Cinta Sejati Tidak Pernah Mati

Sumber Gambar blogspot.com

Penaclaret.com – Romeo Dan Juliet adalah drama tragedi karya William Shakespeare yang ditulis sekitar tahun 1591-1595. Karya ini menceritakan sepasang mempelai muda yang saling mencintai namun terhalang keluarga yang bermusuhan. Akhir dari kisah ini adalah pilihan Juliet untuk mati bersama pasangannya, Romeo.

Romeo dan Juliet adalah salah satu karya Shakespeare yang paling terkenal dan sering dipentaskan. Banyak orang meyakini Romeo dan Juliet merupakan kisah cinta sejati dari sepasang manusia. Cinta memampukan mereka untuk hidup dan mati bersama. Akan tetapi, jika dicermati lebih dalam cinta seperti ini perlu dipertanyakan.

Bagi saya, Romeo dan Juliet adalah kisah yang memuat pemaknaan cinta yang keliru bahkan dangkal. Dua tokoh utama dalam kisah ini menunjukkan bahwa di hadapan kematian cinta tak lagi ada. Cinta hanyalah persoalan orang hidup. Cinta hanya diakui ketika sepasang manusia saling menyentuh, memandang, mendengar dan mengungkapkan isi hati di hadapan pasangan. Saat hidup berakhir saat itu pula cinta raib. Aspek transenden dari cinta menghilang karena kekuatannya hanya diukur dari kehadiran pasangan saat ini.

Konsekuensi dari pemaknaan cinta yang demikian cenderung menuntun orang pada pilihan pintas yang sebenarnya tak pantas. Ketika kebersamaan hancur orang cenderung melihat cinta sebagai kutukan. Suatu penderitaan yang muaranya sangat pasti: kematian bersama. Pilihan untuk mati bersama adalah ungkapan kepicikan alih-alih kesetiaan. Orang tidak sampai pada permenungan bahwa di hadapan kematian, cinta yang diagung-agungkan itu justeru sedang ditempa. Bukankah cinta sejati selalu melewati jalan yang tak mulus? Cinta itu ibarat besi yang ditempa dalam tanur api, dibentuk sedemikian rupa sampai ia menjadi sebuah anak panah tajam, yang ketika dilepaskan bisa menancap dalam pada sasaran. Kematian adalah salah satu medan tempa dari cinta yang tujuannya adalah pemurnian.

Baca juga :  Cinta Diri di Tengah Pandemi Sebagai Bentuk Egoisme Etis

Kematian adalah sesuatu yang pasti. Tetapi tidak demikian dengan cinta. Ia adalah pegangan yang abstrak, tak bisa diprediksi namun mendorong untuk bertindak. Cinta mengalami proses seumur hidup. Ia disulam hari demi hari untuk mencapai bentuknya yang paling sempurna. Perjalanannya yang panjang dan lama bukan tanpa alasan. Tujuannya adalah ketika orang harus berhadapan dengan kematian yang pasti, sudah ada pegangan kokoh yang memampukan dirinya berdiri teguh.

Pilihan bebas untuk ikut serta dalam kematian pasangan daripada hidup tanpa dirinya adalah pembuktian dari cinta yang terlalu naif. Cinta selalu membebaskan pasangan dari ruang lingkup diriku dan dirimu. Mencintai seseorang bukanlah usaha mengungkung apalagi membuat yang lain menjadi tergantung. Pilihan untuk ikut mati menunjukkan bahwa selama hidup orang memang hanya bergantung pada pasangannya. Bukannya menunjukkan kekuatan orang malah mempertontonkan kelemahan sendiri. Ia mencintai dengan membiarkan semua yang ada padanya dikuasai pasangannya. Ia hanya mengikuti tuntunan pasangannya. Akibatnya, ia tidak punya pilihan lain yang lebih baik selain ikut mati.

Baca juga :  Fenomena Erotis: Resonansi Agustinian Dalam Fenomenologi Cinta Marion

Orang berdalih bahwa tak ada cara yang lebih mulia untuk menunjukkan cinta sejati kecuali kesediaan untuk ikut mati bersama. Itu adalah komitmen atas kesetiaan untuk sehidup semati terhadap pasangan. Itu adalah bukti pemberian cinta yang total terhadap pasangan. Karena itu, jika orang yang saya cintai pergi selamanya, ia pantas untuk menerima hadiah kematian saya juga.

Dalih semacam itu sepintas terdengar sangat memukau. Tapi di balik itu, sebenarnya ada penyangkalan atas keyakinan itu sendiri. Frase agung “sehidup-semati” cenderung untuk direduksi ke dalam paham hidup bersama mati pun bersama. Bukankah paham demikian mengesampingkan cinta sebagai dasarnya? Cinta selalu merupakan sebuah panggilan untuk mempertahankan kehidupan. Sebuah panggilan pada pengharapan. Frase“sehidup-semati”  tidak bisa dilepaskan dari kesadaran bahwa cinta dan pengharapan tak pernah mati.

Romeo dan Juliet adalah ironi dari pengharapan. “Menyusul” pasangan yang sudah mati (yang pada dirinya cinta saya diletakkan) adalah tindakan orang yang kehilangan harapan. Keputusan Juliet untuk ikut mati adalah keputusan yang lahir dari rasa putus asa. Jika demikian, masihkah itu dianggap sebagai keutamaan? Keputusasaan adalah penyakit yang membuat orang lemah dan tidak mampu menghadapi kenyataan dengan akal sehat. Cinta sejati tidak pernah memberi ruang bagi keputusasaan.

Baca juga :  Permainan Bahasa Butuh Logika

Gabriel Marcel pernah mengatakan satu hal menarik: “ mencintai berarti mengatakan engkau tak pernah mati.” Di hadapan kematian cinta selalu lebih kuat. Kematian memang merenggut tubuh seseorang tetapi ia tidak berkuasa atas cinta yang dimilikinya. Cinta akan selalu hidup kendati tubuh yang di dalamnya cinta dikandung telah tiada. Jika semua orang begitu fanatik sampai menjadikan kisah Romeo dan Juliet sebagai satu-satunya ukuran untuk menilai cinta sejati, maka tidak akan ada lagi janda dan duda di muka bumi ini, yang dalam segala penderitaannya mampu mengangkat kepala tegak dan melihat hidup dengan penuh cinta dan pengharapan.