Novena Di Surau

Novena Di Surau
Sumber gambar: ClaretPath.Com

ClaretPath.Com-Novena Di Surau

Sore itu ketika terjadi sebuah perjumpaan antara dua anak manusia dalam dua peribadatan yang berbeda. Sementara seorang imam sedang sibuk mengumandangkan adzan maghrib. Suaranya begitu pasrah seakan-akan dia sedang ditunggu oleh malaikat maut. Sedang langit sore itu membentuk warna-warni khas. Di trotoar jalan raya, anak-anak bertopi koran tengah menertawakan ketidakadilan dengan wajah yang selama ini hancur oleh kebenaran yang datang dari dalam diri. Telapak-telapak kaki yang basah meninggalkan jejak-jejak penyesalan. Penyesalan karena telah hadir di bumi tanpa minta. Beberapa pria bertubuh raksasa tengah lalu-lalang di area pos penjagaan. Warna loreng pada seragam sedang memancarkan wajah sangar dengan tali senjata yang melilit leher. Namun mereka adalah predator yang sedang berpura-pura ramah.

Suara seorang imam masjid telah selesai di ujung doa-doa purba. Datang seorang laki-laki dengan sepeda motor tua. Entah sudah berapa lama sepeda motor tua menjadi sahabatnya. Ia lepaskan jaket, lalu ia merogoh kantong saku. Diambilnya seutas Rosario merah yang dibungkus dengan kain. Ia berjalan ke arah surau. Ia lepaskan sepatunya yang kumal lalu duduklah ia di teras surau. Di saat yang sama, ia akhirnya tenggelam dalam suatu keheningan di mana hanya ada dia dan Sang Guru.

Tidak lama berselang seorang gadis keluar dari Surau dengan mukena yang masih diselubungi aura hadis suci. Sang gadis kemudian duduk di samping lelaki itu. Namun lelaki itu masih saja menikmati doa sebelum ia akhiri doanya dengan tanda salib. Gadis cantik berperawakan layaknya gadis-gadis Turki. Matanya yang hitam merona dengan rambut tebal dan sedikit warna pirang pada ujung rambut. Warna bibirnya yang merah cerah, membuat lelaki itu ingin menempelkan bibirnya pada bibir sang gadis. Namun harapan untuk mempertahankan cintanya dengan sang gadis seakan mulai sirna setelah mendengar kabar bahwa sang gadis divonis mengidap kanker pada otak. Lelaki berdarah Flores dengan dokma sampe dopi kepo memilih meninggalkan sang bunda di kampung. Setelah sang ayah bertarung dengan penyakit kanker pada akhir Agustus tahun lalu. Setelah kejadian itu ia rasakan kebencian terhadap Sang Pemilik Kebenaran.

“Selamat sore,” sapa sang gadis dengan penuh ramah.

Namun lelaki itu masih saja tenggelam dalam sajak-sajak ambigu. Ia hanya melirik sebentar sambil menenggelamkan gadis itu dalam senyumnya.

“Baru selesai novena yaa. Kok aku enggak diajak sih.”

“Biar saya sendiri yang novena. Kau cukup sholat saja.”

Dua anak manusia itu kembali tenggelam dalam percakapan. Saling memahami, agar hari ini keduanya bisa melebur dalam perasaan.

“Kalau nanti Tuhan betul-betul memanggilku pulang? Apa kau mau masih berusaha untuk novena?”

“Hari ini adalah novena hari pertamaku. Dan dalam doa saya, saya hanya minta supaya kau sembuh. Tapi Dia masih begitu diam. Mungkin Dia masih sibuk.”

Wajah gadis itu seakan berubah seketika mendengar apa yang dikatakan sang kekasih. Namun ia selalu yakin bahwa sang kekasih tidak pernah meninggalkan ia sendiri walaupun ia tahu sebentar lagi ia akan tenggelam dalam jagat Pertiwi.

Baca juga :  Emilya

***

Ingat, Jangan Lupa Novena

Hari-hari yang penuh dengan kesibukan menghantarkan mereka dalam rana-rana pergulatan melawan kebencian. Sang gadis yang mencintai dunia menulis yang ia tekuni semenjak bangku perkuliahan. Tulisan-tulisan yang bersifat ilmiah yang menyajikan pemikiran yang mungkin juga menghancurkan nalar berpikir kaum penindas. Kaum penindas yang menghancurkan wajah kebenaran. Pemikirannya yang diramu dengan sajian filosofis dalam karya-karya para filsuf klasik hingga filsuf-filsuf post modern. Pemikiran filosofis membuatnya membongkar segala penipuan publik, hingga perkara-perkara kecil tak lagi disetiakan. Kecintaan sang gadis terhadap nilai kemanusiaan, memberanikan dirinya berlari dan menjumpai yang lain. Hingga teladan Mother Teresa memaksanya meninggalkan ateisme diri. Ia telah terjerembab dalam suara bayi-bayi yang dibunuh dan anak-anak yang dicabuli hingga mati.

Sementara sang lelaki yang terkurung dalam suatu irama hidup. Ia kerap kali meninggalkan biara tanpa sepengetahuan orang-orang biara. Ia habiskan waktu setelah kuliah dengan menjadi guru bagi anak-anak di sebuah kampung. Sebuah kampung yang letaknya tak jauh dari padatnya kota. Kadang harinya begitu hancur dengan berbagai tuntutan yang memaksa dia harus taat. Seakan beban hidup seketika hilang setelah berjumpa dengan anak-anak kampung dengan sederet senyum kedamaian. Kadang dengan kesibukan yang ada, ia akhirnya lupa kalau hari ini adalah ulang tahunnya. Namun anak didiknya telah menyiapkan sebuah hadiah kecil. Ketika ia tiba, anak-anak langsung berlari dan memeluknya sambil mengucapkan “Selamat ulang tahun frater”. Ia rasakan pelukan anak-anak yang erat seakan ada dunia yang sedang memburu mereka semua. Tuhan seperti sabda-Mu “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku dan janganlah menghalangi mereka.Tuhan terima kasih untuk sukacita hari ini”, bisik lelaki itu dalam hatinya.

Novena pada hari pertama memberinya ia kekuatan untuk melanjutkan novena pada hari berikutnya. Masih dengan suasana yang sama dan langit yang belum berubah. Setelah selesai mengajar anak-anak kampung, ia kembali menuju surau. Di sana ia duduk sambil menantikan sang gadis selesai sholat. Kemudian ia kembali terdiam dengan ujud doa yang masih sama. Hari ini adalah hari yang ketujuh. Tersisa dua hari bagi ia untuk menyelesaikan novenanya selama sembilan hari. Seperti yang sudah-sudah. Sang gadis keluar dari surau dengan mukena yang masih terselubung. Namun kali ini ia sedikit lebih pucat. Nampaknya ia kecapaian. Lelaki itu menatapnya dengan sedikit cemas.

Baca juga :  Bahagia || Puisi

“Kok tatap aku kaya gitu sih. Rindu yaa sama aku. Tenang aku enggak pergi kok. Jangan cemas,” ucap sang gadis dengan manja.

Namun bukan itu yang ia cemaskan, tapi yang ia cemaskan adalah soal kesehatan sang gadis. Apakah keadaannya semakin parah? Lelaki itu berusaha untuk senyum tapi nyatanya, hatinya sedang menangis akan hal buruk yang menimpa sang gadis. Sang gadis mendekatkan posisi duduknya. Menyandarkan kepalanya di bahu lelaki itu sambil menggenggam erat tangannya. Lelaki itu merasakan hembusan nafas sang gadis.

***

Pagi itu sebelum raga-raga diburu oleh matahari. Dan jiwa-jiwa pemberontak meneriakkan perang. Hingga tangan-tangan kasih dipatahkan oleh peluru-peluru milik para predator. Suasana kota di pagi itu menjadi kacau-balau akibat perseteruan antara petugas keamanan dan warga kota. Perseteruan itu terjadi karena seorang petugas keamanan menampar seorang remaja dengan alasan karena tidak mengenakan kerudung ketika menghadiri sebuah pertemuan. Memang pada saat itu hubungan petugas keamanan dengan warga kota masih kacau karena kasus penembakan yang terjadi beberapa dekade lalu, di mana menewaskan seorang perempuan tua. Perseteruan tersebut kemudian melahirkan aksi demonstrasi dari para warga kota terhadap ketidakadilan ini. Dan sang gadis terlibat dalam aksi demonstrasi. Meneriakkan kehancuran dari rahim tanah air yang direnggut.

Di Surau tua seperti biasa ritual yang ia lakukan. Duduk di teras Surau sambil menantikan sang gadis selesai sholat. Namun yang keluar dari Surau adalah seorang lelaki penjaga Surau dengan peci hitam dan janggut panjang. Ia datang dengan suara berat menyampaikan sebuah pesan dari sang gadis bahwa sang gadis sedang dirawat di rumah sakit. Novena hari kedelapan telah terbungkus dalam rasa cemburu. Ia tinggalkan Surau dan setelah itu meleset jauh menuju rumah sakit.

Di pintu kamar perawatan, sang gadis terbaring lemas tak berdaya. Lelaki itu mendekati sang gadis lalu meletakkan tangannya ke atas dahi sang gadis sambil membelainya dengan perlahan. Sang gadis membuka matanya setelah merasakan sentuhan lembut tangan lelaki itu.

“Hai… kamu sudah selesai mengajar ya… Bagaimana anak-anak? Pasti senang punya kaka frater yang baik hati. Ehhh kamu sudah selesai novena, kan?”

Lelaki itu hanya mengangguk dengan mata berkaca-kaca.

“Kamu kok sedih sih. Aku kan enggak apa-apa. Kata dokter aku hanya kecapean. Palingan besok udah sembuh kok. Kamu jangan khawatir. Ingat, jangan lupa novena. Heee…”

“Satu hal yang paling saya cemaskan adalah soal kehilangan. Dan itu terus saja menghantui pikiran saya. Bahkan itu sampai terbawa oleh mimpi. Saya sudah saksikan betapa bapa saya berjuang menghabiskan waktu untuk membiayai ruang perawatan. Mama saya menjual segala yang kami punya bahkan tanah kami, hanya untuk pengobatan bapa saya. Tapi akhirnya bapa saya tidak bisa sembuh dan harus pergi meninggalkan saya dan mama. Dan sekarang saya sedang menyaksikan hal sama yang sedang kau alami. Kau bertarung dengan segala yang kau punya namun kau masih berusaha untuk menyenangkan hati saya. Entah saya harus berbuat apa. Biar saya juga merasakan penderitaan ini bersamamu.”

***

Baca juga :  Narasi Paskah

Hari Terakhir Novena

Di suatu Minggu, juga menjadi hari kesembilan dalam novena di lelaki itu. Sehabis Ekaristi, lelaki itu dipanggil menghadap pimpinan biara untuk menyampaikan sebuah keputusan. Pemimpin biara menyampaikan bahwa ia telah dikeluarkan dari biara. Hal ini karena ia sering meninggalkan biara tanpa sepengetahuan pimpinan dan jarang sekali terlibat dalam kegiatan-kegiatan komunitas. Keputusan itu diterimanya dengan lapang dada.

Sore kembali menjumpainya dengan perasaan campur aduk. Ia telah keluar dan kini sang kekasih sedang bertarung melawan penyakitnya. Entahlah kepada siapa saja yang bisa bertahan di posisi lelaki itu. Ia terbelenggu dengan suatu dilema kehidupan. Sore itu ia kembali ke Surau untuk mengakhiri novenanya pada hari yang kesembilan. Tidak ada sang gadis yang datang untuk menyandarkan kepalanya di bahu lelaki itu. Sang gadis sementara menyandarkan kepalanya di bantal rumah sakit. Adzan maghrib telah usai dan novena sudah pada penghujung ayat terakhir.

Di ranjang ruang perawatan sang gadis tertidur pulas. Selang infus masih melekat pada punggung tangan sang gadis. Lelaki itu masih setia duduk di samping sang gadis. Ia hanya terdiam lalu memandang sang gadis yang tertidur pulas layaknya seorang malaikat yang jatuh dari langit. Ia kecup tangan sang gadis dan berharap bahwa besok sang gadis bisa sembuh dari penyakitnya. Namun hal itu masih menjadi misteri yang Semesta miliki. Manusia hanya bisa berharap dalam kemisterian itu. Mungkin kata seorang bijak itu benar bahwa kemarin adalah sejarah, hari ini adalah anugerah dan esok adalah misteri. Lalu apakah hari ini menjadi suatu anugerah bagi lelaki itu untuk menyaksikan sang gadis bertarung melawan maut? Ataukah Sang Pemilik Kebenaran sedang sibuk dengan yang lain? Semua itu hanya akan terjadi pada hari esok ketika Sang Pemilik Kebenaran sudah kembali dari pengembaraan-Nya di Gunung Tabor.