Penaclaret.com – Sepenggal lirik yang ku tulis di atas kertas rindu. Meronta bersama hujan rintik yang turun setiap detik. Menari bersama jemari yang pernah digenggam ketika berlari. Ada cerita yang kembali terbesit di celah-celah logika yang gesit. Sesekali singgah bersama hening yang timbul tanpa permisi. Ada jemari yang tengah rindu pada hangatnya pipi. Sesekali bergerak sendiri tanpa tau kalau hangat itu telah jauh.
Langit sekarang sedang gelap. Mungkin dia sedang rindu pada mentari yang tengah lelap. Bintang pun sekarang sedang senyap. Mungkin dia malu pada malam yang juga lenyap.
Aku ingin banyak bercerita tentang malam tanpa notif. Aku ingin banyak berkisah tentang pagi tanpa motif. Namun siapa yang peduli pada kisah lucu? Bibir pun sudah menyerah pada takdir yang terlalu lugu. Sekalipun mentari itu datang lagi, langit mungkin tak akan sebiru dulu. Sekalipun malam itu pekat lagi, bintang mungkin tak akan sebersinar dulu.
Cinta ini terlalu lemah pada takdir. Dia mampir tapi hanya untuk sekedar terlampir. Cerita kita hanya sebatas kisah hampir. Yang akan pergi ketika dihantam kata getir.
Entah aku atau kamu yang gagal, waktu pun tak tau. Jawaban itu bersembunyi pada senyum terlalu palsu. Mungkin aku harus bertanya pada bibir yang terlalu cepat bilang lupa. Padahal hati selalu mengingkari setiap kali ada jumpa. Kisah kita seakan dibajak tanpa ada ajak dari langkah yang terlalu berjarak.
Kini kamu dan aku telah berbeda. Sekalipun dekat kita tak mungkin lagi saling mendekap. Anggap saja semua telah lenyap meski rindu masih saja melekat. Biarkan semua berhenti di sini tanpa perlu kita sesali. Meski kita tidak saling memiliki tetapi senyum tak boleh kita ingkari.
Aku telah menemukan hangatmu dalam jubah putih. Aku telah memegang jemarimu dalam genggam Yang Ilahi. Rinduku telah menjelma menjadi doa. Cintaku telah berubah menjadi sujut. Dalam setiap lipatan lutut ada namamu yang tertaut. Semogaku adalah bahagiamu dan aminku adalah senyummu.
Mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, program studi Filsafat Keilahian. Pengagum karya Tere Liye. Berasal dari kota Karang, Kupang, NTT.