Sepenggal Sajak dari Frater untuk Mantan

Penaclaret.com – Lupakah kau pada malam yang cemburu menyaksikan nada-nada manja dari dua bibir yang kini dipisah jarak? Lupakah kau pada tembok biru yang menjadi sandaran ketika kita lelah tertawa? Lupakah kau pada bintang yang malas bersinar ketika melihat pancaran senyum kita? Lupakah kau pada puisi yang kubaca ketika kamu sedang ngambek nggak jelas? Lupakah kau pada lorong-lorong yang iri ketika pijakan kita berirama melangkah?

Kini kamu telah menemukan pelukan yang lebih hangat. Kini kamu telah berjumpa dengan tawa yang lebih lepas. Kini kamu telah berlabuh pada hati yang lebih luas. Kini kamu telah bersanding dengan cinta yang lebih bebas. Dulu kamu dan aku menjadi kita. Kini kamu dan aku menjadi asing. Dulu kamu dan aku menjadi cinta. Kini kamu dan aku menjadi bising. Kini kita seakan menjadi dua makhluk asing yang tak pernah saling kenal. Tatapanmu kini tak sehangat dulu. Haruskah aku memaksa bibirmu tersenyum padaku?

Baca juga :  Semogaku Enggan Menjadi Amin

Sayap yang dulu kau kasih kini kau patahkan sendiri. Senyum yang dulu kau lukis kini kau hapus sendiri. Janji yang dulu kau ucap kini kau tarik kembali. Rembulan yang dulu menjadi saksi janji mengutuki kita yang sudah berbohong pada rasa yang hanya membuncah sementara. Kini aku sadar bahwa cinta bukan rasa yang paling indah. Dia hanya seberkas sinar yang memancar pada saat jantung sedang tidak baik-baik saja.

Aku ingin marah pada rindu yang dulu pernah membohongiku. Aku ingin menumpahkan segudang kesal pada rasa yang dulu pernah menipu. Aku tidak akan membencimu. Namun aku benci pada pertemuan yang terlalu singkat. Aku tidak akan marah padamu.  Namun aku marah pada waktu yang tergesa-gesa mempertemukan kita di saat logika sedang tidak berfungsi.

Baca juga :  Pada Rindu Kau

Kamu telah memaksaku untuk berhenti mencintai ketika hati sedang ingin mencintai. Kamu telah memaksaku untuk berhenti merindu ketika rasa sedang ingin merindu. Kamu telah memaksaku untuk melupakanmu ketika ingatan masih sedang ingin mengingat.

Tak ada lagi yang bisa kuperbuat selain tunduk pada takdir kenyataan. Kini aku hanya ingin berterima kasih pada waktu yang telah membuktikan kualitas cinta kita. Aku tidak akan dan tidak akan pernah melupakan setiap coretan kita pada dinding hati yang terlalu amatir dalam bercinta. Terima kasih untuk segudang cerita dalam sepotong waktu. Terima kasih untuk seribu penyesalan dalam seberkas rasa. Terima kasih untuk sejuta syair dalam sepengal kisah.

Baca juga :  Semut, Pergilah

Pernah mencintaimu mengajariku taktik melupakan tanpa membenci. Pernah memelukmu mengajariku melepas tanpa menyesal. Pernah bersamamu mengajariku berpisah tanpa memblokir. Kisahmu bersamanya kini, pernah menjadi rinduku dulu.

Selamat berbahagia karena aku telah menemukan Dia yang mencintai tanpa berpaling. Selamat berbahagia karena kutelah bersama Dia yang memeluk sampai lupa melepaskan. Kini aku sedang bercumbu dengan Dia dalam balutan cinta yang paling tulus. Kini aku sedang tersenyum karena Dia memberikan kenyaman yang paling sempurna. Kini aku sedang bahagia karena Dia lupa dan memang tak tahu bagaimana harus membenciku.