(Sebuah “Perjumpaan” antara Telapak Kaki dan Punggung Jari)
Claretpath-Pastoral care terkesan memberikan sebuah penegasan akan sesuatu yang sedang tidak baik-baik saja. Secara sederhana terminologi di atas menghadirkan sebuah fakta keberpihakan kepada mereka yang sedang berada pada ujung jurang pergumulan atas kenyataan hidup. Kata “CARE” dalam bahasa inggris memiliki beberapa arti seperti, perhatian, perawatan, asuhan, ketelitian, pemeliharaan, mengurus. Lalu kata perawatan dalam bahasa Indonesia (KBBI) dapat diartikan perbuatan merawat/pembelaan (orang sakit). Dengan demikian kata care pada tulisan ini mengerucut pada orang-orang sakit yang butuh diperhatikan.
Perhatian kepada orang-orang yang sakit atau menderita dapat dilakukan oleh siapa saja atau dengan berbagai macam sarana. Bagi mereka yang menderita akibat bencana alam atau kemiskinan salah satu cara berpihak kepada mereka adalah pemerintah melalui dinas sosial. Atau organisasi-organisasi LSM lainnya. Sama halnya dengan mereka yang menderita akibat berbagai jenis penyakit yang mereka alami. Penyembuhan atas penyakit yang mereka alami akan ditempuh dengan berbagai cara melalui pengobatan yang diyakini dapat menghancurkan rantai penderitaan yang telah melilit mereka bertahun-tahun. Salah satu yang menjadi muara tulisan ini adalah bagaimana melihat pastoral care menjadi salah satu cara atau media yang dipilih oleh beberapa orang untuk mengalami penyembuhan. Pastoral care hadir sebagai alternatif kesekian untuk mereka yang membutuhkan kesembuhan.
Pastoral care dengan wujud kongretnya adalah pijat menjadi ladang misi bagi para Claretian (CMF) Delegasi Indonesia dan Timor Leste. Kerasulan yang sudah dimulai sejak lama ini telah memberikan arti yang sangat penting bagi mereka yang menderita berbagai macam penyakit. Pijat yang dilakukan pada telapak kaki atau tangan pasien telah membuahkan hasil yang memuaskan bagi banyak pasien yang memlih pijat relfeksi ini. Dalam bentangan historisitasnya, pastoral care (pijat) ini sudah berjalan cukup lama dan telah menyelamatkan begitu banyak pasien dari penyakit yang mereka derita.
Nietzsche Tentang Sakit
Chestron seorang jurnalis dan Filsuf kelahiran Inggris ini pernah mengatakan demikian, dalam situasi di mana eksistensi hidup manusia ada di dalam bahaya yang setiap saat bisa menimpa kita, kita makin menyadari betapa kehidupan itu harus disyukuri dan dirayakan. Apakah sakit itu perlu disyukuri bahkan dirayakan? Lantas bentuk rasa syukur dan merayakan sakit atau penderitaan itu seperti apa? Nietzsche punya cara mensyukuri dan merayakan penderitaan atau rasa sakit itu.
Nietzsche adalah subjek partikular yang memiliki pengalaman khas dalam caranya berelasi dengan pengalaman sakit. Bagaimana Nietzsche menyikapi rasa sakit? Yang jelas sakit bukanlah sesuatu yang harus ditolak dengan lagak sok kuat, dengan “tirani ketegakkepalaan” yang justru ujud sebuah Misantropisme (dari kata Yunani miseo artinya membenci dan antropos artinya manusia; kebencian pada manusia). Sebaliknya, penerimaan dan pengolahan atasnya justru membuat Nietzsche mampu mengatakan bahwa konsekuensi rasa sakit adalah konsolasi (kegembiraan, munculnya harapan baru, lautan baru).
Pada umumnya orang akan berusaha menghindari dari kenyataan rasa sakit. Manusia lebih memilih untuk menolak rasa sakit atau pun dengan berbagai macam cara mencoba untuk mengatasi rasa sakit tersebut. Namun, dalam kaca mata Nietzsche rasa sakit menjadi kesempatan, peluang untuk menemukan sesuatu yang baru dalam kehidupan. Nietzsche menunjukan bahwa rasa sakit itu berat; sakit adalah sesuatu yang bisa membuat orang putus asa, kehilangan harapan. Nietzsche menggunakan kata “bangkit”, artinya, sakit baginya adalah pengalaman berat, seperti masuk dalam kegelapan kematian, sehingga sembuh layak dikatakan sebagai bangkit dari “mati”.
Pada dasarnya, rasa sakit, adalah apa yang terjadi begitu saja. Bila tidak hati-hati, rasa sakit bukannya dihadapi dengan wajar tetapi malah dihadapi dengan reaktif (menyalahkan yang luar atau menyalahkan diri sendiri). Sakit adalah apa yang dihadapi secara personal. Cara kita menghadapinya secara personal itu pulahlah yang menyingkapkan siapa diri kita, menunjukan kekuatan atau kelemahan diri kita.
Telapak Kaki dan Punggung Jari
Jikalau Nietzsche merasa bahwa rasa sakit itu terjadi begitu saja dan menuntut sebuah kesadaran yang mendalam dalam menanggapinya atau kembali pada kualitas diri (person). Maka dalam kerangka pastoral care, penyembuhan atas penyakit terlepas dari apa yang Nietzsche bahasakan sebagai derajat iman kepercayaan pasien perlu juga mengalami apa yang dinamakan perjumpaan jemari.
Perjumpaan jemari disini lebih pada sebuah frasa naratif atas kenyataan bahwa pastoral care (pijat) ini menghadirkan dalam diri pasien bahwa sumber penyembuhan tidak hanya datang lewat faktor eksternal (obat atau ramuan), melainkan melalui sesuatu yang menjadi bagian dari manusia itu sendiri yakni telapak kaki.
Perjumpaan jemari dimaknai sebagai momen dimana telapak kaki pasien akan dipijat dengan menggunakan punggung ibu jari, jari telunjuk atau pun jari tengah pemijat. Pemijatan itu terfokus pada titik-titik penyakit yang ada pada telapak kaki. Sederhananya pada telapak kaki manusia terhubung semua sel-sel atau organ-organ manusia pada umumnya. Jikalau si pasien datang dengan keluhan lambung, tulang belakang, kolesterol, hati, jantung dan lain-lain. Maka, si pasien akan dipijat pada telapak kakinya dengan titik fokus pada titik organ atau saraf yang dideritanya. Jadi obat bagi pasien dengan penyakit tertentu terletak pada titik-titik telapak kaki pasien.
Dengan demikian, dalam pastoral care kesembuhan pada pasien atau penderita tidak diperoleh dengan mengkonsumsi obat-obatan. Melainkan dengan mengalami apa yang dinamakan perjumpaan jemari antara telapak kaki dan punggung ibu jari, telunjuk dan jari tengah atau pun alat bantu lainnya. Perjumpaan antara telapak kaki dan punggung jari mendatangkan kesembuhan atau “bangkit” dari mati menurut Nietzsche. Itulah pastoral care.
A. Setyo Wibowo, Gaya Filsafat Nietzsche, Yogyakarta: Kanisius, 2017.
Martin Chen dan Stanis Harmansi (eds), Di manakah Allah? Jakarta: Obor, 2021.
Penggiat literasi