Antara Iman dan Benci

By. Carolus Boromeus Soares

Antara Iman dan Benci
Picture by Instagram

ClaretPath.comAntara Iman dan Benci (Sebuah Refleksi Iman dari Tokoh Kain dalam Kejadian 4:1-17)

Di dalam kitab suci terdapat banyak kisah menarik yang memperlihatkan cara hidup orang beriman yang percaya kepada Allah. Salah satunya adalah kisah Kain dan Habel. Ke-dua orang bersaudara ini menunjukan Iman mereka melalui persembahan yang mereka berikan kepada Allah. Kain dan Habel membawa persembahan kepada Allah sebagai bentuk ungkapan iman, karena mereka percaya bahwa usaha, hidup, dan keberhasilan mereka pertama-tama bukan karena kerja keras mereka sendiri, melainkan atas campur tangan Allah.

Pada saat yang sama, antara Kain dan Habel terdapat kecemburuan, (Lohr, 2009). Kecemburuan ini bermula dari Kain yang tidak menyukai Habel, akibat Allah yang “memilih” persembahan Habel dibandingkan Kain. Dalam kisah tersebut, Habel kemudian dibunuh oleh Kain, karena kecemburuan tersebut. Lalu kita dapat bertanya; apakah iman yang dimiliki oleh Habel lebih besar dibandingkan dengan Kain? Benarkah Allah itu memilih persembahan dari manusia? Atau apakah Allah itu pilih kasih?.

Iman

Iman sering diterjemahkan sebagai proses respon atau tanggapan atas pernyataan diri Allah kepada manusia (Martasudjita, 2013). Sebagai tanggapan atas Pewahyuan diri Allah tersebut, manusia secara sadar, bebas, dan inisiatif mengungkapkan imannya melalui usaha dan tindakan yang baik, sebagai bentuk atas persembahan diri kepada Allah.

Ada dua hal penting ketika berbicara mengenai iman, yang pertama, pengalaman religius (Martasudjita, 2013); pada pengalaman ini manusia yang berinisiatif mencari yang Transenden  atau Allah sendiri masih belum diketahui oleh manusia. Akan tetapi manusia percaya bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari dirinya, karena manusia sadar bahwa dirinya lemah.

Baca juga :  Pandawa Group Potret Nyata Ludato Si

Yang kedua, pengalaman iman; pada tahap ini manusia pertama-tama disapa oleh Allah, disamping itu manusia tidak perlu lagi mencari Allah, karena Allah bagi manusia sudah jelas (Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus, dalam konteks agama katolik). Bila ditempatkan pada kisah Kain dan Habel, rupanya relasi mereka dengan Allah nampak dalam pengalam Iman. Bahwa Allah yang terlebih dahulu hadir dan menyapa mereka, sehingga untuk membangun relasi yang intim (iman) dengan Allah, kedua anak dari Adam dan Hawa tersebut memberikan persembahan kepada Allah berupa Tanah oleh Kain dan Lembu oleh Habel, (Kejadian 4:3-4).  

Kejatuhan Manusia

Ada dua hal yang harus dilakukan dan diperhatikan ketika kita berbicara mengenai keberimanan manusia, yakni fides qua creditur dan fides quae creditur, (Martasudjita, 2013) Fides qua creditur adalah iman yang kita gunakan untuk percaya atau sikap iman seseorang terhadap sesuatu yang telah ia percayai. Sedangkan fides quae creditur adalah iman yang dengannya kita percayai, dengan kata lain isi iman seseorang terhadap apa yang ia percayai.

Pada konteks Kain dan Habel pun melakukan hal yang demikian, baik sikap maupun isi iman mereka berdua sudah melakukannya dengan baik. Persembahan yang diberikan oleh kedua kakak beradik ini adalah bagian dari sikap iman (fides qua creditur), (Kejadian 4:3-4) dan kepercayaan mereka kepada YAHWE (Allah) merupakan isi iman (fides quae creditur) (Kejadian 4:1-2) yang sangat tampak dari diri mereka.

Baca juga :  Cinta Sejati Tidak Pernah Mati

Selain karena kebebasan yang dianugerahi Allah kepada manusia, rupanya terdapat pula sikap manusia yang dapat mendatangkan kejatuhan (dosa) manusia terhadap Allah. Kain telah menunjukan sikap tersebut. Tidak hanya mempersembahkan tanah kepada Allah, ia juga memiliki sebuah sikap “cemburu dan pilih kasih” untuk Allah yang hanya mengindahkan persembahan dari Habel.

Di samping menaruh rasa cemburu dan “menganggap” Allah pilih kasih terhadap persembahannya, putra pertama dari Adam dan Hawa ini juga membunuh Habel yang merupakan saudara kandungnya sendiri, (Kejadian 4:8). Sikap yang ditampilkan oleh Kain rupanya diketahui oleh Allah dengan bertanya kepada Kain: “Mengapa hatimu panas dan mukamu muram?, Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik? Tetapi jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu;ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya, (Kejadian 4: 6-7). Sikap cemburu dan pilih kasih yang ditampilkan oleh sosok Kain membawa kejatuhan telak bagi diri Kain. 

Allah Tidak Pilih Kasih

Sejenak ketika membaca kisah atau peristiwa Kain dan Habel menampilkan sebuah tendensi “negatif”, bahwa Allah itu mungkin pilih kasih, yang lebih mementingkan atau menerima persembahan yang diberikan oleh Habel (Kejadian 4:5-6). Akan tetapi, Allah tidak seperti yang dibayangkan atau dipikirkan oleh manusia. Ia justru datang dan menyapa manusia.

Baca juga :  “Mengurung” Tanggung Jawab!?

Kain yang awalnya menaruh perasaan kesal dan marah terhadap Allah, justru disapa langsung oleh Allah. Tindakan Allah yang tidak tinggal diam ketika melihat penderitaan dan kejatuhan dari Kain, (Kejadian 4:15). Kain akhirnya sadar dan percaya kepada Allah, bahwa Allah yang ia Imani sungguh Allah penuh kasih dan penyertaan, (Kejadian 4:16).  

Allah tidak melihat seberapa besar dan berharganya persembahan yang kita berikan kepada Dia, (Chung, 2011). Akan tetapi Allah melihat sejauh mana manusia mempersembahkan persembahan yang sekalipun kecil, namun lahir dari ketulusan dan penuh iman. Kisah Kain dan Habel mengajarkan kepada kita bahwa Allah itu pengasih dan penyayang, sekalipun manusia terus menghianati dan berbuat dosa terhadap-Nya.

Daftar Pustaka

Chung, Youjin. (2011). Conflicting Readings in The Narrative of Cain and ABEL (GEN. 4:1-26). Asian Journal of Pentecostal Studies, 14(2), 241-254.

Lohr, Joel N. (2009). Righteous Abel, Wicked Cain: Genesis 4:1-16 in the Masoretic Text, the Septuagint, and the New Testament. Catholic Biblical Association, 71(3), 485-496.

Martasudjita, Emanuel. (2013). Pokok-Pokok Iman Gereta. PT Kanisius.