Perpecahan Jemaat di Korintus (1 Kor 3: 1-9) dan Gereja sebagai Persekutuan dalam Kristus

Perpecahan Jemaat di Korintus (1 Kor 3: 1-9) dan Gereja sebagai Persekutuan dalam Kristus
Picture by. Biblepalce.comm

ClaretPath.com – Perpecahan Jemaat di Korintus (1 Kor 3: 1-9) dan Gereja sebagai Persekutuan dalam Kristus

Latar Belakang Perpecahan Jemaat di Korintus

Korintus merupakan sebuah kota pelabuhan yang besar dan menjadi pusat perdagangan di Yunani. Pada tahun 146 SM, jenderal perang Romawi Lucius Mummius menghancurkan kota tersebut. Kemudian dibangun kembali oleh Yulius Caesar pada tahun 44 SM. Korintus semakin ramai karena dijadikan ibu kota provinsi Romawi Akhaya di Yunani pada tahun 29 SM oleh Kaisar Agustus. Sebagaimana gambaran kota besar pada umumnya, masyarakat Korintus terbiasa untuk berkompetisi, mencari status sosial, kehormatan diri sendiri, mencari pencapaian dan promosi diri. Ketertarikan untuk mengagungkan patron mereka (1 Kor. 1:10-4:21). Sikap atau mentalitas tersebut, terdapat juga dalam orang diri orang Kristen di Korintus. Mereka membentuk kelompok dan sering terjadi gesekan antar kelompok itu karena perbedaan tokoh yang mewartakan Yesus Kristus. Perpecahan muncul karena  masing-masing kelompok membanggakan tokoh atau mereka. Kita dapat menemukan bahwa pada saat itu terdapat empat kelompok di Korintus (Paulus, Apollos, Kefas, Kristus), seperti yang diberitahukan oleh orang-orang dari keluarga Kloe kepada Paulus (1 Kor. 1:11).

Sebagian jemaat bangga karena berasal dari golongan Paulus, sebagian lagi dari golongan Apollos, dan berasal dari guru atau tokoh lainnya. Pengelompokan tersebut terjadi setelah Paulus meninggalkan Korintus. Kemudian, datanglah seorang pewarta bernama Apollos yang kemungkinan memberi penekanan pada elemen-elemen pneumatik dalam pewartaannya (Kis. 18:24-19:1). Penekanan yang diberikan Apollos juga menjadi kembanggaan bagi kelompok yang mendapatkan pewartaanya. Mereka membanggakan karunia berbahasa roh dan menganggapnya sebagai karunia di atas karunia-karunia lainnya.[1] Mereka cenderung membanding-bandingkan  tokoh atau guru yang mewartakan, baik dalam hal keterampilan berbicara maupun dalam hal hikmat. Mereka menilai hikmat berdasarkan kriteria tradisional berupa khotbah, retorika yang meyakinkan dan menghibur. Hal tersebut membuat mereka memilih untuk setia pada guru tertentu di gereja, yang menyebabkan perpecahan dalam jemaat.

Baca juga :  Terang yang Membebaskan

Tanggapan Paulus atas Perpecahan Jemaat di Korintus

Dalam menanggapi situasi umat di Korintus, Paulus mengidentifikasikan dirinya sebagai hamba (1 Kor. 3: 51), begitu pula Apolos dan guru-guru lainnya adalah hamba, tidak ada tempat bagi kesombongan, kebanggaan, atau kepentingan diri sendiri. Pernyataan dan penjelasan Paulus tentang pengkhotbah dan guru sebagai hamba menjungkirbalikan kerangka referensi masyarakat Yunani-Romawi. Gagasan dan sikap mereka terhadap prestise sosial, yang mementingkan kehormatan dan status diri dipatahkan oleh Paulus. Paulus menekankan bahwa para pengkhotbah dan guru adalah hamba yang mengerjakan sesuatu atas dasar perintah atasannya. Para hamba tersebut terlibat dalam satu dan tugas yang sama, dan mereka bergantung pada Tuhan yang sama, dan masing-masing akan menerima upahnya sesuai dengan pekerjaannya sendiri (1Kor. 3:8). Dengan demikian, tidak ada yang lebih besar dari antara mereka.

Paulus memahami dirinya sebagai perintis, yang dipanggil Allah untuk menanam dan meletakan dasar (1Kor. 3:6,10), yaitu mendirikan jemaat-jemaat baru. Sedangkan, Apolos dan pengkhotbah dan guru lainnya  menyiram dan membangun di atas fondasi yang telah dibuatnya (1Kor. 3:6,10). Mereka mengambil peran dalam mendorong dan meningkatkan pertumbuhan jemaat lebih lanjut, dengan mengajarkan orang percaya dan menjangkau orang yang belum percaya. Menurut Paulus Tuhan memberikan tugas yang berbeda-beda kepada masing-masing (1Kor. 3:5) untuk menekankan perbedaan karunia dan tugas demi satu tujuan yang sama. Baik tugas yang diberikan Allah maupun karunia untuk melaksanakan tugas itu adalah karunia Allah yang murah hati.[1]  Keberhasilan dari karya misi mereka selalu berasal dari Allah semata. Hal tersebut berlaku baik untuk Paulus sebagai perintis maupun para guru dan pengkotbah yang meneruskannya.  Hanya Allah yang memberi pertumbuhan (1Kor. 3:6-7), sedangkan Para rasul dan guru atau pengkotbah hanyalah kawan sekerja Allah (1Kor.3:9). Jemaat baru yang didirikan bukan milik Paulus atau guru-guru yang lain, mereka adalah ladang Allah, bangunan Allah (1Kor. 3:9) karena Allah yang memberikan pertumbuhan. Allah adalah tuan para rasul dan guru. Mereka semua bertanggung jawab kepada-Nya karena masing-masing akan menerima upanya sesuai dengan pekerjaanya sendiri (1kor. 3:8). 

Baca juga :  Inspirasi Dari Sebuah Dialog

Gereja sebagai Persekutuan dalam Kristus

Paulus meneguhkan Gereja berdasar pada Yesus Kristus (1 Korintus 3:11). Yesus Kristus juga adalah Kepala Gereja (Efesus 1:18-23) dan hidup Gereja (Yohanes 10:10). Gereja hanya akan bertumbuh jika ada dalam persekutuan kasih karunia dan pengenalan akan Tuhan Yesus, tunduk pada kehendak-Nya dan berada dalam persekutuan dengan Kristus sendiri. Gereja juga akan bertumbuh apabila ada keseimbangan antara orang yang menanam dan menyiram. Ketergantungan dan ketaatan pada Roh Kudus turut menjadi unsur yang penting, sehingga kuasa-Nya dapat disalurkan dalam diri mereka yang menanam dan menyiram. Dengan demikian, pertumbuhan dari Allah pun dapat terwujud.

Menuntun orang pada iman akan Yesus Kristus dan mendirikan komunitas baru orang percaya menjadi unsur penting bagi Paulus. Karena itu, menggambarkan dirinya sebagai orang yang diangkat dan dipekerjakan Allah  untuk memberitakan Injil dalam masa perintisan,  Paulus menggunakan metafora ahli bangunan. Fondasi menjadi bagian terpenting sebuah bagunan. Dalam hal ini, fondasi yang diletakan Paulus adalah Yesus Kristus sendiri (1Kor. 3:11), terutama Yesus sebagai Mesias yang disalibkan (1 Kor. 1:23; 2:2). Yesus Kristus yang disalibkan dan bangkit menjadi fondasi Gereja serta ukuran kritis pendirian dan pertumbuhan Gereja. Guru dan pengkhotbah bertanggung jawab atas cara mereka membangun di atas “fondasi Yesus Kristus” (1Kor. 3: 12-15) yang telah diletakan Paulus. Paulus berpendapat bahwa ada cara untuk mendirikan bangunan yang akan berdampak kekal: ketika orang yang membangun mengikuti batu penjuru yang telah diletakan oleh  ahli bangunan yang telah meletakan dasarnya, mereka akan menyelesaikan bangunan dengan sukses.[1] Karena itu Paulus menegaskan, baik dirinya maupun Apolos adalah rasul-rasul yang dimiliki semua jemaat.  Mereka sama-sama membawa jemaat kepada Kristus agar jemaat menjadi milik Kristus juga. Paulus meminta mereka agar memandang dia dan guru lainnya sebagai hamba-hamba Kristus yang dipercaya untuk menyampaikan rahasia Allah kepada mereka.

Baca juga :  AKU DAN DIA (PEREMPUAN) ADALAH SAMA

Selanjutnya, Paulus mengingatkan orang Korintus bahwa, “Tidak tahukah kamu bahwa kamu bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu?”  (I Kor 3:16). Paulus berusaha  menyatakan, betapa mulianya orang percaya karena Allah dalam Roh-Nya berkenan tinggal dengan manusia. Bait Allah  menjadi pernyataan di dunia akan kehadiran Allah. Masih dalam surat yang sama, Paulus menyatakan, “Bukankah cawan pengucapan syukur, yang atasnya kita ucapkan syukur, adalah persekutuan dengan darah Kristus? Bukankah roti yang kita pecah-pecahkan adalah persekutuan dengan tubuh Kristus?” (1 Kor 10:16). Kemudian Gereja menjadi satu tubuh dalam Kristus diterangkannya dalam 1 Kor 10:17, “Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu”.  Kita dapat melengkapi pernyataan Paulus dengan mengatakan, “Komunio pertama-tama sebagai ambil bagian dalam hidup Triniter” (LG 2, DV 1 dan 2, AD 3). Kebersamaan dalam hidup Triniter menjadi dasar bagi kebersamaan dalam Gereja. Komunio dengan Allah melahirkan kebersamaan satu sama lain. Dengan demikian, perpecahan yang terjadi dalam jemaat (Gereja) seharusnya tidak terjadi karena kita menjadi satu kesatuan dalam Yesus Kristus.


[1] Eckhard J. Schnabel, Rasul Paulus dan Sang Misionaris, (Yogyakarta: ANDI, 2010), 135.


[1] Lih. Anthony C. Thiselton, First Corinthians: A Shorter Exegetical and Pastoral Commentary (Grand Rapids: Eerdmans, 2006), 300-301.


[1] St. Eko Riyadi, Surat-Surat Proto-Paulino (Buku Ajar), (Yogyakarta: Sanata Dharma, 2017), 74-75.