Ruang Batin dan Seni Bereksistensi

Ruang Batin dan Seni Bereksistensi
Picture is taken from www. kaskus.co.id

Tulisan ini sebenarnya sebuah kreasi atas bacaan fragmen dan aforisme Friedrich Nietzsche (1844-1900), Seorang filsuf kenamaan Jerman. Sebagaimana Nietzsche sendiri mengakui Bahwa Ia menulis tidak untuk dipahami. Menurutnya, kalaupun akhirnya suatu saat nanti ada yang memahaminya, itu artinya betapa tragis hidup orang itu. Alih-alih paksa mengerti, saya lebih memilih mencoba meraba-raba tulisan filsuf yang dituding metafisikus besar[1] itu dengan pengalaman saya. Barangkali tulisan ini pun tidak untuk dimengerti.

ClaretPath.com – Menghadapi kenyataan sekitar yang kurang mengenakkan dan buas, yang tersisa dari diri adalah keteguhan batin. Dalam Ramayana, mitologi Jawa, ruang batin ini disimbolkan dengan lingkaran api yang dibuat Laksamana untuk melindungi Dewi Shinta dari penyamaran Rahwana. Lingkaran yang merupakan simbol kemurnian batin Laksamana itu tidak akan ditembusi segala kepicikan dari luar, sebagaimana niat jahat Rahwana, si raksasa jahat.

Ditemani remang-remang cahaya yang mencoba melawan cakrawala Semarang Kota Lama yang makin pekat, saya mencoba  membandingkan kisah kami yang hampir  tiga pekan dengan kisah si Laksamana, Satria yang diusir dari kemegahan istana dan mengembara bertahun-tahun di belantara nusa Jawa itu.

Kenyataan hidup memang seperti itu. Tidak meluluh putih ataupun hitam. Garis pisahnya tidak jelas. Kenyataan itu paradoksal, abu-abu. Mitologi Jawa dengan lihai menunjukkan bahwa di balik kakek tua yang sedang mengemis setetes air, terselubung sosok Rahwana, raksasa yang sedang haus darah dan diperbudak nafsu birahi. Dan seperti dewi Sinta, kita sering sekali tertipu. Suatu penampakan tidak dapat ditebak secara presisi.

Di tengah ketidakpastian inilah, keteguhan ruang batin sangat dibutuhkan. Ini bukan suatu ketakutan untuk lepas bebas, tetapi suatu kekuatan untuk terus berselancar di lautan yang buas. Di mana dermaga, tempat berlabuh sudah dibakar.[2] Dan lebih tepatnya tidak ada. Di tengah samudra yang bergelora, mengharapkan dewi fortuna adalah sikap pengecut.  Yang berhak atas hidup dan matiku adalah aku. Tetapi aku yang seperti apa?

Baca juga :  Keselamatan  & Kebebasan Manusia

Hampir tiga pekan, pengalaman paradoksal mewarnai ruang gerak kami. Ada begitu banyak orang yang terbentang antara apatis dan ketidaktahuan. Kemanusiaan yang kita temukan dalam buku-buku antropologi, ternyata kurang sesuai dengan manusia konkret. Para antropolog menyebut manusia sebagai homo emphaticus, tetapi kenyataan berteriak begitu keras, “ada manusia yang empatinya sudah mati. Kesadarannya mandul.” Lantas apa yang membuat mereka masih pantas berpayung di bawah rumah kemanusiaan? Dari pada pusing, marilah tetap kita sebut mereka sebagai manusia. Paling kurang, meminjam istilah Levinas, karena wajah (penderitaan) mereka, mereka menjadi manusia.[3]

Di hadapan manusia-manusia seperti itu, wacana tentang lingkungan sehat, krisis iklim dan, antisipasi krisis pangan adalah omong kosong belaka. Alangkah lebih ironis lagi ketika kebahagiaan diidentikkan dengan uang. Ketika Anda menanam pohon, terbersit di telinga Anda sindiran halus, “ada ngak mas, pohon uang”. Apa boleh buat itulah paradigma yang terlanjur menjadi filosofi hidup mereka. Layaknya Zarathustra a ala Friedrich Nietzsche, kita datang kesiangan untuk menyadarkan mereka.[4] Egoisme dan kebebasan  telah mendahului misi kita. kita pergi ke tempat di mana sekolah bukan prioritas orang tua, melainkan pilihan bebas si anak. Boleh sekolah, boleh tidak. Makan minum adalah tugas utama keluarga. Selebihnya urusanmu!

Terjepit di tengah situasi ini dan harus diputuskan memilih atas nama kemanusiaan? Maju tidak mungkin, mundur apalagi. Pilihan terakhir adalah bermain pada posisi kita saat ini. Sayangnya kenyataan yang kaos itu independen. Siapa gerangan mengubahnya. Barang siapa  yang berambisi mengubahnya secara membabi buta, ia malah sakit. Ia menuai kesia-siaan. Lagi pula perubahan yang datang dari luar tidak bertahan lama. Kekuatannya akan termakan waktu. Dibutuhkan satu sentuhan dari dalam yang fair: ruang batin.  Tetapi pertama-tama bukan untuk mengubah, melainkan bisa bermain dan  bertahan  di tengah kekacauan. Nietzsche menyebutnya samudra yang bergelora.[5]

Baca juga :  Destinasi Adikodrati dan Kodrati Ala Henri de Lubac

Kurang lebihnya demikian, menghadapi kenyataan yang pahit dan tentu tidak sesuai dengan harapan adalah sakit. Hanya orang-orang kuat yang mampu bertahan di hadapan semua itu. Meskipun orang-orang seperti itu sangat jarang. Orang-orang kuat itu sedemikian kokoh di hadapan unexpected reality karena mereka mampu menjaga ruang batinnya agar tidak ternodai oleh segala kecemaran. Mereka bukan orang egois, tetapi mereka adalah orang yang berhasil menyatukan dirinya di tengah realitas yang tidak teratur. Diri yang berhasil disatukan itu merupakan jalinan kekuatan yang belum terkontrol, seperti komitmen, janji, kemauan, mimpi, cita-cita, kemampuan, nafsu, cinta, dan sebagainya yang diharmonisasikan atau diselaraskan. Segala hal ini mampu disatukan di dalam entitas yang dinamakan diri. Akumulasi kekuatan yang demikian akan dahsyat di hadapan kekacauan realitas karena tidak mudah dihancurkan oleh realitas kaostik.

Kenyataan luar yang paradoksal hanya akan menghancurkan si “diri”, sejauh diri itu memang tidak disatukan. Atau terpisah-pisah. Contohnya, ketika janji tidak sejalan dengan komitmen, hasrat tidak sesuai dengan cita-cita, cinta tidak sesuai dengan mimpi, dan seterusnya. Ketidaksesuaian ini akan membuat diri menjadi sangat rentan di hadapan  buasnya realitas kehidupan. Diri yang terpencar-pencar ini cenderung menjadi mangsa dari kaosnya kehidupan. Alhasil, ambyar di hadapan aliran kenyataan.

Nah temuan atas peran ruang batin ini meninggalkan pekerjaan rumah yang memang terus digeluti sepanjang hayat. Penyatuan diri sebagai jalan untuk melindungi ruang batin dari gangguan dunia luar adalah sebuah seni. Sebagai seni ia tidak memiliki garis finis. Penyatuan diri  menjadi satu usaha terus menerus, sebab kalau ia berhenti ia akan ambyar lagi. Ia memang suatu habitus. Tetapi bukan sebagaimana yang dimaksudkan oleh Pierre Bourdieu.[6] Habitus yang dimaksud adalah habitus yang selalu dikejar terus.  Karena itu, tidak pernah selesai. Mengingat bahwa kita sedang di tengah samudra yang bergelora. Kalau tidak terus menerus menjaga keseimbangan, dan terus mendayung kita akan ditelan samudra kehidupan yang kaos itu. Dengan demikian penyatuan diri adalah sebuah seni mengada yang tidak memiliki esensi.

Baca juga :  Bahagia Kok Pura-Pura?

Syukur-syukur kalau mereka yang berhasil menyatukan diri dan dengannya menjaga kemurnian ruang batinnya ini kemudian menyentuh beberapa orang. Sentuhan itu kiranya menjadi satu undangan bagi mereka untuk menemukan sampan agar mampu berselancar di dalam samudra yang kaos, di mana dermaga-dermaga telah dibakar ketika semua bertolak menuju arena permainan, samudra buas.[7]

Semarang Kota Lama, 07/08/2023


[1] Tudingan ini tentu saja datang dari Martin Heidegger yang secara tergesa-gesa memasukkan Nietzsche ke dalam keranjang Metafisika. Lih. A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, Yogyakarta: Kanisius, 298

[2] Kutipan ini merujuk pada salah satu Fragmen Puisi  Nietzsche dalam bukunya The Gay Science, hal. 346

[3] Emanuel Levinas, Otherwise Than Being or Beyond, (Trans. Alphonso Llngls), Springer-Science+Business Media, B.V. hal.91

[4] Friedrich Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, hal.3

[5] Friedrich Nietzsche, The Gay of Science (Trans. Walter Kaufman),  New York: Random House, 124

[6] Karl Maton, “Habitus” in Pierre Bourdieu Key Concepts Edited by Michael Grenfell, UK by the MPG Books Group, 2008, hal 49-67

[7] Friedrich Nietzsche, The Gay Science, 124