Penaclaret.com – Sejak kamu memilih untuk berlabuh pada hati yang lebih teduh, cerita kita berubah menjadi tabu. Aku jadi enggan menoleh pada kisah yang walaupun boleh. Aku jadi lupa pada bahagia yang membuat ku buta. Aku jadi malas pada mimpi dalam tidur yang terlalu pulas.
Lupaku kini makin menguat dan ingatku kini makin tercabut. Yang tersisa hanyalah potongan-potongan syukur pada kisah yang terlalu cepat gugur. Semua terasa lucu ketika mata terpaut dengan storymu.
Bahagiaku telah berbuah dan cemburuku telah menua. Sesekali aku menari bersama sepiku. Sekadar bernostalgia bersama malam yang terlalu bahagia. Mengais sisa-sisa senyum yang tersangkut pada bibir yang muram. Semakin eratku memeluk sepi. Menatap cemburu semut yang selalu bercumbu ketika bertemu.
Kamu adalah kisah dalam lupa yang disengaja, karena mengingatmu adalah canda yang tak bertawa. Kamu adalah cerita dalam senyum yang pura-pura, karena melihatmu adalah hidup yang tak bernyawa. Mungkin kita tak akan bisa bersua dalam fakta tapi paling tidak kita pernah berada dalam harap yang sama. Aku mungkin bukan pelangi yang terlalu indah untuk dinikmati, tapi paling tidak bahuku pernah menjadi sandaran untuk kepala yang lesu.
Ketika pelangimu hanya ada satu warna. Aku rela mewarnai semuanya dengan keringat dan darah. Kini aku sadar bahu ku terlalu lemah untuk cinta yang terlalu kuat. Andai lenganku sekuat cemburuku mungkin kita akan bergandeng dalam balutan bahagia.
Aku tidak ingin berharap. Jalan kita terlalu berbeda untuk tujuan yang terlalu mustahil. Aku hanya ingin menitip senyum. Ikut bahagia mengubur harap yang terlalu lugu. Doaku untuk bahagiamu dan senyumku untuk membalut lupaku.
Mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, program studi Filsafat Keilahian. Pengagum karya Tere Liye. Berasal dari kota Karang, Kupang, NTT.