“Kita hidup dengan kata dan hidup kita
adalah kumpulan kata.”(Reza Wattimena)
ClaretPath.Com–Jiwa Kata
Semua yang hidup itu bernyawa. Semua yang tak bernyawa itu mati. Hidup dan matinya sesuatu selalu ditandai dengan status ke-jiwa-annya. Nyawa pun rupanya tidak melulu menjadi perkara makhluk hidup saja seperti manusia, binatang dan tumbuhan, tetapi ke struktur kebahasaan makhluk hidup terutama manusia, sejak dipersoalkan oleh Ludwig Wittgenstein. Jiwa bahasa terutama dalam berucap tidak terletak pada muatan subjek, predikat, objek, dan keterangan (SPOK) atau sesuai ejaan yang disempurnakan (EYD) saja, tetapi lebih pada kolaborasi antara huruf vokal dan konsonan. Setiap kata dan kalimat yang tidak mengikutsertakan keduanya dalam berkomunikasi tentu tidak bernyawa. Terlebih pada forma kata atau kalimat yang menggelapkan huruf vokal. Misalkan, bagaimanakah kita dapat melafalkan satuan terkecil kata maupun kalimat, yaitu huruf ‘K’ tanpa bantuan huruf ‘A’? Kita akan menghadapi kesulitan.
Kesulitan dalam menjawab persoalan di atas bukan pula terletak pada bisa atau tidaknya kita dalam melafalkan huruf ‘K’ tanpa melibatkan huruf ‘A’, tapi lebih pada soal kekuatan huruf ‘K’ yang tidak akan sempurna bila dilafalkan. Oleh karena itu , huruf ‘K’ tidak bisa ‘survive’ bila tanpa bantuan huruf vokal, ‘A’. Karenanya, ia tidak bernyawa. Jiwa katanya tidak ada. Mungkin saja ia memiliki kekuatan untuk mengeluarkan batuk ataupun air liur, tapi tidak bagi hidupnya bahasa. Dosis kesulitan terus meningkat manakala kita membuat kalimat seperti ini “kwrtjhglpmnqbsdcfvxz.” Mustahil membaca formulasi kata ini, apalagi untuk dikomunikasikan. Di samping itu, bahasa yang bernyawa bisa menghidupkan atau mematikan lawan bicara. Dua komponen inilah yang menjadi daya tarik dalam berbahasa. Sebab ketika kita berkata-kata maka kita ada (Wattimena: 2011, 6). Kata-kata yang menghidupkan atau mematikan itu tidak lain adalah kritik. Ini sangat jelas di dunia politik.
Jiwa Kata Sebuah Kritikan
Adalah hal yang lumrah, jika ada pernyataan “orang lebih suka mengkritik daripada dikritik”. Mengkritik itu pun memliki sebuah jiwa kata yang tajam dan lebih mudah karena objek sasarannya adalah orang lain, bukan diri sendiri. Biasanya, ini dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak puas pada sebuah peristiwa, keputusan, atau ide dari orang-orang tertentu. Secara spesifik dalam dunia politik, mengkritik seringkali dilakukan oleh kaum oposisi pemerintah yang sedang berkuasa. Tujuannya tidak lain untuk menjatuhkan penguasa tersebut. Amunisi-amunisi kebencian, kata-kata provokatif, bahkan propaganda menjadi senjata utama kaum oposisi menggulingkan kekuasaan pemerintah. Jika ini berhasil, maka kaum oposisi berlenggang kangkung mengambil alih singgasana kekuasaan.
Di zaman pencerahan, Immanuel Kant (1724-1804) merumuskan kritik sebagai keberanian untuk berpikir sendiri di luar tuntunan tradisi atau otoritas. “Dia sendiri mengatakan mengkritik adalah terbangun dari tidur dogmatis. Artinya, kemampuan kritis rasio membuatnya bebas dari dari prasangka-prasangka pemikiran tradisional. Ia mengandaikan kritik mengelaborasi sebuah kemajuan (Hardiman: 2019). Dengan demikian, Kant mengandaikan pemerintah yang mendapat kritikan dari oposisi harus mengalami progresivitas dalam menjalankan roda pemerintahan.
Berkaca pada teori Kant, sebenarnya sah-sah saja jika pemerintah mendapat kritikan dari oposisi, Akan tetapi, jika oposisi mencuatkan kalimat yang tidak berguna, kritikan bisa berpotensi besar menelurkan persoalan. Ini ibarat roda pecah di tengah jalan. Dengan kata lain, para oposisi yang sering menggunakan narasi menuduh, meneror, dan mempropaganda, sebenarnya sedang mengarahkan negara ke muara kehancuran. Bukan kemajuan yang diperoleh malah kemandegan. Karena itu, para oposisi harus tahu membidik celah yang tepat dalam mengkritik pemerintah, bukan dengan cara semena-mena tanpa tujuan jelas. Demikian juga, pemerintah harus pandai-pandai menyaring segala model kritikan agar tidak mudah kebakaran jenggot.
Perkataan adalah Bentuk lahiriah dari Pikiran
Kritikan berarti mengupas pikiran, perkataan maupun tindakan manusia dengan pertimbangan baik buruknya suatu hasil karya. Bersamaan dengan ini, maka kritikan tidak selamanya berarti mencela ataupun menolak pikiran maupun karya orang lain. Tetapi kritikan justru mengajak kita untuk mengasah sekali lagi pikiran, perkataan dan perbuatan kita agar berkekuatan dan bernyawa ketika berkomunikasi. Berkenaan dengan itu juga, kritikan pun seyogyanya berdaya menghidupkan ataupun mematikan. Singkat kata, kritikan itu bersifat konstruktif dan juga destruktif.
Tentang hal ini, kita seharusnya selalu menyalin nasehat bijak Blaise Pascal dalam berkata-kata,” kata-kata dingin membekukan orang, kata-kata panas melukai orang. Kata-kata pahit membuat orang merasa pahit, dan kata-kata penuh amarah membuat orang marah. Demikian juga, kata-kata bersahabat menghasilkan gambaran sahabat dalam pikirannya; kata-kata bersahabat menghibur, menenangkan dan membuat orang nyaman”. Karena itu, perlu menjadi bijak dalam mempertimbangkan setiap perkataan dalam berkomunikasi agar hidup yang selalu kita komunikasikan bukan kematian karena perkataan adalah bentuk lahiriah dari pikiran dan jiwa kita.

ClaretPath.Com adalah ruang pengembangan bakat menulis dan media kerasulan, terinspirasi dari Santo Antonius Maria Claret, Pelindung Pers Katolik.