Torok dan Inkulturasi Gereja Manggarai

By Fr. Jery Mamput, CMF

Torok dan Inkulturasi Gereja Manggarai
Picture from Youtube.com

ClaretPath.com – Torok dan Inkulturasi Gereja Manggarai

Pengantar

            Bicara tentang agama dan budaya merupakan suatu pokok pembicaraan yang trend untuk didengar. Di antara dua kajian ini masing-masing memperlihatkan corak atau keunikannya.  Banyak kali para penggemar atau pun para pegiat selalu menilai hal ini  sebagai sesuatu kekayaan bersama. Tidak lepas dari, itu pra kontekstualisasi Gereja Katolik Indonesia juga menjadikan agama dan budaya sesuatu yang memiliki keterikatan yang dibahasakan dalam “inkulturasi”. Inkulturasi pun merupakan hasil kreativitas manusia dalam memproduksi suatu nilai luhur gereja yang mau berkotor tangan dengan kebiasaan manusia.

            Inkulturasi ini bukan hanya untuk satu budaya khusus, melainkan secara umum berlaku bagi setiap golongan budaya. artinya, bahwa gereja mengambil sesuatu kebiasaan atau budaya setempat untuk dimasukkan ke dalam praktik liturgi Gereja. Salah satu budaya itu adalah budaya Manggarai. Dalam budaya Manggarai ada begitu banyak kearifan lokal yang unik. Mulai dari seni musik, suara dan tarian, semuanya dipakai sebagai sebuah kepentingan ritual adat dan keseharian hidup masyarakat.

            Dari keunikan beberapa kearifan lokal ini, gereja mengambil beberapa kebiasaan masyarakat untuk diakulturasikan dalam praktik liturgi Gereja. Salah satu yang mau dibahas di sini adalah budaya torok. Budaya torok sendiri merupakan suatu seni berbahasa (bukan dalam bentuk nyanyian, tetapi dalam bentuk bahasa dialog) masyarakat Manggarai yang diambil oleh Gereja sebagai sebuah praktik liturgi Gereja dalam ekaristi khususnya pada saat  membawa persembahan ke altar. Secara umum torok ini dikenal sebagai sebuah kegiatan doa yang memiliki suatu nuansa isi yang puitis dan memiliki syair-syair yang menarik untuk menyampaikan itu semua kepada kosmos dan wujud tertinggi, yakni Tuhan. Akan tetapi, tidak semua masyarakat Manggarai bisa membawakan torok. Ini hanya berlaku kepada orang tertentu saja yang diyakini sudah diwarisi dan diberkati oleh nenek moyang. Dengan demikian, hanya mereka yang mampu membawakan syair-syair maupun peribahasa itu dengan kata yang sangat menarik sesuai caranya masing-masing.

            Budaya torok merupakan salah satu budaya yang ada di Manggarai dan memiliki nilai-nilai yang sangat penting.  Dalam tulisan ini sangat penting bagi penulis untuk sedikit memahami sejarah, struktur dan nilai-nilai penting torok.

Sejarah

            Dalam artian sebenarnya torok merupakan ucapan terima kasih maupun permohonan. Masyarakat Manggarai mengartikan torok ini sebagai ucapan terima kasih terhadap nenek moyang mereka. Ini biasa dilakukan pada saat kelahiran anak pertama, di mana torok siap digunakan sebagai upacara mohon diberi perlindungan atau keselamatan (Yoseph Leo: 2019).  Dalam upacara torok ini banyak keluarga yang datang untuk mengikuti syukuran atas kelahiran bayi ini.

Bicara tentang sejarah torok dalam budaya Manggarai memang sulit untuk ditemukan secara pasti. Karena torok ini jarang dijumpai referensi tulisan. Secara tradisional budaya torok dilakukan pertama oleh mereka semua yang memiliki anak pertama dalam masyarakat Manggarai yang berkembang sampai sekarang. Sebab mereka meyakini bahwa anak pertamalah sebagai pembuka jalan dan pewaris keturunan yang utama dan menempati posisi yang utama dalam keluarga (Mema. Indra Mawan: 2019).

Tetapi seiring dengan perkembangan zaman torok pun mengalami perubahan. Dalam beberapa kasus torok sering kali dimodifikasi oleh budaya yang berkembang, modernitas dan agama Kristen pun ambil bagian. Meskipun mengalami banyak perubahan, nilai-nilai dalam torok tetap dijaga dan dipertahankan sampai saat ini. Torok tetap menjadi salah satu ritual   yang mengambil peranan penting dalam budaya Manggarai, sebagai ucapan rasa syukur kepada yang tertinggi atau para dewa-dewi untuk memastikan permohonan akan keselamatan (M. Indra Mawan: 2019). 

Secara umum torok juga disebut doa asli Bagi orang Manggarai. Dalam torok pun masyarakat Manggarai memuji dan memuliakan mori jari agau dedek (Tuhan Pencipta). Semakin ke sini orang Manggarai didominasi oleh orang Katolik sehingga dalam kebiasaan mereka doa menjadi suatu hal yang biasa. Sebaliknya demikian dengan torok, mereka menganggap torok adalah kebiasaan. Tanpa torok acara adat tidak ada artinya (Lusia Damu: 2020).

Baca juga :  Hal Berpuasa

Ritual

Ritual torok merupakan ritual yang sangat menarik dari orang Manggarai. Ritualnya dapat dilakukan satu orang atau bisa lebih. Ritual ini memiliki suatu bunyi bahasa yang menarik. Berikut adalah salah satu ritual torok (Adi Nggoro: 2006):

Torok Persembahan Misa Kawing

Yo Mori, gula ho’o ami anak do mai ba anak ata kut tiba sakramen nikah. gula ho’o ise kudut teti sumpah, kudut tuka ca leleng, nai ca anggit one ca ka’eng kilo wina agu rona. Tegi dami mori lengkang koes welad sendo koes lebod, Wua koe raci tuke lebos kala ako. Poros koas neho kota neka behas neho kena one ka’eng kilod. Tegi kali ga beka agu wuar. hitus tegi dami mori senget koe le pinga koe sina. Yo ema pastor ai ite ata mu’u luju lema emas kut naun pa’un kop tombon lite kamping mori agu jarin. Toe reweng kanan. kepok

( Ya Tuhan, pagi ini kami datang bersama anak kami yang akan melangsungkan sakramen pernikahan. Pagi ini mereka ingin mengucapkan sumpah untuk satu hati dan bersama-sama dalam satu keluarga suami istri. Kami mohon biarkan tumbuh berbunga dan tumbuh subur. Semoga banyak pinang yang di petik dan sirih yang di panen bertambah banyak. Jangan berpisah seperti pagar dalam keluarganya. Itulah permintaan kami Tuhan mohon dengarkan disana dan kabulkan. Ya bapa pastor karena kamu mulutmu damai dan lidahmu emas agar dengan baik kau sampaikan kepada Tuhan yang maha kuasa. Bukan hanya dengan bicara. Selesai).

Gereja yang Berinkulturasi

Gereja yang berinkulturasi adalah suatu bentuk gereja yang memadukan unsur-unsur agama dengan kebudayaan atau tradisi lokal. Hal ini bertujuan untuk menciptakan hubungan yang lebih erat antara gereja dan masyarakat setempat. Gereja yang mampu berinkulturasi juga dapat membantu masyarakat dalam memelihara kearifan lokal dan mendorong harmoni antara pelbagai budaya (Purwanti, L. E: 2019)

Gereja yang berinkulturasi dapat dilakukan dengan cara menyelaraskan ritual keagamaan dengan tradisi lokal, seperti menggabungkan doa-doa bahasa asli dengan liturgi dalam bahasa Kristen. Selain itu, gereja juga dapat memperkenalkan musik atau hiasan keagamaan lokal dalam ibadah. Dengan demikian, gereja dapat memperlihatkan kesediaannya dalam mempelajari adat istiadat lokal dan menjadikannya sebagai bagian dari ibadah (Purwanti, L. E: 2019)

Gereja berinkulturasi bukan hanya mengambil unsur-unsur tradisi lokal, tetapi juga berperan penting dalam membantu masyarakat dalam perkembangan sosial, ekonomi atau pendidikan. Masyarakat akan merasa diberdayakan jika gereja terlibat secara nyata dalam kehidupan mereka, dan menjadi mitra dalam mencari solusi atas masalah yang dihadapi. Gereja berinkulturasi dapat membawa perubahan positif bagi masyarakat setempat dengan membantu memperkuat kearifan lokal dan memperkuat solidaritas antara berbagai pelbagai budaya (Jaman, J. A. 2017).

Apa itu Doa Perarakan Persembahan (torok)?

Doa Perarakan Persembahan Torok Manggarai adalah doa yang indah dan penting yang dibacakan selama prosesi. Doa ini merupakan bagian penting dari budaya Manggarai, dan mencerminkan kesetiaan mereka kepada Tuhan dan penghargaan mereka terhadap tradisi mereka. Doa ini dibacakan untuk meminta berkat, petunjuk, dan perlindungan selama prosesi. Prosesi ini adalah acara yang didorong oleh masyarakat dengan antusiasme dan penghormatan yang besar. Doa ini memberi semangat kepada peserta dan mengisi mereka dengan rasa tujuan dan identitas (Lekahena, P., & Pramono, S. 2016).

Baca juga :  Tulisan Tertua Perjanjian Baru

Torok Manggarai memiliki nilai-nilai budaya dan spiritual yang signifikan. Ia mencerminkan semangat komunal dari masyarakat Manggarai, yang percaya pada kekuatan doa dan pentingnya mencari pertolongan Tuhan dalam kehidupan mereka. Selain itu, doa ini menyoroti kekudusan upacara Torok, yang melibatkan pengusungan berbagai objek simbolis. Doa ini dibacakan oleh sekelompok orang yang tulus dalam pakaian adat, dan menggema pentingnya budaya Manggarai (Mudiyanto, B., & Abdullah, A. 2021).

Terakhir, Doa Perarakan Persembahan Torok Manggarai merupakan pengingat penting akan kepentingan spiritual dari praktik-praktik budaya. Ia mengingatkan kita akan relevansi tradisi dan budaya kita dalam membentuk identitas spiritual dan sosial kita. Ia menekankan perlunya merayakan keragaman, merangkul budaya dan tradisi unik kita, dan menghormati nilai-nilai spiritual yang mendefinisikan kita. Doa ini tidak hanya memperkuat iman komunitas Manggarai, tetapi juga mengingatkan kita akan perlunya tetap berakar dalam identitas dan budaya kita. Secara keseluruhan, Doa Perarakan Persembahan Torok Manggarai

Bagian Atas Formulir

Pemahaman Torok dalam Gereja Katolik

            Dalam Gereja Katolik Flores torok sudah menjadi hal yang sangat lazim dalam liturgi, khususnya pada perayaan besar Gereja. Mulai dari paskah, pentakosta, natal, komuni pertama dan masih banyak perayaan besar gereja lainya.

            Gereja merupakan lembaga yang berperan penting dalam mengembangkan kebudayaan masyarakat. Salah satu cara Gereja adalah menginkulturasikan budaya setempat dengan memasukan unsur-unsur kebudayaan dalam kegiatan keagamaan bahkan sampai pada praktik liturgi (Purwanti, L. E: 2019).  Dalam konteks torok budaya Manggarai, gereja juga dapat mengambil sebuah peran untuk berperan dalam memperkenalkan, mempromosikan, dan melestarikan budaya tersebut (Jaman, J. A: 2017).

            Salah satu cara gereja memasukkan torok dalam praktik keagamaan adalah memasukkan unsur-unsur dan nilai-nilai bahasa yang baik, sehingga dari praktik itu bahasa yang digunakan dapat Gereja promosikan dalam setiap perkembangan masyarakat setempat. Misalnya, Gereja bisa mengambil praktik budaya torok ini dalam suatu upacara pengantar persembahan. Di mana ata pecing (ahli torok) membawakan torok dalam bahasa Manggarai yang baik dan luwes sebagai doa syukur pujian. Tidak sampai di sini, Gereja harus melestarikan budaya ini dengan cara mempromosikan bagi mereka yang datang ke Gereja, baik yang dari luar maupun dari luar daerah Manggarai (Lekahena, P., & Pramono, S: 2016).

            Sebagai peran utama, Gereja harus mampu membawa kebudayaan ini untuk dilestarikan dan dimasukkan dalam praktik liturgi. Tetapi, bukanlah hal yang pasti budaya yang akan mendominasi Gereja melainkan saling mendukung dalam penyebaran iman (Mudiyanto, B., & Abdullah, A: 2021).

Nilai sosial (Ruang Batin), ‘bentuk refleksi pribadi sebagai orang Manggarai’

Salah satu nilai sosial utama yang dimiliki oleh Perarakan Persembahan Torok Manggarai adalah persatuan. Selama acara ini, orang-orang dari desa-desa yang berbeda berkumpul dan berbaris bersama, mencerminkan rasa kebersamaan dan solidaritas di dalam masyarakat Manggarai. Acara ini juga menunjukkan betapa kuatnya orang-orang Manggarai memegang tradisi dan nilai-nilai mereka, yang lebih memperkuat ikatan antara anggota komunitas. Rasa persatuan yang ditampilkan selama Perarakan Persembahan Torok Manggarai telah memainkan peran penting dalam menjaga harmoni sosial dan ketertiban di masyarakat Manggarai.

Nilai sosial lain yang signifikan yang melekat pada Perarakan Persembahan Torok Manggarai adalah rasa hormat. Prosesi ini menunjukkan rasa hormat terhadap budaya dan agama mereka, dan merupakan cara untuk menunjukkan penghargaan mereka kepada Allah SWT. Peserta membawa barang-barang tradisional yang memiliki makna simbolis dan mewakili keyakinan agama mereka. Acara ini juga merupakan kesempatan bagi generasi muda untuk belajar tentang budaya dan tradisi mereka, yang lebih mengokohkan rasa hormat dan rasa syukur terhadap warisan mereka. Perarakan Persembahan Torok Manggarai lebih dari sekadar perayaan; ia adalah cara hidup bagi masyarakat Manggarai.

Baca juga :  Kok Ada Baptisan Bayi?

Sebagai kesimpulan, Perarakan Persembahan Torok Manggarai memiliki nilai-nilai sosial yang signifikan yang mendorong persatuan, rasa hormat, dan tradisi. Acara ini tidak hanya memperkuat ikatan antara anggota masyarakat Manggarai, tetapi juga menanamkan rasa kebanggaan terhadap warisan budaya mereka. Perayaan ini mengumpulkan orang-orang dari berbagai wilayah Manggarai dan memberikan kesempatan bagi mereka untuk menunjukkan persatuan dan kebersamaan mereka. Secara keseluruhan, Perarakan Persembahan Torok Manggarai adalah acara sosial yang mencerminkan nilai-nilai masyarakat Manggarai dan telah memainkan peran penting dalam membentuk identitas dan budaya mereka. (wawancara dengan seorang tua adat manggarai, Bpk. Frederikus Jehuda)

Kesimpulan

Paham sosiologi dan antropologi memegang peranan penting dalam penginkulturasian Gereja di dalam budaya setempat, seperti budaya Torok. Dalam konteks ini, paham sosiologi dan antropologi membantu Gereja memahami budaya setempat dengan lebih baik, serta memungkinkan Gereja untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan keinginan umatnya dalam konteks budaya lokal (Pongener, M. S: 2014).

Paham sosiologi dan antropologi membantu Gereja memahami kompleksitas dan keunikannya dalam konteks kebudayaan Torok. Dengan memahami karakteristik, tata nilai, dan norma-norma budaya setempat, Gereja dapat mengembangkan pendekatan yang lebih baik dalam praktik pastoral dan pengembangan iman umat, serta dalam mempromosikan pengembangan budaya setempat yang selaras dengan nilai-nilai Kristen (Prasetya, E: 2017).

Pendekatan Gereja yang berbasis pada paham sosiologi dan antropologi juga memungkinkan Gereja untuk menangani berbagai isu sosial dan budaya yang terkait dengan kehidupan umat setempat. Hal ini dapat terwujud melalui dialog dan kolaborasi dengan tokoh masyarakat dan kelompok-kelompok lokal untuk menemukan solusi yang efektif dan berkelanjutan atas masalah-masalah yang dihadapi.

Dalam konteks torok, pengaruh paham sosiologi dan antropologi terhadap penginkulturasian Gereja dapat tercermin dalam upaya untuk memperkuat nilai-nilai lokal yang selaras dengan iman Kristen, seperti nilai-nilai solidaritas, gotong-royong, dan kearifan lokal. Selain itu, pengaruh ini juga dapat tercermin dalam upaya Gereja untuk mempromosikan kreativitas dan keunikan budaya setempat dalam praktik liturgi dan kegiatan keagamaan lainnya (Sutrisna, I. K: 2018).

Dalam keseluruhan, paham sosiologi dan antropologi memainkan peran penting dalam penginkulturasian Gereja di dalam budaya setempat, seperti budaya Torok. Paham ini memungkinkan Gereja untuk memahami lebih baik budaya setempat, mempromosikan nilai-nilai Kristen yang selaras dengan budaya setempat, serta memperkuat keunikan dan kreativitas budaya setempat dalam praktik keagamaan.

Daftar Pustaka

Lekahena, P., & Pramono, S. (2016). Manggarai Traditional Ceremony Torok Budaya.            International Journal of Social Science and Humanity, 6(10), 771-775.

Jaman, J. A. (2017). The Role of the Church in Preserving Manggarai’s Culture. Journal of      Culture and Tourism, 1(1), 21-26.

Purwanti, L. E. (2019). The Role of Catholic Church in Preserving the Torok Culture of         Manggarai. Journal of Indonesian Tourism and Development Studies, 7(1), 43-50.

Mudiyanto, B., & Abdullah, A. (2021). Inculcating Manggarai Culture through Catholic Youth                      Ministry. KnE Social Sciences, 5(22), 212-222.          

Pongener, M. S. (2014). “Gereja dan Kebudayaan: Pengertian dan Implikasi”. Jurnal Pemikiran Sosiologi, Vol. 3, No. 2, pp. 93-102.

Prasetya, E. (2017). “Penggunaan Teori Antropologi dalam Studi Kebudayaan Kristen”. Jurnal Teologi Aletheia, Vol. 6, No. 1, pp. 57-66.

Sutrisna, I. K. (2018). “Transformasi Budaya dalam Konteks Pembangunan: Studi Kasus di Bali”.  Jurnal Sosiologi Nusantara, Vol. 3, No. 1, pp. 27-40.