ClaretPath.com – Pemutus Mata Rantai Kekerasan
Senin, 17 Juni 2024, Pekan Biasa XI
Bacaan Pertama: I: 1Raj 21:1-16,
Bacaan Injil: Mat 5:38-42
Kisah kejahatan dan pengampunan
Para pembaca ClaretPath.com yang budiman. Hari ini kita disuguhkan dua kisah yang kontras. Pertama, kisah kekerasan, yaitu antara Raja Ahab dan Nabot, rakyatnya. Yang kedua, undangan Yesus untuk mengampuni. Lantas kita bertanya? haruskan Nabot mengampuni Ahab. Rupanya tidak. Toh, dalam kisah, Nabot mati terbunuh karena persekongkolan berbalut kuasa.
Kemajuan dan kekurangan hukum distributif Israel
Di dalam bacaan injil, Yesus mengetengahkan kembali diskusi tentang hukum distributif, mata ganti mata, gigi ganti gigi. Sepintas hukum ini adil karena menjamin apa yang dari korban dipulihkan. Lagi pula kalau mengikuti perkembangan hukum Israel, hukum gigi ganti gigi ini sudah lebih maju dari sebelumnya. Kej 4:15 mengisahkan bahwa agar seorang korban memperoleh keadilan, maka ia harus melakukan kejahatan yang setimpal kepada pelaku sebanyak tujuh kali. Mislanya. kalau Egi merobohkan satu buah gigi Adris, maka Adris harus membalas merobohkan tujuh buah gigi. Maka, hasilnya Egi langsung berubah nama jadi opa. Hal ini mau mengatakan bahwa, hukum gigi ganti gigi sudah lebih baik dari versi yang sebelumnya.
Tetapi hari ini Yesus melihat ada kecacatan dalam hukum ini. Dalam terminologi sosiologis ada konsep yang namanya relasi kuasa. Yang mana dalam kehidupan sehari-hari kehidupan kita ini terikat oleh taraf-taraf kekuasaan yang cenderung tidak setara. Misalnya seorang anak dan orang tua atau formator dan formandi. Di dalam bacaan pertama, yaitu antara Raja Ahab dan Nabot, hambanya. Dalam relasi kuasa semacam ini, sulit untuk menerapkan hukum gigi ganti gigi. Yang ada malah hukum yang tumpul ke atas, tajam ke bawah. Yang kuasanya lebih tinggi pasti yang akan menang. Kalau demikian, keadilan tidak pernah akan tercipta. Yang ada justru lingkaran setan kekerasan yang tidak pernah berakhir.
Hukum Pemutus Mata Rantai Kekerasan
Nah, Yesus dengan menghadirkan anjuran tampar pipi kiri, beri juga pipi kanan membawa sebuah terobosan baru yang oleh Mahatma Gandhi disebut sebagai perjuangan tanpa kekerasan. Bahwasaannya masih ada cara lain untuk membangun budaya perdamaian dan kultur kasih, yaitu dengan tidak membalas kekerasan.
Mahatma Gandhi bilang begini, tidak membalas bukan berarti kita orang masokis yang suka disakiti, bukan juga berarti kita lemah dan kalah, tetapi itu tandanya kita kuat. Kuat menahan ego kita demi kebaikan bersama, dan perdamaian.
Dengan demikian pesan untuk kita hari ini jelas. Marilah kita menjadi pioner pemutus mata rantai kekerasan. Pertama-tama menahan ego kita untuk membalas kekerasan orang lain. Semoga Rahmat Tuhan memampukan kita.
Mahasiswa Filsafat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Pengagum absurditas Albert Camus