Anakku, Tetelestai!!!

Oleh Aldo de Deus

Sumber gambar: istock

ClaretPath.com – Anakku, Tetelestai!!!

Kini kegelapan menyelimuti bumi. Awan-gemawan ikut menghiasi kepergian sang mentari. Kilat sambar-menyambar meluapkan ketidakpuasan. Cahaya kilat menyinari bumi pertanda kebenaran akan segera datang. Di sini hanya aku bersama wanita pendosa itu berserta adik kesayanganmu. Para serdadu berdiri seperti tiang menatap ke arahku penuh penyesalan: darah itu telah tumpah, kematian telah menjemput.

Elusan halus tersendat di kelopak mata nan indah yang telah tertutup rapih. Senyuman manis pun kian lenyap dalam keabadian. Pilu itu segera membawaku kembali pada pagiku. Tidak seperti biasanya. Pagi yang sunyi-senyap. Alat-alat tukang masih tersimpan rapih. Keributan R-12 bersama para wanita setiawan telah ditelan bumi. Teh hangat kesukaanmu masih terus menunggu. Sungguh, kini Engkau tiada. Hanya air mata yang menemaniku bersama kisah yang baru saja ditinggalkan oleh tantamu.

Setelah mendengar penghakiman yang tak adil itu. Aku hanya diam. Selaksa rahasia ku simpan rapih tanpa seorang pun mengetahuinya. Bahkan ayahmu sendiri. Seperti yang sering kita saksikan ketika kamu masih remaja: Para budak dan pencuri ditelanjangi dan disiksa habis-habisan. Itu yang kutakutkan!!!

Mereka, para hakim dan manusia Yahudi yang haus akan darah itu memalsukan semuanya. Para staf Sanhendrin dan levita yang akan mengambilkan gulungan perkamen menjadi saksi bisu. Tak ada anggota masyarakat yang hadir, hanya mereka yang berkepentingan. Tidak ada. Tidak ada yang lebih, tidak lebih dari pengakuan itu. Tidak ada yang lebih besar dari revelasi itu. Rahasia itu, yang tak seorangpun tahu kecuali aku ibu ini. itulah yang dibacakan oleh Kayafas serigala liar itu di depan pengadilan. Itu jugalah yang dimanipulasi oleh Hanas imam tua itu. Itupun belum cukup.

Baca juga :  Episode 03 Jubahmu Belisku: Spasi Merindu

Mereka kembali berargumen, menyematkan simbol nasionalisme, tanda perlawanan terhadap Kaisar. Semakin memberat. Harapanku pun semakin pudar. Aku berlari menuju istana. Rumah mewah yang belum pernah kuinjak halamannya. Banyak teriakan menghiasi langkahku. Bahkan para pedagang dan para peziarah asing pun ikut meneriakan namamu. Dari kejauhan aku melihat Dia si serigala itu bersama Hanas dan para Rabi Saduki membawamu beserta gulungan-gulungan perkamen yang berisi traktat, dasar hukum atas tuduhan itu. Aku menyaksikan semuanya walau ragaku terasa tak bernyawa lagi.

Ketika itu aku melihatmu. Engkau digiring, diikat seperti penjahat kambuhan melintasi ruang sidang Gentila. Aku hampir tak mampu mengenalmu: wajahmu penuh bilur, janggut, dan rambutmupun lengket karena keringat dan darah.

Berbagai cara mereka halalkan. Mereka meyakinkan wali negeri itu dengan teriakan dan hujatan. Walau argumen-argumen palsu tidak memadai, namun lagi-lagi kudengar suara sang kepala serigala itu, manusia berkumis besar itu dan kepala para iblis itu berteriak di depan banyak orang: “Telah kedapatan oleh kami orang ini menyesatkan bangsa kami, dan melarang membayar pajak kepada kaisar, dan tentang dirinya ia mengatakan bahwa ia adalah Kristus, yaitu raja”. Sungguh anakku, kebohongan yang menyengsarakan. Sekarang nasibmu telah ada di tanggan hakim-hakim barbaris itu.

Baca juga :  Surat Untuk Dea

Selang beberapa waktu setelah engkau diperhadapkan pada Herodes, tak lama engkau dikembalikan. Di tengah halaman luas itu, engkau melewati barisan centurion, pasukan berhati keras yang tak peduli denganmu. Di tiang itu dua algojo telah menantimu dengan flagellum dan flagrum, alat penyiksa yang direndam dengan garam dan diberi serpihan tulang-logam dengan permukaan dilapisi paku. Saat itu, algojo orang Siria itu maju mencambuk tubuhmu hingga kulit pun ikut terobek. Sayatan daging lepas dari tubuhmu dan darahpun menciprat ke tiang penderaan.

Aku tak berdaya. Tak berkutik sama sekali walau aku ibumu: wanita yang bersusah payah melahirkanmu, mendidik dan membesarkanmu. Aku teringat saat kamu memasuki usia muda, banyak yang mengagumimu termasuk sepupumu Yohanes. Pertrus rekan pelaut itu pun mengharapkan yang lebih, bahkan lebih dari aku sendiri. Sungguh semua telah berakhir. Kisah rahasia itu telah terungkap, misteri itu pun semakin mendekati kebenaran. Semua keheranan. Hanya aku ibu yang tahu. Di celah tiang-tiang engkau memikul balok seberat 140 kg itu. Balok itu seolah menjadi tongkat yang membantumu mendaki bukit.

Baca juga :  Sepenggal Sajak dari Frater untuk Mantan II

Setelah berlomba-lomba mendaki bukit kecil itu, kami adalah orang terakhir yang tiba di atas. Aku melihatmu seperti penjahat yang tergantung tak berdaya di salib hinaan itu. Kudengar bisikan: Suara yang melintasi indera pendengaranku. Itu yang terakhir kali. Semua tidak jelas, hanya namaku dan nama Yaohanes yang kutangkap. Para prajurit kejam itu meneriaki sambil menghujatmu, tetapi teriakan “Eli-eli lama sabakhtani, telah mengakhiri semuanya.

Aku ingat kata-kata Simeon, orang kudus itu: “Kai soi de autes tên psukhên dieleusetai hopos an apokaluphthôsin ek pollôn kardiôn dialogismoi, Sebuah pedang akan menembusi jiwamu sendiri_supaya menjadi nyata pikiran hati banyak orang”. Tetelestai. Selesailah sudah.!!!


*Aldo de Deus