Sabtu Pekan Biasa XXIII
Bacaan Pertama: 1 Mak. 6:1-13
Bacaan Injil: Luk. 20: 27-40
Penaclaret.com – Sahabat Pena Claret yang terkasih, jumpa lagi dalam renungan harian hari ini. Kisah eksotik mengenai orang Saduki yang mempertanyakan tentang kebangkitan. Konteks kisah ini ialah pada zaman di mana, masyarakat Yahudi terbagi dalam tiga kelompok atau golongan. Pertama, golongan Farisi yang sangat detail mentaati hukum Taurat. Kedua, golongan Eseni yang mengasingkan diri dari keramaian untuk manyatu diri dengan Allah lewat doa dan meditasi. Ketiga, golongan Saduki yang terkesan lebih liberal dan sekuler, kerap melanggar Taurat dan tidak mempercayai adanya kebangkitan orang mati. Nah, kelompok yang terakhir ini yang kita lihat dalam perikop Injil hari ini.
Dari keseluruhan kisah, persoalan hubungan suami istri, yang manarik hemat saya terdapat pada adegan dimana orang Saduki itu bertanya kepada Yesus: “Bagaimana sekarang dengan perempuan itu, siapakah di antara orang-orang itu yang menjadi suaminya pada hari kebangkitan? Sebab ketujuhnya telah beristrikan dia” (bdk. Luk.20:33). Pertanyaan ini sesungguhnya timbul bukan karena keingintahuan dan keyakinan orang Saduki akan kehidupan setelah kematian. Mereka hanya ingin mendapatkan peneguhan atas kepercayaan yang dianut bahwa kebangkitan badan itu tidak ada. Mereka hendak mencari pembenaran.
Mereka yakin persoalan yang mereka ajukan akan membuat Yesus juga tidak mengakui kebangkitan orang mati. Dengan pertanyaan itu, mereka ingin Yesus melegalkan ajaran mereka. Menanggapi pertanyaan tersebut, Yesus kemudian menjelaskan kepada mereka panjang lebar namun intinya ketika Yesus berkata, “Ia bukan Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup, sebab di hadapan Dia semua orang hidup” (Luk.20:38)
Dengan penjelasan ini, tampaknya Yesus hendak mengatakan bahwa orang Saduki berpikir menurut pikiran manusia yang masih hidup di bumi dan mempersoalkan hubungan suami istri. Padahal di surga, orang-orang hidup dalam hubungan yang sama sekali baru. Yesus mengatakan, “Allah itu bukan Allah orang mati! Ia Allah orang-orang yang hidup! Sebab untuk Allah, semua orang hidup.” Dengan lain kata, orang yang hidup di dunia untuk Allah akan mengalami hidup kekal yang ditujukan bagi Allah. Mereka hidup abadi untuk Allah. Itu artinya, hidup seturut versi Allah. Nah, persoalannya ialah bahwa orang-orang Saduki itu tidak ingin hidup seturut kehendak Allah. Mereka sama sekali tidak percaya akan hal itu.
Sahabat Pena Claret yang terkasih, sampai di sini, kita bisa mengetahui bahwa tanggapan dan jawaban Yesus tersebut merupakan suatu penegasan bahwa setelah kehidupan di dunia ini, kehidupan umat manusia khususnya umat yang dianggap layak oleh Allah tidak akan berakhir. Sebaliknya kehidupan yang dibangkitkan merupakan kehidupan yang dipenuhi oleh kemuliaan Allah dan tidak lagi dipengaruhi oleh hawa-nafsu sebagaimana mereka hidup di dunia. Penting bagi kita bukan soal kawin dan dikawinkan tetapi bagaimana seluruh hidup kita menjadi sebuah kehormatan dan pujian bagi kemuliaan Allah karena apa yang kita buat dan tunjukkan setiap hari menandakan bahwa kita putra dan putri terkasih Bapa. Apa yang kita buat menjadikan kita layak dan pantas dihadapan sesama dan Allah sendiri. Mari kita berusaha untuk itu.
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Filsafat Keilahian Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Sekarang sedang menyelesaikan tulisan akhir. Pengagum Axel Honeth