Tapak Kenangan di Timor Leste

Oleh Regina Alus

Timor Leste
Gambar: Foto Bersama di Cristo Rei, Timor Leste

ClaretPath.com – Tapak Kenangan di Timor Leste

Perjalanan membawaku jauh hingga tiba di suatu kota yang dahulu menjadi impianku menginjakkan kaki di tempat ini. Salah satu wishlist-ku setelah selesai kuliah adalah bisa berjalan menyusuri Pulau Timor hingga mengunjungi salah satu negara yang berada tepat bersebelahan dengan pulau Timor yakni Timor Leste.

Menjadi harapan tersendiri untuk bisa sampai dan menginjakkan kaki di negara yang biasa disebut Timor Lorosae ini. Tepat di pertengahan Maret tahun 2024, aku berkesempatan mengunjungi Timor Leste dan lebih dari itu aku bisa merayakan Paskah di negara ini. Suatu pengalaman yang penuh sukacita bisa merasakan kebersamaan Paskah bersama sesama Katolik yang berada di negara ini.

Aku melangkahkan kakiku dengan bersemangat di perbatasan Motaain. Panas terik matahari tak menyurutkan semangatku untuk melangkah. Akhirnya, kutapakkan kakiku untuk pertama kalinya di tanah Timor Leste tapat pada hari Kamis, 21 Maret 2024, Pukul 16.00 OTL (Oras Timor Leste).

Perjalanan dari batas menuju ke kota Dili ditempuh kurang lebih 3 jam. Aku tak melakukan perjalanan ini sendiri, tetapi ditemani oleh Pater Todi Manek, CMF dan juga satu sahabat Claret Way Kupang, yakni Kak Nova. Bak pengembara, kami bertiga menembus batas menuju kota Dili.

Senja Pertama di Timor Leste

Sepanjang perjalanan aku memilih untuk terjaga karena ingin melihat suasana Timor Leste. Penampakan alamnya tak jauh berbeda dengan penampakan alam yang ada di sepanjang perjalanan dari Kupang ke Atambua. Namun, pemandangan indah pantai sepanjang jalan membuatku takjub.

Panorama pantai yang indah dengan deburan ombak dan hembusan angin sungguh memanjakan mata. Keindahan senja di pantai yang disinggahi ini juga sungguh cantik, goresan warna jingga di langit membuatku terjebak dalam pesona yang memukau.

Aku merupakan salah satu orang yang sangat mengagumi keindahan senja. Bagiku, di balik senja yang merekah ada kenangan yang tersimpan. Aku menyebutnya senja pertama di Timor Leste.

Keliling Dili, Ibukota Timor Leste

Sebelum perayaan Paskah dimulai, tepatnya hari Jumat, 22 Maret 2024, Pater Todi Manek, CMF mengajak kami untuk berkeliling di sekitar kota Dili. Tentunya aku sangat bersemangat, mengingat ini adalah langkah pertamaku menyusuri kota. Suasana kota Dili cukup ramai dengan hiruk pikuk kendaraan di jalanan Dili.

Baca juga :  Claret Misionaris Plagiat

Kami tiba di titik 0 Km Timor Leste yang berada di pinggir pantai dan berhadapan langsung dengan Praca Da Proclamacao da Independencia em Dili Timor Leste atau Istana Pemerintahan Timor Leste. Kami pun menyusuri jalan mulai dari Palacio hingga tiba dan beristirahat sejenak sambil menikmati kelapa muda di salah satu taman, yakni Largo de Lecidere.

Tempat ini bisa dibilang menjadi tempat nongkrong anak muda. Hampir setiap sudut terdapat banyak sekali yang duduk bercengkerama bersama teman atau kekasih. Ada pula yang duduk mendengarkan musik sambil mengerjakan tugas dari sekolah, kampus atau kantor. Namun, ada juga yang duduk bersantai menikmati makanan sambil menikmati sepoian angin pantai, dan masih banyak lagi aktivitas lain di tempat ini.

Kurang lebih sekitar 30 menit kami duduk beristirahat, karena waktu sudah semakin siang dan cuaca juga yang cukup panas membuat kami memilih untuk pulang dan beristirahat di rumah. Aku bersama Pater Todi dan Kak Nova menginap di Susteran ALMA Aimutin.

Kupandang Patung Cristo Rei

Perjalanan lain di hari-hari selanjutnya menjadi tapak-tapak kenangan bagiku. Impianku bisa menapaki anak tangga demi anak tangga menuju puncak Cristo Rei ternyata tak sebatas impian belaka. 571 anak tangga kutapaki untuk mencapai puncak Cristo Rei yang menjadi ikon tersendiri dari negara Timor Leste.

Keindahan alam dengan suguhan pantai yang begitu cantik membuatku kagum tak bisa terlukiskan dengan kata-kata. Tuhan sungguh baik memberikan kesempatan ini dalam hidupku. Memandang patung Yesus yang selama ini hanya dilihat dalam video-video atau pun dalam foto orang lain, kini aku berdiri di hadapan patung Yesus dan memandang secara langsung, sungguh menakjubkan.

Baca juga :  Dari Fonfroide Ke Yogyakarta

Suasana di Cristo Rei sangat ramai. Banyak orang datang berkunjung. Ada yang datang untuk wisata rohani. Namun, ada pula yang hanya untuk berolahraga.

Setelah puas dengan keindahan alam di puncak, aku turun menuju ke bibir pantai dan menikmati senja sambil menikmati kelapa muda dan jagung bakar. Sepanjang perjalanan pulang, aku sungguh menikmati keindahan senja, senja selalu membawa kenangan dan kali ini aku terpaku lekat menatap kemolekannya.

Kisah Sehari di Hera

Selain Cristo Rei, aku juga berkesempatan mengunjungi salah satu tempat yang biasa dikenal dengan Cruz Mutin yang artinya Salib Putih. Tempat ini terletak di Hera, perjalanan bisa ditempuh menggunakan kendaraan umum sekitar 30 menit dari kota Dili.

Lagi-lagi aku takjub dan kagum dengan keindahan pantai dan pasir putihnya yang sangat indah. Aku tak tahu dengan kata apa untuk melukiskan keindahan pantai di Cruz Mutin ini. Cruz Mutin atau Salib Putih terletak di sebuah pulau kecil yang terletak tidak jauh dari bibir pantai. Untuk bisa ke tempat ini, kita bisa menyewa perahu kecil para penduduk sekitar.

Selain Cruz Mutin, di Hera juga terdapat hutan Mangrove yang sangat terjaga kebersihannya. Saat pertama kali tiba di hutan Mangrove ini, aku cukup terkejut karena begitu banyak monyet yang berkeliaran dengan bebas di sekitar hutan Mangrove. Selain monyet, aku juga melihat seekor ular yang sedang berjalan di ranting-ranting pohon.

Sungguh, alam yang masih sangat terjaga dan terawat dengan baik. Kami menyusuri jalan sepanjang hutan mangrove dan menaiki anak tangga menuju ke puncak. Di puncak hutan mangrove, suguhan laut biru yang memanjakan mata dengan hamparan hutan mangrove yang begitu luas sangat menenangkan hati.

Kehangatan Keluarga Lunturkan Dingin Gleno-Ermera

Setelah cukup puas dengan keindahan alam yang ada di kota Dili, aku bersama kak Nova melangkahkan kaki menuju ke salah satu distrik di Timor Leste, yakni Ermera. Perjalanan ditempuh kurang lebih 3 jam karena jalannya melintasi pegunungan yang berliku-liku.

Baca juga :  Dipanggil untuk Hidup Kudus

Aku menikmati suasana sepanjang perjalanan, keindahan alam, kehidupan masyarakat sekitar, juga perkebunan kopi yang membentang cukup luas di sepanjang jalan. Kami tiba di Gleno pada malam hari dan langsung disambut dengan suhu yang cukup dingin namun luntur karena kehangatan keluarga yang menerima kami untuk menginap semalam di rumah.

Pada hari berikutnya, saat bangun pagi suasana di Gleno sangat cantik. Kabut yang menyelimuti tempat ini sungguh membuatku merindukan suasana rumah di Ruteng karena sangat mirip seperti di rumah.

Aku dan Kak Nova tidak sempat untuk mengelilingi kota Gleno. Kami memilih untuk di rumah saja bersama mama Yohana dan menikmati suasana penuh kehangatan di rumah. Aku membuat keripik pisang, sedangkan kak Nova membuat rujak kedondong. Kami sangat menikmati aktivitas kami.

Aku sangat senang saat diminta membuat keripik pisang. Saat di Kupang, aku bersama komunitas Claret Way Kupang memang memiliki usaha keripik pisang dengan label Caritos. Karena itu, tak butuh waktu lama pisang satu tandan kukerjakan dalam waktu kurang lebih 4 jam.

Aku juga dibantu oleh kak Nova dan mama Yohana. Pada saat itu, mama begitu antusias karena keripik pisang yang dihasilkan sangat bagus. Mama memintaku untuk memberikan resep dan cara pengolahan yang baik karena beliau juga ingin belajar membuat keripik pisang.

Momen Menjadi Memori yang Tak Berubah

Singkat cerita, Kota Dili dan sekitarnya sungguh memberi kesan yang sangat mendalam bagiku. Perayaaan Paskah, keindahan alam, suasana penuh kehangatan dan kekeluargaan, dan masih banyak lagi menjadi kisah abadi yang akan selalu kukenang.

Semua ini kualami bersama orang-orang hebat. Mereka senantiasa mewarnai lembaran hidupku. Bersama para suster Alma dan anak-anak yang mereka layani di Timor Leste, para misionaris Claretian Timor Leste, umat Indonesia di Timor Leste, keluarga di Gleno-Ermera, dan semua sahabat-kenalan, goresan hidupku semakin bermakna.

Aku mengabadikan setiap momen untuk disimpan sebagai kenangan. Bagian terbaik tentang foto adalah ketika orang-orang di foto itu berubah, tetapi memori di dalamnya tidak akan pernah berubah.


*Oleh Regina Alus

Galeri

Penulis: Regina AlusEditor: Todi Manek, CMF