Penaclaret.com – Bagi orang beriman, keyakinan atas keberadaan Tuhan selalu bersifat ontologis, tidak perlu diperdebatkan lagi. Keyakinan ini seharusnya berdampak pada kebaikan hidup manusia di dunia. Namun bagaimana bila kehadiran Tuhan justru mengusik kedamaian manusia? Bila itu yang terjadi, apa sebenarnya yang harus dibenahi? Menyingkirkan Tuhan atau mengubah pola pemahaman kita atas-Nya? Kegelisahan ini persis dialami Epikuros pada masanya. Muara dari kegelisahan ini sudah pasti: Orang hidup dalam perasaan selalu tidak tenang.
Sudah sejak dahulu orang-orang Yunani percaya akan adanya dewa-dewa yang ikut mengatur segala urusan manusia. Ketika hidup berhasil, orang beranggapan bahwa para dewa baik, memperhatikan dan mencintai mereka, dan ketika yang dialami adalah penderitaaan, orang beranggapan bahwa para dewa sangat jauh, tidak peduli bahkan memusuhi mereka. Orang sangat yakin bahwa hidup manusia, kegagalan dan keberhasilannya, sangat bergantung pada para dewa. Manusia sama sekali tidak memiliki kebebasan untuk menentukan hidupnya sendiri. Keyakinan ini mempengaruhi manusia dalam menempatkan diri di hadapan para dewa.
Manusia harus bertindak sedemikian rupa untuk menyenangkan para dewa agar tidak murka. Hal ini tampak dalam ritual-ritual persembahan, penyucian, dan pengorbanan kepada para dewa, dengan harapan bahwa dengan semua itu, para dewa tersentuh hatinya.[1] Selama mereka memegang keyakinan demikian, hidup mereka selalu berada dalam kecemasan, karena selalu berada dalam teror para dewa. Karena keyakinan ini, orang-orang kemudian menjadi takut apakah segala tindakan yang dilakukan berkenan dengan para dewa, atau apakah segala rencana yang dibuat di dunia bisa direstui para dewa.
Keyakinan-keyakinan ini begitu kuat sehingga dalam ungkapan-ungkapan tradisional, sering muncul pernyataan seperti: “manusia tidak akan berhasil tanpa para dewa, atau manusia tidak akan mendapat apa-apa tanpa mereka.[2] Ketakutan terhadap para dewa ini tidak hanya berkaitan dengan hidup di dunia, tetap juga hidup sesudah mati. Orang hidup dalam bayang-bayang hukuman kekal yang akan ia terima di kehidupan mendatang. Orang menjadi takut untuk mengambil tindakan tertentu karena bisa jadi ia melakukan kesalahan dan dengan demikian dihukum selamanya di neraka/Hades. Singkatnya, ketakutan terhadap para dewa, terhadap amarah yang akan mereka timbulkan atas manusia, atas pembalasan setelah kematian, sangat mewarnai sifat keagamaan masyarakat Yunani kuno.[3]
Epikuros sendiri sebenarnya lekat dengan keyakinan-keyakinan ini, bahkan seringkali ikut dalam ritual-ritual keagamaan masyarakat Yunani.[4] Hal ini tampak dalam salah satu surat yang ia tulis kepada seorang temannya ketika ia mengatakan: “meskipun datang perang, itu tidak akan menakutkan jika dewa-dewa bermurah hati (pada kita)”; Ia juga mengatakan: “Terimakasih pada para dewa, karena mereka saya dapat hidup dengan murni (bebas dari segala macam kecemasan).[5] Namun pada akhirnya, ia melihat bahwa ada yang salah dengan semua keyakinan ini. Mengapa? Karena pemahaman demikian telah menciptakan kecemasan alih-alih perasaan damai.
Tujuan Epikuros mengemukakan ide-idenya tentang dewa adalah demi membebaskan manusia dari berbagai kecemasan yang hanya menjauhkan mereka dari kedamaian pikiran (ataraxia). Bagi Epikuros, segala kecemasan yang dialami manusia yang akhirnya membuat hidup menjadi sangat mengerikan pasti didasarkan pada pemahaman yang salah tentang para dewa. Dengan demikian, satu-satunya obat yang bisa menyembuhkan manusia dari berbagai kecemasan ini adalah dengan memberikan pemahaman yang benar kepada mereka tentang realitas para dewa.
Epikuros sendiri tidak menyangkal adanya para dewa, karena mereka diketahui secara jelas oleh pikiran manusia.[6] Akan tetapi, bahwa mereka mencampuri urusan manusia bahkan menentukan segala bentuk hidup manusia adalah hal lain yang ingin diluruskannya. Dalam Surat Kepada Menoekeus § 123-124, Epikuros mengatakan bahwa dewa sifatnya abadi dan bahagia, serta dapat diketahui dengan jelas. Akan tetapi, dewa tidak sama dengan pikiran dan anggapan massa (bahwa baik-buruk hidup manusia ditentukan oleh dewa). Karena itu,orang ateis bukanlah yang menyingkirkan pikiran-pikiran massa tentang dewa, melainkan yang menyesuaikan para dewa dengan anggapan massa.[7] Apa yang dikatakan massa tentang para dewa tidak sesuai dengan pengertian yang benar tentang dewa, melainkan merupakan perkiraan-perkiraan yang salah.
Bertolak dari gagasan epistemologis (pengetahuan) Epikuros yang menempatkan sensasi sebagai satu-satunya sumber pengetahuan, kita bisa bertanya, bagaimana mungkin kita mengetahui keberadaan para dewa, jika sensasi terbatas pada obyek-obyek yang bisa diinderai? Untuk menjawab hal ini, kemungkinan besar Epikuros menerapkan epinoia (nosi-nosi tambahan) untuk memampukannya membuat pernyataan tentang para dewa. Epinoiai (nosi-nosi tambahan) sebenarnya muncul dari sensasi (persepsi), baik melalui analogi, kemiripan, susunan/komposisi, dan sedikit bantuan dari pemikiran[8]. Bertolak dari nosi-nosi tambahan ini, pengetahuan tentang adanya dewa kemungkinan besar didasarkan pada analogi dan pemikiran. Walau dewa tidak bisa diketahui melalui panca indera (untuk menemukan prolepsis/pengetahuan/pemahamanyang benar), ia bisa diketahui lewat analogi (salah satu nosi tambahan dan juga merupakan sumber pengetahuan).
Dalam kaitan dengan dewa sebagai makhluk hidup yang abadi dan bahagia, Epikuros tampaknya sejalan dengan anggapan kebanyakan orang. Akan tetapi ia menambahkan bahwa orang tidak boleh memberikan atribut-atribut tertentu yang tidak sesuai dengan sifat dari para dewa. Ia sebenarnya ingin mengatakan bahwa jika kebahagiaan para dewa bersifat abadi, maka mereka tentu tidak lagi memiliki perasaan-perasaan manusiawi, misalnya kemarahan, ingin dihormati atau dibela, permusuhan atau hasrat ingin balas dendam. Hal-hal ini bertentangan dengan hakekatnya sebagai makhluk yang bahagia secara abadi.
Keyakinan yang salah bahwa para dewa mencampuri urusan manusia hanya akan mengurangi kodrat dewa sebagai makhluk yang bahagia secara abadi.[9] Demikian juga, jika para dewa sudah bahagia secara abadi, maka mereka sejatinya tidak membutuhkan apa-apa lagi dari manusia. Para dewa adalah makhluk yang cukup dengan diri sendiri sehingga tidak butuh apapun dan tidak memberikan kebaikan kepada manusia. Mereka sama sekali tidak memperhatikan hidup manusia. Dalam Doktrin-Doktrin Pokok no. 1, Epikuros mengatakan: “Dia (dewa) yang bahagia dan tidak bisa hancur, Ia tidak memiliki masalah dan tidak membuat masalah bagi pihak lainnya, sedemikian sehingga Ia tidak bisa marah juga tidak bisa memberi (kebaikan) sesuatu pun…”[10]
Semakin orang memberikan atribut-atribut atau mengasosiasikan para dewa dengan sifat-sifat manusiawi (ingin dihormati, dibela, berjuang bahkan berkorban untuknya), semakin ia jauh dari paham yang benar tentang dewa. Dengan kata lain, dewa seperti yang dipikirkan kebanyakan orang sama sekali tidak ada. Karena itu, orang ateis bukanlah orang yang tidak setuju dengan anggapan massa tentang para dewa, tetapi orang yang justru menerimanya (menyesuaikan para dewa dengan anggapan masa).
Jika anggapan kebanyakan orang merupakan perkiraan yang salah, bagaimana membuktikannya? Di sini, Epikuros akan menggunakan sifat dewa (yang tidak bisa musnah dan bahagia secara abadi) sebagai kriteria utama untuk menilainya. Karena pengetahuan akan dewa diperoleh melalui epinoiai, maka pemahaman/pengetahuan (prolepsis) di sini dibentuk atas dasar “kepercayaan umum” yang sifatnya dasar dan kasar (tentang dewa yang tidak dapat hancur dan hidup bahagia secara abadi). Kepercayaan umum-dasar inilah yang akan dijadikan kriteria pertama untuk berbicara tentang Tuhan. Jika pendapat orang tidak cocok dengan kriteria ini maka opini-opini itu salah dan hanya sekadar perkiraan yang salah (hupolepsis) yang menjadi asal-usul segala ketakutan dan penderitaan[11].
Berdasarkan kriteria ini, Epikuros sampai pada kesimpulan pengetahuan bahwa: dewa sungguh ada dan abadi (immortal), bahagia secara abadi, tidak butuh apapun dari manusia, dan cukup dengan diri sendiri. Para dewa immortal bukan karena mereka memiliki umur kronologis yang panjang, tetapi karena mereka ‘di luar waktu’, self-sufficient secara sempurna, tidak tergantung pada manusia, dan manusia pun tidak tergantung pada mereka.[12] Hanya dengan menyingkirkan berbagai perkiraan atau anggapan yang salah tentang dewa, hidup manusia akan menjadi tenang dan damai, dan pada akhirnya kebahagiaan menjadi mungkin baginya.
Melalui gagasan Epikuros kita bisa belajar beberapa hal penting: Pertama, bagi kita yang jumawa karena merasa paling sanggup membela Tuhan atau mau berjuang dan mengorbankan hidup untuk-Nya: Apakah Tuhan membutuhkan semua itu? Kedua, ketika kita ikut-ikutan dengan anggapan massa besar yang memberikan atribut-atribut manusiawi tentang Tuhan (ingin dihormati, dibela, dipuja-puji, dll), apakah kita sudah mengikuti pemahaman yang benar atau hanya perkiraan yang salah? Dengan kata lain, masihkan kita ber-Tuhan jika kita hanya mengikuti anggapan kebanyakan orang (apalagi tokoh tertentu) bahwa Tuhan itu menuntut ini dan itu dan kita wajib mengikuti-Nya? Ketiga, ketika kita berkeyakinan bahwa Tuhan selalu menuntut banyak hal dari kita, sehingga kita rela melakukan apa saja demi-Nya (bahkan bersedia menghalalkan darah orang lain dengan dalil melaksanakan kehendak Tuhan), apakah saat itu kita benar-benar merasakan kedamaian? Atau kita justru sedang menghancurkan kedamaian itu?
[1] Andre Jean Festugière, Epicurus And His Gods, (Massachusetts: Harvard University Press, 1956), 53-54.
[2] Ibid., 52. Ia mengutip dari Idêal, 24-25.
[3] Bdk. ibid., 56-57.
[4] Ibid., 53-54.
[5] Ibid.,52. Ia mengutip dari Usener, Fragmen, 99.
[6] Bdk. Surat Kepada Herodotus § 78 dan Surat Kepada Menoekeus § 123 dalam Diogenes Laertius, Lives Of Eminent Philosopher (Vol. lI), translated by R. D. Hicks. London and New York: William Heinemann and G.P Putnam’s Sons, 1925. Surat Kepada Herodotus dan Menoikeus serta Doktrin-Doktrin Pokok Epikuros yang dikutip dalam tulisan ini akan didasarkan pada sumber Diogenes ini.
[7] Franz magnis Suseno, 13 Model Pendekatan Etika, (Yogyakarta: Kanisius, 1997) 65- 70.
[8] Surat Kepada Herodotus, §32.
[9] A. A. Long dan D. N. Sedley, The Hellenistic Philosophers, Volume II Greek And Latin Texts With Notes And Bibliography, (USA: Cambridge University Press, 1987), 145.
[10] A. Setyo Wibowo, Filsafat Sebagai Laku Hidup-1, dalam Kaum Stoa: Filsafat Sebagai Laku Hidup-1, 16. Makalah ini tidak diterbitkan.
[11]A. Setyo Wibowo, Filsafat Sebagai Laku Hidup-1, Kenikmatan Minimalis Epikurisme, 16.
[12] Ibid., 16.
Menamatkan Studi S1 di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Staf pengajar di SMA Pancasila, Borong. Tinggal di Paroki Borong.