Opini  

Religius, Medsos

By Ponsy Lg, CMF

Gambar tersebut adalah perpaduan antara lukisan Allah karya Michaelangelo dan sebuah tangan yang sedang bermain gadget. Itulah fenomena religiusitas belakangan ini. Yang lebih parah lagi dalam kehidupan religious, yaitu imam, frater, suster, dan bruder. Untuk lebih medalami tema ini silakan simak tulisan “Religius, Medsos”
Religius, Medsos by avemariapress.com

ClaretPath.com – Religius, Medsos

Ada biarawati memenangi sebuah kontestasi bernyanyi. Seorang pria berjubah imam tampak asyik berdansa dengan langgam yang tidak biasa. Netizen melakukan gunjingan massal soal laku seorang biarawan yang dianggap tidak sesuai harapan. Hal-hal semacam itu bersileweran di jagad maya kini. Semua dapat mengakses dengan sekali sentuhan jari: klik.

Ternyata benar, sekarang kita hidup dalam dua dunia: dunia nyata dan dunia digital. Sebagai religius, panggilan kodrati dan rohani menuntut kita supaya lebih aktif di dunia nyata. Tetapi keasyikan dunia digital telah cukup kuat menarik banyak dari kita bermigrasi dari dunia nyata.

Banyak religius kini lebih suka menatap layar ponsel, dari pada membaca teks biblis–sakral. Kita lebih gemar membalas chattingan dari pada memeluk keheningan. Sebagai akibatnya: hidup komunitas berubah menjadi sekadar kerumunan massal, tanpa semangat komunal. Komunikasi antar pribadi kerap terabaikan, chatt privat via gawai telah menggantikan.

Baca juga :  Pandawa Group Potret Nyata Ludato Si

Era simulacra dan kecerdasan digital

Inilah yang sedang terjadi sekarang, dalam satu era baru, yang sosilog Perancis –Jean Baudrillard– sebut sebagai “era simulacra”. Era di mana simbol-simbol simulatif telah menggantikan realitas. Teks, gambar dan video digital adalah rekayasa simulatif yang nyentrik, menarik dan tampak lebih asyik. Pada gilirannya, simbol-simbol simulatif itu menarik banyak orang dari: peristiwa dan manusia nyata.

Berhadapan dengan fakta semacam itu, adalah perlu sekarang suatu kecerdasan digital. Kecerdasan digital dimaksudkan supaya identitas sebagai religius tidak tergerus oleh nikmat ber-medsos (baca: ber-media sosial). Dengan kecerdasan digital, keterlibatan kita di medsos tetap berlayar ke suatu pelabuhan penuh harapan. Di sana, warta tentang Tuhan tetap menjadi tujuan.

Baca juga :  Alegori Tanur Pater Claret dalam Persimpangan Gaya Hidup Generasi “TikTok”

Religius di era digital bukan suatu pelarian

Sebagai religius di era digital, kita tentu perlu hadir dan bermukim dalam ruang digital. Tetapi, bukan sebagai pelarian dari lemparan batu kaum fundamentalis, atau supaya viral publik–luas. Kehadiran kita di dunia digital, harusnya menjadi marka kepada dunia, bahwa: perbincangan teologis–tentang yang sakral dapat hadir pula secara teknologis dalam ruang digital. Karena itu, kehadiran kita harus punya makna.

Dalam pada itu, –sekali lagi– kecerdasan digital menjadi sangat penting. Kecerdasan di sini merujuk pada sikap matang dan trampil dalam menggunakan piranti digital. Tujuannya jelas. Supaya kehadiran kita melalui konten-konten digital tidak sekadar sebagai media eksebisi–pertunjukan diri tetapi lebih sebagai sarana berbagi pesan-pesan suci – semacam suatu model pewartaan.

Kecerdasan digital berguna supaya tidak asal post dan chatt. Sebab, menurut para pakar: kehadiran kita di ruang digital serentak menjadi kesaksian dan ingatan yang akan terus dipantau. Algoritma sistem akan terus mengingat. Dalam pada itu gurauan Rafel Capurro perlu kita catat di sini: “suatu ketika ingatan digital dapat menjadi monster–seram yang berbalik menakuti penggunanya”.

Baca juga :  Pendidikan dan Guru: “Media Peretas Intoleransi”

Akhirnya. Sebuah pepatah dari Italia mengatakan: “bila akal sehat tertidur, maka monsterlah yang akan menguasai malam”. Dengan kecerdasan digital akal sehat terawat dalam penggunaan piranti digital, supaya tidur menjadi nyenyak tanpa gangguan monster malam, sehingga pagi kita bisa bangun dengan segar sambil berseru: “Ya Tuhan, sudilah membuka hatiku, supaya mulutku mewartakan pujian-Mu”

#_ Religius, Medsos. By. Ponsy Lg, CMF