kaki salib. Kematian yang kejam, ternyata menghembuskan kekudusan Tuhan yang memberi kehidupan. Hanya Tuhan yang bisa mengeluarkan sesuatu yang begitu kudus dari sesuatu yang begitu mengerikan.
Tragedi El Salvador, mengajarkan kita bahwa seorang gembala tidak pernah bersujud pada perspektif ideologis atau politik. Di El Salvador, mereka dianggap sayap kiri karena mereka biasa memimpin Misa untuk orang miskin. Seperti yang pernah dikatakan Dom Helder Camara: ‘Ketika saya memberi makan orang miskin, saya adalah orang kudus. Ketika saya bertanya mengapa orang miskin tidak memiliki makanan, saya seorang komunis.’
Para sahabat pena Claret! Injil dibuktikan dengan buah kekudusan dan kebenaran, bukan oleh tepuk tangan yang dihasilkan dari mereka yang hanya ingin kita mengatakan apa yang ingin mereka dengar. Pater Ignatius adalah seorang martir misionaris. Kehidupan misionaris bukanlah sesuatu untuk tempat, waktu, atau untuk beberapa orang tertentu. Misionaris bukan serangkaian konsep dan sila. Menjadi misionaris adalah tentang arti sebenarnya dari kehidupan dan, bagi sebagian orang, tentang kematian. Pertanyaan bagi kita adalah, Jika San Salvador dapat menjadi tempat suci misi bagi Kristus, mengapa tidak di mana tempat saya, atau Anda tinggal? Dan siapakah para misionaris ini? Jika bukan kita, lalu siapa? Jika tidak di sini, lalu di mana? Jika tidak sekarang lalu kapan?
Catatan: Artikel ini diringkas dari tulisan Mgr. Peter Magee “Covered in holiness: the El Salvador martyrs” yang tidak lain adalah homilinya yang dipublikasikan di Thinking Faith 13 November 2019. Alasan artikel Mgr. Magee dipakai dalam tulisan ini karena beliau merupakan mantan diplomat Vatikan yang berada di El Salvador kala peristiwa penembakan keenam Jesuit terjadi.
Misionaris Claretian di Medan