Penaclaret.com – Kisah hidup Epikuros memang agak susah untuk diketahui secara detail. Salah satu sumber yang sering dirujuk adalah dari Diogenes Laertius, seorang penulis biografi para filsuf Yunani. Informasi dari Diogenes pun sebenarnya merupakan kompilasi dari berbagai sumber tanpa mempertimbangkan urutan dan konsistensi.[1] Meski demikian, apa yang dibuat Diogenes mampu memberikan gambaran yang cukup baik untuk mengetahui Epikuros sebagai pribadi dan filosof. Epikuros lahir di Samos, sebuah kota koloni Athena, pada tahun ke 3 dari Olimpiade ke 109 pada hari ketujuh bulan Gamelion (Februari 341 SM) tujuh tahun setelah kematian Plato (347 SM).[2]
Epikuros tidak ragu-ragu untuk mengatakan bahwa jika orang ingin bahagia maka hidupnya harus sedemikian rupa diarahkan untuk mencapai nikmat. Dalam Surat Kepada Menoekeus §129, ia mengatakan bahwa kenikmatan merupakan dasar dan tujuan dari setiap pilihan tindakan kita. Baik atau buruk sebuah tindakan bergantung pada apakah kita merasa nikmat atau tidak ketika berbuat sesuatu. Akan tetapi gagasan mengenai kenikmatan sebagai jalan menuju bahagia ini tidak bisa dipahami secara sederhana.
Epikuros tidak membuat pembedaan terhadap setiap kenikmatan yang dialami. Semua bentuk kenikmatan selama tidak menimbulkan penderitaan pada tubuh maupun jiwa memiliki tingkat kebaikan yang sama besar. Dengan kata lain, Epikuros tidak mendasarkan gagasannya pada suatu pembedaan nilai moral yang ada pada kenikmatan itu sendiri.[3] Dalam Doktrin-Doktrin Pokok no. 19, Epikuros mengatakan bahwa nikmat yang tahan lama dan singkat dapat memberi kualitas yang sama besar, ketika kita mengukur batas-batasnya dengan akal budi. Meskipun semua kenikmatan pada dirinya sendiri baik, tidak berarti kita bisa sembarang menikmati.
Epikuros lebih menekankan kenikmatan yang bertahan lama daripada sesaat. Karena itu, jika suatu kenikmatan hanya mendatangkan penderitaan lebih besar, sebaiknya diabaikan dan dihentikan. Akan tetapi, tidak semua penderitaan itu buruk, sama seperti tidak semua kenikmatan itu baik. Dalam Doktrin-Doktrin Pokok no. 4, Ia mengatakan: “Penderitaan tidak akan berlangsung terus menerus dalam tubuh, sebaliknya penderitaan sekalipun yang paling buruk, berlangsung hanya dalam waktu yang sangat singkat, dan sekalipun penderitaan itu melebihi kenikmatan dalam tubuh, ia tidak akan berlangsung berhari-hari. Sementara itu, penderitaan yang berkepanjangan sebenarnya membawa lebih banyak kenikmatan pada tubuh daripada rasa sakit.” Dalam operasi misalnya, kita mungkin mengalami sakit, tetapi tindakan ini dapat memberikan kebaikan yang lebih besar, yakni kesehatan.
Penderitaan hanya dikategorikan sebagai buruk bila merupakan hasil dari kenikmatan yang salah, dan kenikmatan hanya dikategorikan sebagai baik bila tidak mendatangkan penderitaan. Menahan diri untuk tidak makan manisan berlebihan mungkin memberikan penderitaan karena kita harus membendung segala hasrat alamiah untuk menikmati, akan tetapi sakit akibat makan manisan berlebihan jauh lebih buruk bagi kita. Dengan membendung hasrat kita untuk menikmati sesuatu yang dapat mendatangkan penderitaan yang lebih besar, terbuka kemungkinan bagi kita untuk memperoleh hal-hal lain yang lebih mendatangkan nikmat.
Di sini menjadi jelas bahwa kenikmatan dalam konsep Epikuros bukanlah yang bersifat sesaat tetapi yang terus berlangsung selama hidup manusia.[4] Singkatnya, segala kenikmatan harus menjadi tujuan yang membahagiakan. Dalam Doktrin-Doktrin Pokok no. 8, Epikuros mengatakan bahwatidak ada kenikmatan yang buruk pada dirinya sendiri, akan tetapi hal-hal yang menghasilkan nikmat seringkali mendatangkan gangguan yang lebih besar daripada kenikmatan itu sendiri. Karena itu, untuk memperoleh nikmat yang sungguh-sungguh baik, orang harus tahu membatasi diri.
Sikap tahu batas memampukan kita untuk puas dengan apa yang diperoleh, hidup apa adanya dan tidak mengada-adakan apa yang tidak ada. Jika kita terus mendorong keinginan untuk memperoleh apa saja maka kita sedang memberi ruang pada hidup yang tidak tenang. Bagi Epikuros, semua keinginan yang membawa pada penderitaan dan tidak pernah memuaskan sama sekali tidak berguna. Selama kita terus menerus mengejar apa-apa yang mendatangkan nikmat tanpa memikirkan akibat yang dapat ditimbulkan, hidup kita justru menjadi tidak menyenangkan. Kita tidak bisa membatasi diri sehingga ketika apa yang diinginkan tidak tercapai, kita menjadi tertekan dan gelisah.
Epikuros sendiri mengatakan bahwa keinginan ada yang alamiah dan niscaya (makan saat lapar), ada yang alamiah tetapi tidak niscaya (makanan yang mewah dan mahal), dan ada yang tidak alamiah dan tidak niscaya/keinginan kosong dan sia-sia (kekayaan).[5] Kenikmatan yang paling tinggi hanya diperoleh melalui pemenuhan keinginan yang alamiah dan niscaya. Kesanggupan untuk memenuhi keinginan yang alamiah tetapi tidak niscaya memang memungkinkan kenikmatan (sejauh tidak mendatangkan penderitaan), tetapi jika keinginan itu tak terbatas dan hanya akan menimbulkan penderitaan, maka harus ditolak. Demikian juga keinginan yang sia-sia sama sekali tidak berarti karena hanya didasarkan pada opini yang menyesatkan.
Orang yang puas dengan sedikit akan lebih menikmati hidupnya karena ia tidak pernah gelisah ketika tidak mampu memperoleh banyak. Karena itu, bagi Epikuros orang yang hidupnya paling mewah adalah orang yang justru tidak membutuhkannya. Dan dalam segala kecukupannya, ia merasa memiliki segalanya, karena apa yang alamiah memang sangat mudah diperoleh. Ketika kebutuhan alamiah sudah terpenuhi sebenarnya tidak ada lagi yang kita butuhkan. Sebaliknya, segala yang sia-sia (kemewahan) tidak mudah didapat dan sama sekali tidak berharga. Karena itu, kesederhanaan menjadi penting bagi Epikuros.
Kenikmatan orang yang hidup sederhana tidak lebih kecil bahkan lebih besar dari mereka yang hidup dalam kemewahan. Orang yang hidup sederhana selalu mencukupkan diri, sebaliknya orang yang hidup dalam kemewahan kadang tidak bisa mengontrol keinginannya sehingga sekali ia gagal memperoleh apa yang diinginkan, hidupnya menjadi tidak menyenangkan. Kesederhanaan memampukan seseorang untuk memilih dan memilah apa yang sungguh dibutuhkan dan apa yang sekadar keinginan sia-sia.
Orang yang hidup sederhana tidak akan menjadi budak dari keinginannya sendiri. Karena itu, Epikuros menegaskan bahwa air dan roti saja sebenarnya sudah cukup untuk memberikan kenikmatan. Karena secara alamiah, ketika kita merasa lapar hanya dua hal itulah yang paling dibutuhkan. Kesederhanaan tidak membuat orang takut dengan apa yang harus dipilih dan dimiliki, karena selama ia memilikinya, ia puas dan bahagia dengannya, dan ketika ia tidak memilikinya, ia tetap tidak merasa cemas.
Orang yang terbiasa hidup sederhana akan merasa asing dengan segala bentuk kemewahan. Karena itu, Epikuros menegaskan ukuran atau batas tertinggi dari suatu kenikmatan adalah hilangnya penderitaan pada tubuh (aponia) dan jiwa (ataraxia). Ketika kenikmatan dialami, dan selama keadaan ini tidak mengalami gangguan, tidak akan ada lagi penderitaan baik pada tubuh maupun pikiran atau keduanya secara bersamaan.[6] Kenikmatan dalam pemikiran Epikuros memang tidak dipahami dalam arti positif (perasaan puas) tetapi lebih negatif (hilangnya gangguan). Hal ini bisa dipahami mengingat perasaan puas tidak selalu menjamin hilangnya penderitaan.
Epikuros ingin mengajarkan kita untuk mengejar apa yang secara alamiah memang sungguh kita butuhkan. Sejak lahir manusia berada dalam kondisi alamiah yang bebas dari penderitaan baik pada tubuh maupun jiwanya. Melalui ajarannya Epikuros ingin mengajak setiap orang untuk senantiasa berusaha berada dalam keadaan alamiah ini. Dan untuk mencapainya orang dituntut untuk meminimalisir segala keinginannya. Penderitaan timbul ketika orang berusaha untuk melampaui kebutuhan alamiah. Akar dari semua ini adalah opini kosong yang menyesatkan.
Pada saat lapar, kita makan ada sensasi nikmat karena kenyang. Namun jangan lupa, pada saat lapar dan kita makan, kadang ada opini tambahan yang menyertai, misalnya makan yang enak haruslah mewah. Akibat opini yang salah, maka batas alamiah kenikmatan makan terlampaui sehingga orang masuk dalam keserakahan. Keinginan makan untuk mencari kenikmatan bisa dibelokkan oleh penilaian yang salah sehingga kita tidak lagi ingat dengan fakta nyata sensasi nikmat makan itu sendiri. Inilah awal mula hasrat kosong akan kenikmatan.[7]
Dalam Doktrin-Doktrin Pokok no. 30, Epikuros mengatakan bahwa keinginan-keinginan alamiah sekalipun tidak terpenuhi tidak akan menyebabkan penderitaan. Akan tetapi jika obyek-obyek yang memuaskan keinginan alamiah itu diburu dengan penuh nafsu, maka hal itu sebenarnya didasarkan pada opini yang menyesatkan. Dan jika obyek-obyek itu tidak bisa disingkirkan, hal itu bukan karena sifat alamiah obyek itu memang demikian, tetapi karena opini kosong manusia.
Agar bisa terhindar dari segala opini yang menyesatkan saat memilih apa yang harus dinikmati, orang dituntut untuk memiliki kebijaksanaan. Bagi Epikuros, kebaikan yang utama dan tertinggi adalah kebijaksanaan bahkan lebih berharga daripada filsafat, karena dari kebijaksanaan mengalir semua kebajikan lainnya.[8] Orang yang bijaksana adalah orang yang paling menikmati hidupnya, karena ia tahu mengontrol segala keinginannya. Ia adalah tuan atas dirinya sendiri karena selalu memilih atau menolak sesuatu berdasarkan pertimbangan yang tepat dan selalu terarah pada tujuan-tujuan yang sungguh benar dan membahagiakan.
Orang bijaksana tidak hanya menjalani hidupnya untuk memperoleh nikmat sebanyak-banyaknya tetapi senantiasa berusaha mengisi perbendaharaannya dengan apa yang paling baik. Bagi Epikuros, orang bijaksana adalah orang yang memahami batas-batas dari kehidupan. Dan dia yang memahami batas-batas dari hidup tahu betapa mudahnya untuk mendapatkan sesuatu demi menghilangkan penderitaan akan keinginan, dan dengan demikian membuat seluruh hidupnya lengkap dan sempurna.[9] Ia akan meminimalisir kebutuhannya dan tidak akan terus menerus menambah jumlah kenikmatan selama itu hanya akan mendatangkan penderitaan lebih besar.
Epikuros mengatakan bahwa kemalangan jarang sekali mengganggu orang bijak karena perhatian utamanya adalah bagaimana ia hidup di bawah tuntunan akal budi sepanjang hidupnya.[10] Akal budi mampu memahami tujuan dan batas dari tubuh dan mampu menghalau rasa ngeri terhadap berbagai peristiwa yang akan datang, serta menjamin seseorang untuk mendapat hidup yang lengkap dan sempurna.[11] Berkat akal budinya, orang bijaksana akan sedemikian rupa mengarahkan setiap pilihan dan penolakan demi menjaga tubuh tetap sehat dan pikiran tetap damai, karena ini merupakan puncak dan akhir dari hidup yang bahagia dan terberkati.
Orang yang bijaksana tidak hanya menjalani hidupnya untuk memperoleh kenikmatan bagi tubuh tetapi juga pikiran. Karena itu, kenikmatan bagi Epikuros lebih bersifat rohani daripada jasmani.[12] Kenikmatan rohani (ketenangan jiwa) memang menyatu dengan kenikmatan tubuh, tetapi penekanan Epikuros lebih pada kenikmatan pikiran (jiwa) karena penderitaan pada tubuh berlangsung sangat singkat sedangkan penderitaan dalam pikiran berlangsung lebih lama.
Kaum Epikurean kemudian menegaskan hal ini dengan mengatakan bahwa penderitaan dalam jiwa (pikiran) lebih besar daripada penderitaan dalam tubuh, karena penderitaan dalam tubuh hanya dialami saat ini, tetapi penderitaan dalam jiwa dialami juga ketika kita mengingat kembali keburukan pada masa lalu dan membayangkan adanya kemungkinan keburukan pada masa yang akan datang.[13] Bagi Epikuros, kenikmatan dalam tubuh memiliki batasnya, tetapi kenikmatan dalam pikiran akan berlangsung terus menerus, bahkan pada saat-saat kematian, pikiran tidak pernah kehilangan kenikmatan atas hidup yang sempurna.[14]
Meskipun merupakan aspek penting dalam menentukan hidup yang sungguh nikmat, kebijaksanaan tidak memiliki tujuan pada dirinya sendiri. Ia hanya instrumen untuk mencapai kenikmatan.[15]Kebaikan dari kebijaksanaan hanya diukur dari kesanggupannya untuk menghasilkan kenikmatan.
Akhirnya, ajaran Epikuros memang bukan suatu wacana teoritis melainkan seni hidup yang tujuannya adalah kebahagiaan. Karena itu, dalam bagian akhir Surat Kepada Menoekeus §135, Epikuros mengingatkan untuk setia melatih diri dengan semua hal yang telah diajarkannya.
Dalam arti tertentu, ajaran Epikuros bersifat egoistis karena penekanannya lebih pada ajakan untuk mengusahakan kenikmatan personal. Dalam prakteknya, Epikuros memang mengajarkan para pengikutnya untuk tidak terlibat dalam kehidupan sosial-politik dan hanya melatih diri dalam lingkup sekolahnya. Meski demikian, ajaran Epikuros tidak sepenuhnya egois. Ia hanya ingin menawarkan cita-cita kehidupan pribadi yang tenang, yang mewujudkan ruang kebebasan dari gangguan dunia bagi dirinya.[16]
Karena itu, sebagaimana penilaian Copleston, filsafat moralnya Epikuros bukanlah filsafat para pahlawan[17] yang pertama-tama diarahkan untuk kesejahteraan banyak orang, tetapi bagaimana mengajak orang untuk mengusahakan kehidupan pribadi yang tenang dan bahagia. Akan tetapi, tidak berarti bahwa ia sama sekali tidak peduli dengan kesejahteraan banyak orang. Ia hanya tidak menjadikannya sebagai sasaran utama dari ajarannya.
[1] Cyril Bailey, The Greek Atomists and Epicurus (New York: Russell & Russell, 1928), 221.
[2] Diogenes Laertius, Lives Of Eminent Philosopher (Vol. lI), translated by R. D. Hicks. London and New York: William Heinemann and G.P Putnam’s Sons, 1925, 29. Surat Kepada Menoikeus dan Doktrin-Doktrin Pokok Epikuros yang dikutip dalam tulisan ini akan didasarkan pada sumber Diogenes ini.
[3] Frederick Copleston, A History Of Philosophy, Volume I Greece and Rome, (New York: Image Books), 1993,407.
[4] Bdk. Frederick Copleston, A History Of Philosophy, 407.
[5] Bdk. Surat Kepada Menoekeus §127, Doktrin-Doktrin Pokok no. 29.
[6] Doktrin-Doktrin Pokok no. 3.
[7] A. Setyo Wibowo, Filsafat Sebagai Laku Hidup-1, Kenikmatan Minimalis Epikurisme, dalam Kaum Stoa: Filsafat Sebagai Laku Hidup-1, 13” Makalah ini tidak diterbitkan.
[8] Surat Kepada Menoekeus §133.
[9] Doktrin-Doktrin Pokok no. 21.
[10] Doktrin-Doktrin Pokok no. 16
[11] Doktrin-Doktrin Pokok no. 20
[12] Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), 49.
[13] Frederick Copleston, A History Of Philosophy, 411.
[14] Doktrin-Doktrin Pokok no. 20.
[15] Bdk. Roderick T. Long, Hellenistic Philosophers of Law, dalam Fred D. Miller, Jr, A History Of The Philosophy Of Law From The Ancient Greeks To the Scholastics (Netherlands: Springer, 2007), 122. Bdk. Juga A. A. Long, From Epicurus To Epictetus, Studies In Hellenistic And Roman Philosophy. Oxford: Oxford University Press, 2006.188.
[16] Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika Dari Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19, 51.
[17] Frederick Copleston, A History Of Philosophy, 411.
Menamatkan Studi S1 di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Staf pengajar di SMA Pancasila, Borong. Tinggal di Paroki Borong.