ClaretPath.com– Manusia dan Pikiran Rasional
Manusia dari hari ke hari memiliki suatu pandangan khusus mengenai hidupnya. Manusia bisa dikatakan sebagai pemegang dunia, karena ia sendiri adalah manusia mencari makna. Nihilisme baginya merupakan suatu kehampaan belaka. Tidak dapat disangkal manusia selalu memiliki suatu pandangan yang kuno; ketegangan antara nihilism dan pencarian makna hidup. kedua hal ini (nihil dan makna hidup) merupakan entitas yang bergerak dalam bayang-bayang asal usul manusia.
Tetapi, perlu kita pahami bahwa manusia harus lebih menyandarkan dirinya pada inti dari filsafat yakni sebuah keteraturan (pemahaman Aristoteles). Keteraturan adalah suatu praktik hidup bahkan dijadikan sebuah modal, bukan modal untuk otoriter. Manusia si pencari makna,dapat ditemukan pada abad-abad awal, di mana dalam gua-gua Hoggar di Perancis Selatan menjadi saksi akan pencarian makna itu. Manusia harus berusaha untuk mengerti. Dengan demikian, ketika manusia terus mencari makna hidupnya, bukan berarti ia dapat mengeksploitasi orang lain. Kuncinya adalah manusia harus mempunyai sebuah keteraturan hidup. Meskipun sebuah hal kecil (keteraturan), tetapi kita adalah manusia pasti menemukan cara yang menarik untuk membawanya sebagai modal pencarian itu.
Rasional: adakah dasar realitas
Masalahnya disini adalah, apakah benar manusia bertingkah dan mengalami sebuah keteraturan dalam pencarian makna hidup? Tulisan ini hanyalah pergulatan Rasionalitas yang selalu ditinggalkan.
Iklim perilaku (attitude) manusia selalu fisikalisme. Manusia selalu memperlihatkan gerak-geriknya. Bahkan dari situ manusia memiliki peran yang besar untuk pertanggungjawaban atas sikap atau perilakunya itu. Rasio merupakan inti dari semuanya. Rasio memiliki suatu kunci pengetahuan yang menarik, karena hanya rasio yang mampu menganalisis. Meskipun rasio seringkali di kedok oleh pemahaman observasi empiris.
Sepertinya kita perlu menegakan rasio. Rasionalitas bisa membeberkan paham fundamentalis, seolah-olah manusia rapuh dalam mencari makna hidupnya. Kali ini saya setuju dengan Marx, ia menyatakan bahwa agama itu sebuah kecanduan, bahkan Freud juga menyampaikan bahwa kita itu seperti seorang anak yang lari ke bapanya untuk mencari sebuah perlindungan. Dengan demikian kita lupa akan kerasionalitasan kita. kita perlu membongkar mitos dan mampu menciptakan mitos baru, menghardik ideologi-ideologi dan melahirkan ideologi baru yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Karena bukan zaman yang mengubah kita, kita yang mengubah zaman.
Rasionalitas bagi saya merupakan satu-satunya jalan menuju keteraturan hidup. mengapa demikian? Pencarian manusia kalau dia hanya meletakan dasarnya pada apa yang dia lihat, ia tidak mampu dalam daya berpikir kritis. Manusia hanya berkedok sampai pada hanya ikut alur, tidak mau menilai apalagi sampai pada pertanggungjawaban. Manusia perlu ilmu kritis, yakni dengan rasionalitas.
Dalam buku politea, Platon memberikan sebuah pemikiran rasio yang menarik, demikian;
Hukum rasional menyatakan bahwa hal terindah adalah saat kita tetap tenang dan tidak berontak meskipun kita berada dalam kemalangan, karena kita tidak pernah tahu apakah ada sesuatu yang baik dan buruk dalam peristiwa seperti itu. Lagipula, tidak ada gunanya kita marah dengannya. Hal-hal manusiawi seperti itu tidak akan ada satu pun yang pantas untuk kita anggap penting….. seperti bermain dadu, kita harus melawan nasib, menegakan diri dengan mencari sarana-sarana yang dianggap rasio sebagai yang terbaik. Jiwa kita harus dibiaskan untuk bersegera menyembuhkan apa-apa yang sakit, menegakan apa-apa yang terkapar, dan menghilangkan keluhan-keluhan dengan obat yang lain (Platon, politea, 604b-d).
Guncangan di abad XIX
Abad ke-19 ilmu pengetahuan menjadi momok yang sangat transenden. Abad ini dikenal dengan sebuah paham saintisme, kepercayaan kepada ilmu pengetahuan dan kemajuan yang mencapai puncaknya. Pada abad ini pun, manusia dirasuki dengan sebuah pemikiran hukum ‘tiga tahap’ dari Auguste Comte (1798-1857). Hukum tiga tahap ini dikenal dengan sebuah ideologi atau dogma manusia yang memiliki roh dalam perkembanganya. Berikut akan saya perkenalkan hukum tiga tahap itu. Teologis; Tahap ini (abad-19), merupakan tahap kekuasaan pada kasta pendeta dan ksatria; tahap ini memberikan sebuah paradigma yang kompleks mengenai manusia; menjelaskan kejadian-kejadian alami yang ada dalam benda alami. Comte memasukan sebuah pemahaman disini, yakni fetisisme, politeisme, dan monoteisme. Kedua adalah, metafisik. Tahap ini memberikan sebuah pemahaman dan penekanan pada kekuasaan atau menitikberatkan pikiran dari para filosof (tahap para filsuf abad ini); tahap ini memberikan sebuah rentetan pemikiran-pemikiran dari abad Yunani yang bertanya mengenai dasar realitas dunia dengan sebab-sebabnya. Tahap ketiga adalah positivistic. Tahap ini memberikan sebuah penegasan dan berfokus pada ilmu pengetahuan, singkatnya tahap ini memberikan sebuah stimulus awal bagaimana teori dan praktek itu memberikan arah yang sejalan. Misalnya, manusia bisa memberikan sebuah indikasi mengenai hukum yaitu hukum alam (Magnis Suseno;2005, 11).
Kita memasuki abad-20. Abad 2o merupakan abad dimana rasio sangat ditekankan. Banyak analitis pemikiran hadir untuk mendobrak dogma-dogma dalam pengatualanya maupun teorinya. Tidak lupa pula hukum tiga tahap Comte sudah mulai dilupakan. Perlu ditegaskan bahwa nilai rohani pada masa teologis abad-19 yang optimis sudah menjadi pesimis pada abad-20. Tetapi pesimis ini merupakan nilai pura-pura dan penuh kecurigaan.
Postmodern
Tak lupa bahwa postmodern adalah sebuah kerangka pemikiran intelektual yang berkembang pada abad 20, bahkan ia membentuk pendirian yang khas dan membedakanya dari paradigma sebelumnya. Pertama, relativisme; paham ini berperan untuk menekankan bahwa tidak ada pandangan atau kebenaran yang absolut, ini hamper sama dengan pemikiran john Hick, yang menolak sebuah absolutism, tetapi menekankan paham monoteis, supaya tidak terjadi sebuah konflik heroic dalam beragama zaman ini. kedua, skeptisme terhadap otoritas. Disini kita akan mengenal pemikiran dari Nietzsche mengenai skeptisisme. Salah satu konsep Friedrich Nietzsche yang mempengaruhi pemikiran postmodernisme adalah “kematian Tuhan” (God is dead). Nietzsche menyatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran kritis telah meruntuhkan keyakinan tradisional dalam agama, dan karenanya, “Tuhan” telah kehilangan relevansinya sebagai sumber moral dan otoritas. Pemikiran ini menjadi dasar bagi postmodernisme dalam menggantikan otoritas-otoritas tradisional dengan konstruksi-konstruksi budaya yang lebih fleksibel dan bervariasi. Nietzsche juga menyoroti peran bahasa dan retorika dalam pembentukan pemahaman kita tentang dunia, yang juga menjadi fokus utama dalam pemikiran postmodern. Oleh karena itu, konsep “kematian Tuhan” Nietzsche adalah salah satu aspek penting dalam pergeseran menuju pemikiran postmodern.
Pengaruh Nietzsche
Pengaruh Nietzsche terhadap postmodernisme adalah sebagai berikut:
- Skeptisisme Terhadap Kebenaran Absolut: Konsep “kematian Tuhan” Nietzsche mencerminkan pemikiran bahwa keyakinan absolut dalam Tuhan atau kebenaran telah runtuh. Ini sejalan dengan skeptisisme postmodern terhadap narasi besar dan kebenaran absolut.
- Penghormatan Terhadap Pluralisme dan Keragaman: Nietzsche menekankan bahwa setelah “kematian Tuhan,” manusia harus menciptakan nilai-nilai mereka sendiri. Hal ini menciptakan landasan untuk postmodernisme yang menghargai keragaman pandangan dan nilai-nilai yang berbeda-beda.
- Pencarian Identitas Individu: Konsep-konsep Nietzsche tentang “superman” (Übermensch) dan eksistensialisme yang muncul dari pemikirannya berfokus pada pencarian identitas individu yang otonom dan merdeka. Ini sejalan dengan fokus postmodern pada identitas individu yang kompleks.
Jadi, pemikiran Nietzsche tentang “kematian Tuhan” dan konsekuensinya mempengaruhi pemikiran postmodern dalam cara-cara yang mencerminkan skeptisisme terhadap narasi besar, penekanan pada keragaman, dan pencarian identitas individu.
Jadi, Manusia secara inheren merupakan pencari makna hidup, yang menghadapi ketegangan antara nihilisme dan pencarian makna. Namun, penting bagi manusia untuk menyandarkan diri pada keteraturan hidup, bukan nihilisme, sebagai modal dalam pencarian makna tersebut.
Rasionalitas menjadi kunci dalam menghadapi pergulatan antara nihilisme dan pencarian makna hidup. Melalui rasionalitas, manusia dapat menggali pemahaman yang lebih dalam tentang keberadaannya dan menciptakan keteraturan hidup yang membantu dalam pencarian makna.
Pemikiran-pemikiran dari tokoh seperti Marx, Freud, dan Plato memberikan wawasan tentang kompleksitas manusia dalam pencarian makna hidup, pengaruh agama, dan pentingnya rasionalitas dalam menghadapi perubahan zaman. Abad ke-19 dan ke-20 menjadi penting dalam perkembangan pemikiran manusia, dari teologis, metafisika, hingga positivistik, serta pergeseran menuju postmodernisme yang menekankan skeptisisme terhadap kebenaran absolut, penghormatan terhadap pluralisme, dan pencarian identitas individu.
Dengan demikian, tulisan tersebut mengajukan pemikiran tentang pentingnya rasionalitas, keteraturan hidup, dan penghargaan terhadap pluralisme dalam menjawab tantangan manusia dalam mencari makna hidup di tengah-tengah pergulatan antara nihilisme dan pencarian makna.
Kepustakaan
Plato. “Politeia” (“Negara”). Terjemahan Bahasa Inggris oleh G.M.A. Grube, Revised by C.D.C. Reeve. Hackett Publishing Company, 1992.
Nietzsche, Friedrich. “Thus Spoke Zarathustra” (“Also sprach Zarathustra”). Terjemahan Bahasa Inggris oleh Walter Kaufmann. Penguin Classics, 1966.
Nietzsche, Friedrich. “Beyond Good and Evil”. Terjemahan Bahasa Inggris oleh R.J. Hollingdale. Penguin Classics, 2003.
Nietzsche, Friedrich. “The Will to Power”. Terjemahan Bahasa Inggris oleh Walter Kaufmann dan R.J. Hollingdale. Vintage, 1968.
Marx, Karl. “Das Kapital”. Terjemahan Bahasa Inggris oleh Ben Fowkes. Penguin Classics, 1992.
Marx, Karl, dan Friedrich Engels. “The Communist Manifesto”. Terjemahan Bahasa Inggris oleh Samuel Moore. Penguin Classics, 2002.
Freud, Sigmund. “The Future of an Illusion”. Terjemahan Bahasa Inggris oleh James Strachey. W.W. Norton & Company, 1989.
Freud, Sigmund. “Totem and Taboo”. Terjemahan Bahasa Inggris oleh James Strachey. W.W. Norton & Company, 2001.
Comte, Auguste. “Course in Positive Philosophy”. Terjemahan Bahasa Inggris oleh Harriet Martineau. Hackett Publishing Company, 1988.
Comte, Auguste. “System of Positive Polity”. Terjemahan Bahasa Inggris oleh John Henry Bridges. Cambridge University Press, 2011.
Hick, John. “An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent”. Yale University Press, 2004.
Hick, John. “The Myth of God Incarnate”. SCM Press, 1977.
Derrida, Jacques. “Of Grammatology”. Terjemahan Bahasa Inggris oleh Gayatri Chakravorty Spivak. Johns Hopkins University Press, 1998.
Foucault, Michel. “Discipline and Punish”. Terjemahan Bahasa Inggris oleh Alan Sheridan. Vintage Books, 1995.
Lyotard, Jean-François. “The Postmodern Condition”. Terjemahan Bahasa Inggris oleh Geoff Bennington dan Brian Massumi. University of Minnesota Press, 1984.
Rorty, Richard. “Contingency, Irony, and Solidarity”. Cambridge University Press, 1989
Mahasiswa Filsafat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Pengagum absurditas Albert Camus