Oleh: Sr. Maria Carey Kadju, SSpS*
Awal mengenalnya dalam jejak bisu yang kadang membingungkan. Jujur, aku takut menyebut dia siapa? Bahkan dalam jumpa yang kelihatan sepi, kami seolah tak pernah saling mengenal. Tapi jujur, aku terpikat oleh bola mata dan senyumnya yang tulus. Bagaimana aku harus bisa mendekatinya? Atau bagaimana aku harus bisa bercerita dengannya. Memang harus kuakui, aku hanya bisa mengaguminya dalam diam. Sedang riak dalam jiwa menggelora untuk bisa berjumpa dengannya. Kapan jumpa yang mempertemukan biar ada cerita. Ahh sudah. Dia punya banyak kesibukan yang tidak boleh aku ketahui.
Seiring berjalannya waktu, kami akhirnya bertemu pada sebuah acara sederhana. Ya, aku terpikat pada senyum manis yang melekat pada bibirnya yang ranum. Aku secara sengaja memotretnya menggunakan telepon genggamku dan secara sadar menyimpannya di dalam galeri pribadiku. Ya, ini kekaguman gila. Aku mengambil gambarnya tanpa izin. Tapi tak apa, hanya sekadar gambar, bukan raganya. Senyum manisnya terus membekas dalam diamku. Apalagi ketika kami masih sempat bercerita. Cerita yang cukup sederhana, yakni menanyakan kabar, mencari informasi seputar masa kuliah dan bangku sekolah menengah. Terkesan sangat formalitas, namun aku sangat suka pada momen ini. Aku bisa bertemu dengan dia dalam tatap mata yang menggemaskan. Ya, dia membuat aku boleh menghabiskan waktuku untuk menulis sepenggal syair dan rindu.
Pada jumpa yang kedua, aku masih ingat, aku memberanikan diri untuk meminta nomor teleponnya. Ya, biar dinilai berlebihan, aku tetap nekat untuk memintanya. Tujuanku bukan semata-mata karena mengaguminya tetapi karena ingin mencari teman cerita. Aku dengan rasa sedikit segan mengirim pesan singkat padanya. Tak lama menunggu, dia membalas pesanku. Walaupun dengan balasan yang cukup singkat, aku menyukai balasan ini. Artinya dia mau menyimpan nomor teleponku. Kami mulai sering membangun percakapan. Kami jadi teman cerita yang sangat akur. Berbagai macam candaan sampai pada hal yang sangat serius, kami kisahkan secara bersama. Aku terkesan dengan kedewasaannya membangun komunikasi.
Sekian fajar pun berlalu. Dalam jalinan kisah, aku harus katakan bahwa aku mengaguminya. Sudah sekian purnama, aku menuliskan kisah kagumku melalui berbagai macam media. Status WA, status FB pun dalam buku harianku, tertulis namanya. Kadang kukirimkan padanya. Berharap ada balasan rindu yang berkesan tetapi masih sebatas balasan pada emoticon yang kadang membingungkan. Apa daya, rindu tak selalu tepat sasar. Atau cinta tak selalu diwujudkan dalam balasan yang nyata. Aku menikmati kisah ini. Tetapi, aku harus bisa menguasai rasa, biar tak membunuhku. Kadang rasa begitu menggebu, ingin mengutarakan kalau aku mencintainya dan merindukannya. Namun, apakah aku layak mengutarakan rasaku, sedangkan dia mungkin telah memiliki yang lain?
Tak apalah. Dia milik yang lain bukan menjadi masalah bagiku. Biarkan aku menyampaikan yang aku rasakan. Biar aku tak terpendam dalam siksa rindu yang kadang membuatku tak berdaya. Aku merindukannya itu perkara bagiku, sedang dia milik orang lain adalah persoalan dia dengan yang lain. Tetapi apa pantas? Dengan berani aku mengisi relung rinduku dengan sebait puisi. Barangkali dia mampu mengerti perasaanku. Beberapa syair kerinduan kukirimkan padanya. Tanpa takut dan resah, aku mengirimkan padanya satu syair puisi. Mulai sekadar mengetahui apa reaksi balasannya. Tetapi yang terjadi hanya sebatas emoticon kuno yang menjenuhkan. Aku menikmatinya. Kuyakin bahwa ini sebagai sebuah proses. Tak semudah meniupkan balon atau menginjakan kaki pada tanah. Aku harus menunggu dan terus menunggu. Mungkin sewaktu dia boleh berkata, kalau dia merindukan aku juga. Tetapi ini kapan?
Dalam tanya yang tak pernah berakhir. Aku titipkan hanya bisa dalam doa. Mungkin Tuhan membuka hatinya, biar mungkin dia tahu kalau aku merindukannya dalam harapan yang tak pernah selesai. Untuk mengisi relung rindu yang dalam, kadang aku melampiaskan dengan memandang fotonya yang ada di hp androidku. Aku memerhatikan secara saksama, bagaimana caranya tersenyum sampai pada bentuk bola matanya yang membuat aku terpesona.
Kadang aku terjebak dalam rindu. Mengirim pesan hanya sebatas melunasi rasaku yang kalut. “ Aku merindukanmu” , demikian pesan yang setia kukirimkan padanya. Namun, jawabannya sedemikian dingin. Kadang tak ada jawaban. Luka itu bertumbuh ketika hanya mampu melihat dua centang biru yang tertera dalam dinding WA. Ini resiko yang paling dalam ketika harus merindukan orang tanpa ada balasan rasa yang dalam. Walaupun demikian, aku tidak perlu memaksakannya untuk merindukan diriku. Apalagi harus berkata bahwa kau harus merindukan diriku. Pada prinsipnya rindu harus dipahami sebagai perasaan murni yang tidak perlu dipaksakan. Aku tidak perlu mendesak dia agar merindukanku. Aku juga tak harus mengatakan kepadanya bahwa kau selayaknya membalas pesan yang telah aku kirimkan padamu. Yang boleh aku lakukan adalah membiarkan semuanya mengalir dalam tataran waktu. Siapa tahu, dia mendiami rindu yang dirasakannya dan secara tetap mendoakanku.
Beriring berjalannya waktu, aku harus katakan secara jujur bahwa aku tidak boleh membuatnya tersiksa oleh karena rinduku. Rasa yang timbul pada jumpa adalah rindu. Ketika aku secara berani mengatakan bahwa aku merindukannya dan saat yang sama aku mendapatkan senyum tulusnya. Ini pertanda rindu yang tulus, Yang tak selalu dia ungkapkan dalam rasa yang dalam? Tetapi aku butuh balasan rindu yang olehku harus terwujud dalam nyata. Tidak apa, aku harus bisa memahami karakternya. Aku tak boleh memaksakan yang sebenarnya. Bukankah aku layak menghidupi kisahku dengan untaian rasa yang boleh kumaknai sendiri? Biarkan saja dia memahami rasanya dan mungkin dia juga merasakan hal yang sama hanya tidak mampu mengungkapkan dalam kata.
Pada masanya, semoga dia tahu arti cinta yang telah aku tunjukan padanya. Bahkan dalam rasa yang dalam, aku mengakui untuk mencintai dalam segala yang telah ada padanya termasuk dalam kerapuhan yang tengah dia alami. Namun, aku hanya bisa berdoa dalam relung agar dia baik-baik saja. Mungkin cara mencintainya dan cara untuk merindukannya harus aku ubah dengan cara yang lain, yakni mendoakan dia. Ya, jalan terbaik yang harus aku temukan layaknya demikian. Aku tidak perlu memaksakan rasanya atau membuat dia tersiksa karena rasaku. Apa arti dari rindu apabila yang terjadi adalah siksa rasa yang tak pernah selesai.
Aku sadar, tak perlu menanti balasan rindu dalam jejak yang lama sebab untuk rindu, kita harus butuh banyak waktu. Aku hanya bisa merindukannya. Batasan yang perlu dan rasa yang paling baik adalah memberikan dia kesempatan untuk menentukan rasanya sendiri. Aku harus bisa mengolah rasa rindu. Mungkin aku bisa menemukan dia dalam kisah yang lain atau menganggapnya mungkin sebatas saudari yang boleh aku kagumi dalam waktu. Tak dipungkiri, hal ini sangat sulit sebab aku harus bisa mengolah semuanya dalam waktu. Masih hanya sebatas bisa tak biasa. Apakah aku mampu mengarahkan rasa dengan sepenuh hati atau masih sebatas mengawasi rasaku dengan berbagai macam pertimbangan yang membuat aku tidak bisa keluar dari rasaku dan menjadi diri sendiri.
Aku harus akui bahwa pengalaman jumpa dengannya memberikan getaran rasa yang luar biasa. Bagaimana mungkin,aku harus bergulat dalam kisah ini untuk beberapa waktu tanpa ada jawaban. Aku memang berani untuk mengatakan bahwa aku merindukan hadirnya dalam saat yang paling hening, tetapi mimpi pun masih sebatas dalam kemungkinan yang lama. Apa aku harus melepas rasa ini? Atau aku harus pergi?
Perasaan kadang demikian, selalu memunyai dua sisi yang sama membuat orang merasa ambigu. Di satu sisi selalu membuat rindu, di sisi lain serentak membuat orang merasa sulit untuk beralih. Namun, aku harus bisa mengatasinya demi dia dan juga demi rasaku. Apa mungkin, aku harus menyebutnya sebagai tatapan rasa yang terlalu sulit untuk aku jamah? Atau aku menyebut dia sebatas angan yang tak pernah terwujudkan. Perasaan yang timbul dan kehendak yang tak pernah sampai ibarat menjangkau fatamarogama, semuanya hanya tetap dalam bayangan.
Ambiguitas makna kerinduan pun telah aku temukan dalam persoalan rasa. Bagaimana menaklukkan rasanya? Itu tidak mungkin. Biarkan semuanya berlalu. Atau biarkan dia merasakan apa yang seharusnya dia rasakan bukan memaksakan apa yang telah aku rasakan.
Jujur bahwa sulit untuk melupakan dia. Tidak mungkin aku melupakan senyum manis dan kedua bola matanya yang selalu mengisahkan kenangan. Kenangan yang terjadi tetap akan menjadi sebuah kenangan. Tidak mungkin akan terulang, walau dalam rentetan pristiwa yang hampir mirip. Selalu saja ada yang istimewa dari kenangan. Oleh karena itu, syukuri perjumpaan dan hargailah kenangan. Mungkin hal itu sangat menyakitkan dan membuatku hilang arah , tetapi semua yang terjadi selalu memberikan warna bagi perjalan hidup.
Aku titipkan kisah ini pada lembaran usang. Mungkin dia akan lenyap dan terbakar pada mentari. Tapi kisah ini tetap untuk dalam jiwa. Sewaktu akan kukenangan. Dalam kenangan aku akan sangat tersenyum sembari merindukan waktu untuk bersamanya. Kelak ada waktu untuk bertemu, biarkan pertemuan kami hanya bisa dihiasi dengan suasana yang lain. Atau mungkin kalau tidak pernah bertemu dan beradu tatap, biarkan kisah kami bercerita dalam panorama alam yang telah kami tapaki.
Penulis adalah biarawati yang jatuh cinta pada sastra dan kemanusiaan. Pegiat Literasi dalam bidang sastra (puisi dan cerpen)*
ClaretPath.Com adalah ruang pengembangan bakat menulis dan media kerasulan, terinspirasi dari Santo Antonius Maria Claret, Pelindung Pers Katolik.