ClaretPath.com – Panggung keselamatan manusia semata-mata terjadi karena kasih. Kasih adalah akar dan dasar desain keselamatan dari Allah bagi manusia. Allah merancangnya dalam kemurahan hati-Nya. Dan oleh karena Allah tak bisa menyangkali diri sebagai Kasih itu sendiri, maka Ia rela mengutus Putra-Nya ke dunia untuk menyelamatkan dunia- manusia dari belenggu dosa. Tetapi, apakah sebuah kebenaran bahwa keselamatan itu bersifat universal? Bila demikian, bagaimanakah dengan kebebasan manusia yang dianugerahkan oleh Allah bagi manusia untuk secara bebas menentukan pilihannya, termasuk bebas untuk menanggapi tawaran keselamatan dari Allah?
Yesus Sebagai Aktor Penyelamat Manusia
“Aku percaya akan Allah, Bapa yang mahakuasa, pencipta langit dan bumi; dan akan Yesus Kristus Putra-Nya yang Tunggal, Tuhan kita…, kebangkitan badan dan kehidupan kekal.,” demikianlah untaian Syahadat Para Rasul yang kini mengakar dan menjalar dalam jiwa orang kristen- beriman. Syahadat Para Rasul membiaskan nadi keberimanan orang kristen akan Allah Trinitas (Bapa, Putra, dan Roh Kudus), serta mengandung kebenaran hakiki tentang Yesus Kristus sebagai Putra Allah. Ia adalah Allah dan Ia adalah penyelamat dunia.
Dalam Perjanjian Lama dijelaskan bahwa, “Tuhan menjanjikan seorang Penyelamat, yang akan lahir dari perempuan itu, yang akan mengalahkan iblis” (lih. Kej 3:15). Bahwa sejak awal, panggung keselamatan mengalir dari kemurahan hati Allah untuk menyelamatkan dunia- manusia. Ia rela mengutus Putra-Nya ke dunia, dikandung dari Roh Kudus, oleh seorang perawan- Maria, dan lahir sebagai seorang manusia (Yesus sungguh Allah dan sungguh manusia). Ia mengakrabkan diri dalam realitas hidup manusia namun Ia tidak dinodai oleh dosa atau tak berdosa. Pada akhirnya bersedia menderita, wafat di salib, dan bangkit demi menyelamatkan manusia dari kuasa maut- dosa. Ia adalah Hamba Allah yang setia dan taat. Oleh karena itu Ia rela membiarkan derita melilit dan menyelimuti diri-Nya. Ia sanggup menanggung derita yang keji demi menebus dosa-dosa manusia (bdk. Yes 53:1-11).
Misi-Nya ke dunia adalah merangkul dan merangkum orang-orang berdosa- yang hilang, untuk membawa mereka kembali ke jalan yang benar atau kembali ke pangkuan Allah. Ia datang membawa damai dan untuk menyelamatkan dunia- manusia. Penyelamatan-Nya adalah bersifat universal untuk semua orang (bdk Mat. 1-18). Keuniversalan keselamatan itu, terlepas dari kebebasan manusia untuk menanggapi keselamatan yang dibawa Yesus tersebut. Bahwasannya keselamatan itu bersifat universal; untuk siapa saja, entah yang berkulit putih ataupun berkulit hitam atau dalam bahwa Kitab Suci, keselamatan yang dibawa Yesus tidak hanya dikhususkan bagi bangsa tertentu dalam hal ini Bangsa Yahudi tetapi untuk semua bangsa yang bukan keturunan yahudi.
Alasan mengapa Ia datang ke dunia adalah untuk memberi pertobatan dan pengampunan dosa (Kis. 5:31). Orang berdosa diartikan sebagai mereka “yang hilang” sehingga Yesus datang untuk mencari dan menyelamatkannya (Luk. 19:10). Hal ini menunjukkan keselamatan Allah sesungguhnya bersifat luas dan terbuka terhadap semua orang. Dan Yesus adalah aktor penyelamatan tersebut. Bila demikian, bagaimana dengan kebebasan yang dianugerahkan Allah bagi manusia, yang mengindahkan pilihan bebas manusia termasuk memilih untuk “terlibat dalam rencana keuniversalan keselamatan tersebut?
Kebebasan Manusia
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kebebasan berarti lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, sehingga dapat bergerak, berbicara, dengan leluasa). Kebebasan dalam arti ini mengandung unsur negatif karena disandingkan dengan kata “tidak”. Dalam pemahaman umum, bebas berarti “tidak ada paksaan”. Pemahaman umum ini menegaskan bahwa seseorang dikatakan bebas sejauh tidak terikat oleh apapun, misalnya, bebas uang sekolah artinya tidak membayar uang sekolah. Pengertian umum ini belum terlalu mengenal secara mendalam tentang makna kebebasan itu sendiri. Bahwa bebas yang disandingkan dengan kata “tidak” yang bernuansa negatif itu belum menunjukkan makna yang mendalam tentang kebebasan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari manusia.
Dalam kacamata teologis, manusia diciptakan Allah dengan kemampuan dapat berpikir dan melakukan segala sesuatu berdasarkan apa yang dikehendakinya. Sebab Allah bermaksud menghantar dan menyerahkan manusia pada keputusannya sendiri (bdk. Sir. 15:14). Karena itu Ia adalah ciptaan Allah yang istimewa yang serupa dengan Allah dan dianugerahkan akal budi, hati nurani dan kebebasan. Dalam tataran ini kebebasan adalah tanda dan ungkapan martabat manusia serta mahkota martabat kita sebagai manusia. Karena itu Kebebasan sejati adalah tanda wajah Allah dalam diri manusia, supaya ia dengan bebas mengabdi kepada Allahnya dan mencapai kebahagiaan yang sejati yakni keselamatan.
Adapun perdebatan mengenai kebebasan manusia, dalam menanggapi tawaran keselamatan dari Allah. Hal demikian, tentang paham optimisme dan pesimisme kebebasan manusia. Paham optimisme kebebasan manusia menegaskan bahwa tanpa bantuan ataupun rahmat Allah, manusia sanggup melakukan suatu tindakan baik yang kemudian menjadi sarana baginya menuju keselamatan, paham ini mengabaikan harmoni kerja sama antara rahmat Allah dan kebebasan manusia. Sedangkan paham tentang pesimisme kebebasan manusia meragukan rahmat kebebasan manusia yang dianugerahkan Allah tersebut. Paham ini menegaskan bahwa hanya karena rahmat Allah manusia dapat diselamatkan. Bertolak dari penyelewengan pemahaman ini, Gereja pun memberi jawaban bahwa pada hakikatnya rahmat Allah dan kebebasan manusia selalu berjalan beriringan dan tidak saling meniadakan. Ada kolaborasi di sana supaya tercapailah rencana suci Allah dan manusia dapat memperoleh keselamatan. Jadi tidak hanya dalil dari kebebasan manusia atau rahmat Allah tetapi kedua-duanya bekerja sama agar terwujudlah keselamatan manusia. Satu hal yang perlu disadari bahwa keselamatan dari Allah itu bersifat universal untuk semua manusia, hanya saja untuk memperoleh keselamatan itu, manusia harus menjalin kesolidan relasi dengan Allah atau menanggapi rahmat Allah dalam bentuk iman yang tercermin dalam tindakan-tindakan yang peduli akan kehidupan.
Allah Menghargai Kebebasan Manusia
Allah menciptakan manusia karena kasih. Di dalam kasih Allah menganugerahkan rahmat kebebasan kepada manusia sebagai kekuatan agar manusia dengan bebas mencari pencipta-Nya dan kemudian memperoleh kesempurnaan. Allah tidak membelenggu kebebasan pribadi manusia. Ia menghargai kebebasan manusia. Bila Ia membelenggu kebebasan yang ada pada manusia artinya manusia hanya menjadi sekedar makhluk hidup dan bukan rekan kerja atau partner kerja Allah yang memancarkan kasih Allah di tengah dunia.
Iman kristiani menegaskan bahwa Allah sendiri telah memilih untuk– dalam mewahyukan diri-Nya- ‘mengikatkan’ diri pada kebebasan manusia, memberikan kebebasan itu kepada manusia dan menghormatinya. Artinya bahwa Allah tidak membelenggu kebebasan manusia. Ia menghargai kebebasan yang telah dianugerahkan kepada manusia. Demi menghormati kebebasan manusia, kekuasaan kasih Allah terwujud di sini dalam kesediaan untuk menjadi yang “tidak berdaya”. Cinta Allah berhenti di depan kebebasan manusia untuk memilih dan bertindak.
Dalam kasih, Allah menghargai dan menghormati kebebasan manusia. Ia tidak membelenggunya tapi Ia selalu merasa ‘tidak berdaya’ di depan kebebasan manusia. Ia menganugerahkan suatu anugerah yang luar biasa, yakni “kebebasan” dalam diri manusia yang terbatas, rapuh, dan lemah. Allah menaruh harapan dalam kelemahan manusia dan ini terjadi karena Ia Maha Kasih yang penuh dengan kasih atau berlimpah dalam kasih. Dalam kasih, Ia rela menanggung segala penyalahgunaan kebebasan manusia yang terungkap dalam kejahatan dan penindasan.
Sifat Allah berhadapan dengan kebebasan manusia adalah kasih maka semua bantuan yang dianugerahkan Allah, dalam rupa karunia dan rahmat-Nya tidak mengurangi apalagi menghilangkan kebebasan manusia. Tetapi melalui rahmat itu Allah bermaksud menyerahkan manusia pada keputusannya sendiri supaya dapat menemukan kebenaran yang jelas dan dapat mengabdi pada kebaikan.
Tawaran Allah bagi manusia selalu bersifat bebas. Allah tidak memaksa manusia tetapi selalu bersedia menerima manusia kapan saja ia kembali seperti anak yang hilang. Bapa yang baik akan selalu terbuka tangannya untuk menyambut kepulangan anaknya yang telah melukai hatinya (bdk. Luk. 15:11-32). Tetapi kembali lagi bahwa Allah menghargai kebebasan manusia dan dalam kasih Ia rela menjadi yang ‘tidak berdaya’ di hadapan kebebasan manusia guna menghormati leluhurnya kebebasan manusia. Hal ini tidak mereduksi hakikat keuniversalan keselamatan yang direncanakan Allah bagi manusia karena pada hakikatnya baik kebebasan Allah untuk menyelamatkan dunia- manusia maupun kebebasan manusia itu sendiri selalu berjalan bersama dan tidak saling meniadakan. Inisiatif Allah yang berupa rahmat untuk menyelamatkan manusia dari maut selalu berjalan dalam kasih. Agar manusia bisa selamat maka ia harus membangun relasi yang solid dengan Allah. Artinya bahwa ada harmoni relasi antara rahmat Allah untuk menyelamatkan manusia dan kebebasan manusia yang secara sadar dan bebas menanggapi tawaran keselamatan tersebut.
Bahwa rahmat kebebasan yang dianugerahkan-Nya bagi manusia mengandung maksud yang suci yakni supaya manusia dengan bebas mencari dan mengabdi kepada pencipta-Nya sehingga memperoleh kebahagiaan sejati yakni keselamatan. Dengan demikian Allah menghargai kebebasan manusia. Dalam keluhuran kebebasan manusia itulah Allah “menaruh harapan” bagi manusia untuk secara bebas kembali kepada-Nya. Jalan satu-satunya bagi manusia agar bisa selamat adalah percaya kepada-Nya. Iman sebagai tanggapan atas keselamatan yang ditawarkan adalah kunci yang menghantar manusia (yang hilang/ berdosa) masuk dalam kebahagiaan sejati yakni keselamatan. Adalah sebuah kebenaran bahwa tanpa menanggapi kemurahan hati Allah pun keuniversalan keselamatan yang ditawarkan Allah itu tak ternodai atau tak akan luntur.
ClaretPath.Com adalah ruang pengembangan bakat menulis dan media kerasulan, terinspirasi dari Santo Antonius Maria Claret, Pelindung Pers Katolik.