Luka Yang Kutaburi | Cerpen

Pictured by Sahabatnesia.com

Penaclaret.com – Malam ini, hujan begitu deras mengguyurkan air pada bubungan atap kota Ruteng. Yang mengingatkan aku pada tahun 2012 silam. Menyiram berkat dan  rahmat akan kelimpahan hasil tanah.

Guyuran hujan selalu membawa dingin yang menemani sunyi dan sepi akan kesendirian hati. Hati yang kala itu memandang sosok yang merekah merah delima dengan senyum membara akan penuh ketulusan.

Hati yang tak sengaja dipertemukan di bawah sebuah payung, yang entah milik siapa kita berteduh bersama. Memadu kasih akan iman yang penuh dengan harapan.

Pertemuan itu ternyata membawa sebuah benih cinta yang ku pilih di antara sekian banyak sosok wanita. Benih itu ku simpan dan ku jaga dengan penuh kasih, agar jangan sampai ia termakan ngengat dan waktu, sebelum musim menanam datang menghampiri.

Pada akhir pekan bulan Februari tibalah saatnya benih itu untuk ditaburi. Ku menaburi benih itu di atas lahan yang telah ku perhatikan selama ini. Yang keelokannya bagaikan mata jarum, yang ujung tajamnya telah siap menikam sum-sum tulangku, meluluhkan segala kekuatanku. Namun, pada akhirnya mata jarum itu akan menyulam kehidupan baru. Kurasa tempat itu mampu menumbuhkannya.

Baca juga :  Sepenggal Sajak dari Frater untuk Mantan II

Dengan gagap ku menyiraminya, sampai lidah tak karuan tuk berkata akan benih cinta yang ingin ku taburi. Dengan bercucuran tangisan air mata kebahagian ku merayakan akan musim menanam yang telah menghampiriku.

Namun, kebahagian itu dengan cepat direnggut oleh sang waktu. Semuanya hancur berkeping-keping, tanpa melihat benih itu tumbuh menghasilkan kecambah kehidupan akan dunia yang baru.  Hanya “sampai di sini” kehidupan itu pun berakhir.

Satu kalimat engkau lemparkan kehadapanku, bahwa there is no feeling. Weta dan nara pun menjadi tameng perlindungan agar rasa malu dan benci tak membuncah. Benih cinta diterlantarkan begitu saja. Dia terbuang pada tempat yang tak akan mampu menumbuhkannya.

Waktu terus bergulir, sampai membawaku pada suatu pagi. Pagi yang terasa sendu bagiku. Seoalah gairah hidup telah direnggut dari jiwa ini. Kuingin pagi ini cepat berlalu dan malam secepat mungkin menghampiriku. Agar aku kembali beradu dengan sejuta keindahan dari mimpi-mimpi yang ku bangun sendiri bersama malam yang setia menemani.

Baca juga :  Sepenggal Sajak dari Frater untuk Mantan

Ku melangkahkan kaki menuju sederetan tumpukan buku, yang semalam tak sempat ku rapikan. Tak sengaja ekor mata ini menangkap satu dari setumpukan buku yang ku baca semalam. Buku yang tergeletak begitu saja dan menampilkan halaman yang sebenarnya tak ingin ku lihat.

Halaman itu, menampilkan tanggal yang sebenarnya menjadi titik awal kisah kehidupanku bersama dengan dia. Entah kenapa, dianya pergi tanpa meninggalkan setitik harapan dan ruang untuk menumbuhkan benih cinta ini. Kepergiaannya meninggalkan luka yang kuciptakan sendiri, karena menaruh harapan terlalu besar pada dirinya. Tatapan matanya saat itu, hanyalah kamuflase dari rasa benci. Sadar, bahwa kepergiannya tanpa alasan selain tak memiliki rasa itu tak mungkin. Karena, rasa bisa dibangun bukan diterlantarkan. Alasan, there is no feeling, itu hanyalah alat yang digunakan untuk menjauh, because physique is not able to compete.

Aku pun hanya tercengang, menerima kenyataan yang diperhadapkan kepadaku. Weta dan nara bukanlah tameng yang baik untuk dipakai. Sebab, rasa ini memandangmu sebagai perampuan yang ku impikan, bukan saudari untuk menjalin hubungan kekerabatan. Sebuah lirik lagu “you are my sunshine, only my sunshine, and make me happy”, kini telah kuhidupi. Engkau hanya akan menjadi my sunshine sebagai penghangat dan pencerah dalam hariku. Walau jarakku darimu begitu jauh. Kita hanyalah benih cinta dari weta-nara “sepasang kekasih telanjang makna, yang saling cinta dan mencintai”.

Baca juga :  Tentang Rasa

Karena malam ini masih terasa begitu dingin. Sedingin diriku padamu, waktu pertama kali kita bertemu. Di bawah satu payung yang menjadi saksi nyata kisah kita berdua. Angin utara masih berhembus. Tanda hujan masih turun. Kenangan itu masih membara, dengan kehangatan yang masih sama. Tak perlu engkau bertanya akan keberadaanku, yang mungkin berpihak ke lain tempat.  Percayalah, keberadaanku tak perlu dibuktikan. Sebab, keberadaan ku tidak mampu dijelaskan sesederhana itu dengan kata-kata semata.