Kopi Manggarai

Gambar Cangkir Kopi (Sumber Gambar : Kompas.com)

PenaClaret.com – Nyaring sekali pekikan si jago yang seperti sedang berdemo. Suara sumbang pun mulai ikut berorasi membentuk suatu orkestra mendadak di pagi hari. Perpaduan yang merdu antara manuk lalong[1] dan segerombolan kongkar[2], cukup membuat kaget tidur lelap para penduduk desa. Seperti biasa dan akan selalu sama, pagi di desa punya rasa berbeda. Tidak ada kebisingan atau suara huru-hara ala kota. Yang ada hanya barisan gemilang para pembawa kabar gembira yang tak bosan bersuara menyayikan lagu seadanya, namun tetap enak berdendang meski tetap sama dan berulang-ulang.

Baca Juga :

Berjaga-Jaga Setiap Saat I Renungan Harian Katolik | Jumat, 26 Agustus 2021

Roti Hidup: Bekal Menuju Keabadian

Burung-burung khas pedesaan telah mengawali hari dengan semangat tanpa mempedulikan dingin yang menyengat. Malu kalah sama burung. Kicauannya yang nyaring sebenarnya sedang mengejekku untuk lekas bangun. Dan seperti biasa, di luar masih sangat dingin dan aku selalu punya cara menghangatkannya. Segelas kopi Manggarai. Itu sudah cukup bagiku. Minuman yang kini menjadi sahabat setiaku. Hitam pekat lengkap dengan aroma menyengat, menjanjikanku bahwa ia tidak akan pernah berhianat. Ia sudah begitu dari dulu. Tidak pernah berubah. Ia bukan yang dimodifikasi, tapi yang sejati. Kopi Manggarai, ya, seperti itulah aku menyebutnya.

Dulu aku punya teman untuk menikmati kopi. Wanita bermata indah berlesung pipi. Kami sama-sama pecinta kopi. Karena pencinta, tanpa persetujuan kopi, akhirnya kami pun saling jatuh cinta. Hari-hari sebagai sepasang kekasih selalu ditemani kopi. Kami juga punya hoby yang sama. Mengembara sambil mencari berbagai citarasa kopi seantero nusantara. Kami suka menghabiskan waktu liburan bersama sambil menambah catatan tentang citarasa kopi baru di daerah atau sekedar memperdalam ilmu tentangnya. Sampai pada akhirnya, ia, wanita bermata indah berlesung pipi bernubuat untuk menjadikan aku yang terakhir. Aneh memang, seharusnya aku yang memintanya. Tapi ia mantap memulainya. Aku pun dengan bodohnya percaya dan tengelam dalam  rayuan. Kami sama-sama membangun janji, suatu hari nanti ada kedai kopi yang bakal menemani hari-hari hidup kami. Impian kami sederhana, berawal dari sama-sama pencinta dan ingin berbagi cinta beserta seluruh cerita. Ternyata, itu hanya menjadi sebongkah khayal semata. Dan, sekarang aku hanya ditemani kopi tanpa dia, yang membuat ku mengerti siapa yang lebih setia.

Baca juga :  JANGAN MELIHAT FOTO ITU

***

4 tahun lalu….

“Arnold, maaf. Saya pikir kita tidak bisa bersama lagi. Lupakan saja semua impian kita”

“Kenapa? Atau mungkin karena saya tidak menghadiri makan malam keluargamu? Santi, itu tentu keputusan yang konyol. Tidak dewasa, bukan?

“Bukan itu alasannya Arnold”

“Lalu apa? Kau kan tahu kita akan melansungkan liburan terakhir kita sebelum kita menikah kan?”

“Sudah saya bilang. Lupahkan!”

“Santi…” 

“Saya merasa kita bukan pasangan yang baik. Saya tidak yakin kita hidup bahagia. Apalagi masa depan kita hanya mempunyai cita-cita mempunyai kedai kopi. Saya juga tidak yakin itu akan bertahan.”

“Jadi, secuil itukah masalahnya? Ada apa dengan semua itu. Kita sudah sepakat.”

Maaf Nana[3]. Saya tidak bisa menjalani hidup hanya dengan berlandaskan hoby dan kecintaan yang sama. Saya butuh kejelasan masa depan. Saya yakin kau akan bahagia tanpa saya, sebahagia saya tanpa kau. Maaf nana Arnold.

Senyap. Dunia penuh bunga hilang termakan murka. Dia, wanita bermata indah berlesung pipi pergi di balik bulan gelap. Aku meratap, tak sadar ada air mata mendera. Ia pergi dan mungkin tak akan pernah kembali. Kalaupun ia kembali, sudah tentu bukan milikku lagi. Tak lebih dari sesama pencinta kopi.

***

Sekarang usiaku 28 tahun. Tepat empat tahun lalu, ia meninggalkanku, kalau tidak mau dibilang menghianatiku.

“Seharusnya aku sudah menikah sekarang”, batinku dalam hati. Tersenyum kecil sambil menyeruput kopi pagi.

Ya, di usiaku yang sekarang ini, adalah pantas bagiku untuk memulai hidup berumah tangga. Tapi, aku cenderung merasa belum saatnya. Bukan karena aku terlalu memikirkan dia atau bukan karena belum ada yang bisa mengantikannya. Tapi karena aku merasa jauh lebih bahagia. Menikmati senja dengan segelas kopi Manggarai adalah kenikmatan tersendiri. Membayangkanya justru adalah duri yang harus segera dicabut. Sakit sekaligus adalah penyakit.

Baca juga :  Anak Malam

Belakangan aku baru tahu, tenyata ia punya alasan lain menginggalkanku. Ia jatuh cinta kepada penikmat kopi lain. Tapi yang ini kopinya kopi putih. Ada-ada saja, mana ada kopi putih. Palingan hasil kimiawi dengan tampilan yang sedikit dimodifikasi. Sehat juga belum pasti. Yang jelas, kopi putih adalah milik orang yang berkarir jernih, berdasi putih, kaya dan tampan tak tertandingi. Sedangkan aku cuma bermodal kopi. Sudah pasti kalah bergensi.

***

             “Selamat pagi kraeng[4]”.

“Pagi juga kraeng”, jawabku sambil tersenyum kepada Yola, salah satu pekerja di kebun kopi milikku. Jangan salah, dia seorang lelaki bertubuh tegap lengkap dengan otot berurat. Cuma namanya saja yang sedikit feminim.

Kraeng, hari ini temani saya ya. Biasa, membawa pesanan kopi”, ajakku.

“Ok kraeng. Kalau begitu saya siapkan dulu kopinya. Setelah itu baru kita berangkat”.

“Baik. Tolong siapkan kopi pilihan terbaik dari kebun. Bagaimana pun juga kita harus menjaga kepercayaan konsumen.”

Selepas menjalani petualangan hati yang berujung buntu, aku memutuskan untuk bangkit. Tak ada untungnya juga aku terlalu lama tenggelam. Selagi masih ada oksigen, tidak ada salahnya aku mulai berenang. Aku putuskan untuk memulai usaha kecil-kecilan. Merayap dari bawah membuatku terbiasa dengan jatuh bangun. Terbukti, kurang dari tiga tahun, setidaknya aku sudah mempunyai kebun kopi milik sendiri. Hasil kebun kopiku pun bisa dibilang telah tersebar di seluruh antero penikmat kopi nusantara. Aku juga menjalin kerja sama dengan beberapa pengusaha kopi lainnya. Dan, aku punya tiga café di tiga kota berbeda dengan penghasilan yang patut disyukuri. Semua kopi milikku adalah jenis kopi lokal dari daerah Manggarai. Aku sengaja mengangkat kopi lokal daerahku agar lebih dikenal luas.

Baca juga :  Tiada Selain-Mu

Kami tiba di tempat tujuan. Pemesan sekaligus sesama pengusaha kopi menyambutku dengan hangat. Ia menawariku untuk mencoba kopi Manggarai dengan racikan berbeda. Tentu aku tidak menolak, ini akan menarik. Kebetulan ia juga punya kedai kopi sendiri yang selalu ramai oleh para coffee lovers. Aku dan Yola mendapat tempat khusus dengan menu khusus pula. Aku sangat menikmati setiap meneguk kopi yang mengalir dalam aliran tubuh. Dan, tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang lain di pundakku. Gambaran lembut lima jari wanita, tersandarkan padaku. Dia, si pemilik mata indah, berlesung pipi.

“Santi..”

“Arnold..”, sapanya lirih. Tanpa aba-aba ia memelukku. Ya sudah, ku terimah saja tapi dengan rasa yang berbeda. Wajahnya tak lagi secantik dulu. Matanya lebam seperti aliran sungai yang dipaksa kering.

“Apa kabar Santi?” tanyaku mencoba berbasa-basi. Datar saja.

Ia mulai menagis tersedu-sedu. Diceritakannya semua tetek-bengek kehidupan keluarga yang hancur berantakan. Lelaki penyuka kopi putih ternyata berhati hitam. Ia terpaksa melarikan diri. Itu tentu  bukan urusanku. Dan kini, ia ada dihadapanku. Menunggu apa jawabanku nanti.

“Arnold, maafkan saya yang sudah meninggalkanmu.”

“Sudahlah, tidak usah dipikirkan. Saya sudah memaafkanmu”. Iya, aku memaafkan, tapi tidak membenarkan.

“Arnold, saya ingin kembali kepadamu. Bolehkah kita kembali bersama?”. Katanya sambil menundukan kepala.

Aku tersenyum. Yola tidak mengerti. Ada hening di antara kami. Kupandangi kopi Manggarai di hadapanku lamat-lamat. Aku meneguknya sekali lagi. Dan aku tahu, siapa yang lebih setia. Aku tetap memilih menjadi petani kopi. Bukan suami si lesung pipi!!

“Pernah diterbitkan oleh bersaksi.id pada 9 September 2020”

[1] Sebutan ‘ayam jantan’ dalam bahasa Manggarai

[2] Sebutan ‘burung sawah’ dalam bahasa Manggarai

[3] Sebutan kesayangan untuk anak laki-laki Manggarai

[4] Sapaan khas orang Manggarai kepada kaum lelaki