Menilik Pewartaan Gereja: Sebelum, Selama dan Post-Pandemi Covid-19

Oleh Atis Hakim

Menilik Pewartaan Gereja
Gambar: Ilustrasi Menilik Pewartaan Gereja (Sebelum, Selama, Setelah Covid-19)

ClaretPath.comMenilik Pewartaan Gereja

Tak dapat dimungkiri, pandemi covid-19 sampai saat ini masih menghantui kehidupan masyarakat global. Penyakit langka ini sangat sulit diprediksi kapan akan berakhir. Namun yang pasti, sampai saat ini, ada begitu banyak orang yang meninggal akibat penyebaran virus corona  yang tak terkendali ini.

Secara umum Covid-19 memiliki dampak mikro dan makro. Dalam tataran mikro, dampaknya merujuk pada individualitas manusia dalam taraf psikologi dan preferensi pribadi. Hal ini tampak dalam fenomena setiap orang menjadi cemas, takut berinteraksi dengan yang lain. Pada tataran makro, dampaknya terkait dengan perubahan struktur sosial dan manajemen publik antarindividu serta lingkungan. Penyebab realitas ini, yakni adanya kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Tentunya hal ini dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia seperti pendidikan, sosial, budaya, kesehatan, politik dan ekonomi.

Covid-19 dan Momentum Perubahan

Sejak kemunculannya, covid-19 telah mentransformasi secara signifikan tatanan kehidupan manusia. Hal ini dapat mengakomodasi adanya new normal. Sebagaimana gagasan Rangga K. Mahaswa dan Putu Pradnya L. Dharmayasa, new normal adalah sebuah bentuk sikap manusia ketika berhadapan dengan situasi yang seutuhnya baru.[1]

Peristiwa baru tersebut tampak dalamperubahan jangka pendek yang menjadi bayang-bayang masa depan. Ada tuntutan untuk menyediakan fasilitas perawatan pasien, tuntutan temuan obat baru atau vaksin baru. Tidak terkecuali, terjadi juga perubahan masif pelayanan rumah sakit dan perombakan total kebijakan publik. Kendati demikian secara psikologis manusia belum siap untuk menerima perubahan baru tersebut.

Realitas ini akan bermuara pada apa yang disebut culture shok (gegar budaya). Gegar budaya merupakan sebuah situasi atau keadaan yang terjadi dalam masyarakat komunal akibat perubahan interaksi fisik dalam hubungan sosial yang telah menjadi kebiasaan sebelumnya.[2] Narasi gegar budaya dapat menimbulkan reaksi lingkungan baru dan sekaligus menimbulkan tekanan kognitif dan psikologi. Tentu hal ini dapat menimbulkan persoalan multidimensi bagi manusia itu sendiri. Oleh karena itu, muncul berbagai kebijakan baru yang berujung pada perubahan dalam setiap ranah kehidupan manusia seperti politik, pendidikan, sosial dan budaya.

Pada kesempatan tertentu Leach, Macgregor and A. Wilkinson memproyeksi realitas pasca-pademi (post pandemic) bahwa kondisi pasca-pademi terwujud dalam meningkatnya kesadaran kesehatan publik, adanya kerentanan sistem politik arus utama, transformasi kebijakan ilmiah, ekonomi dan pemerintahan untuk menghadapi suatu kondisi ketidakpastian pandemi di masa depan.[3]

Pandemi ini menjadi momentum krusial untuk menumbuhkan kesadaran baru berkaitan dengan kesehatan. Tubuh manusia sangat rentan terkena berbagai penyakit, maka perlu sebuah budaya baru untuk hidup sehat.

Selain itu kebijakan berkaitan dengan ekonomi dan bidang ilmiah perlu membutuhkan sebuah inovasi termutakhir agar mampu mengantisipasi segala potensi yang terjadi di masa depan. Dalam konteks ini peran teknologi sebagai salah satu parameter yang urgen dalam membantu keterbatasan manusia itu sendiri. Pembatasan sosial dalam skala massif berimplikasi pada penggunaan media sosial semakin tinggi yang merupakan afirmasi bentuk komunikasi baru serta bentuk escaping dari model interaksi sebelumnya. Perubahan fundamental ini dapat mengarahkan semua orang pada adaptasi dengan teknologi digital.

Dalam konteks ini, Jason Schenker mengkonfirmasi bahwa virus corona dapat mengakomodasi e-commerce dan telecommuting (kerja jarak jauh) yang ada saat ini serta menjalani pembelajaran daring untuk menemukan tempat mereka di dunia dan banyak melakukan perbaikan dalam kehidupan.[4] Realitas ini tentunya didukung oleh perkembangan teknologi yang sangat pesat yang juga turut memberi andil bagi manusia pada saat pandemi. Teknologi yang mapan mampu menjadi mediasi dalam interaksi manusia dengan yang lain sekaligus mampu mendobrak segala kesulitan di tengah pandemi.

Pada kesempatan tertentu, Jason Schenker menyoalkan tentang apa yang akan terjadi pada masa depan setelah covid-19? Secara pasti bahwa banyak industri, bisnis, individu dan ekonomi akan terkena dampak yang sangat serius. Dia mengafirmasi bahwa masa depan itu tidak pasti sehingga yang penting untuk mencermati tren-tren jangka panjang dengan potensi terbesar yang akan muncul di banyak alternatif skenario masa depan.[5] Dengan ini perlu sebuah sikap keterbukaan dan kesiapan terhadap segala kemungkinan di masa depan.     

Pewartaan Gereja

Pada hakikatnya Gereja sebagai persekutuan umat Allah yang berziarah di dunia mempunyai tugas yang sangat krusial di tengah dunia. Gereja melanjutkan dan berpartisipasi aktif dalam mengambil bagian tri tugas Yesus Kristus, yakni sebagai nabi, imam dan raja. Dengan mengemban tugas tersebut, Gereja berusaha mengejawantahkan, memberi makan rohani dan pelayanan bagi umat Allah. Salah satu fungsi Gereja adalah pewartaan Kabar Gembira di tengah dunia. Harapannya gereja mampu untuk menghadirkan Yesus Kristus secara konkret di tengah pergumulan hidup manusia.

Pada hakikatnya, dasar Gereja adalah sebagai pewarta Sabda Allah yang hidup.[6] Dalam diri Yesus Kristus tampak secara nyata dan konkret sikap manusiawi. Penampakan Yesus sebagai manusia merupakan sebuah kepenuhan seluruh pewahyuan Sabda Allah. Kendati Sabda tersebut menjelmakan diri dalam sejarah dan tidak bisa tinggal dalam sejarah semua orang, maka harus mempertahankan Sabda itu dalam bentuk yang lain yakni, melalui pewartaan.

Baca juga :  Proyek Rekayasa Manusia

Dalam konteks ini, Yesus Kristus sebagai Sabda sejati yang hadir di dalam sejarah manusia sebagai penyelamat. Dengan ini, Yesus Kristus menghendaki Gereja sebagai persekutuan umat Allah untuk mengemban tugas pewartaan tersebut. Hal ini bermuara pada Sabda baru yang tidak tinggal dalam zaman tertentu, tetapi hidup dalam setiap zaman. Alhasil bentuk Sabda baru itu adalah Gereja dan Sabda Allah menciptakan Gereja itu sendiri.[7] Pada hakikatnya, Gereja sebagai jawaban atas panggilan Yesus Kristus. Dengan demikian, Gereja seluruhnya merupakan pewartaan dan kesaksian tentang Yesus Kristus, Sabda dan Wyu Allah.

Pada tataran tertentu, ada beberapa bentuk pewartaan Sabda Allah dalam Gereja, yakni:

  • Pewartaan para rasul sebagai daya yang membangun Gereja
  • Sabda Allah dalam Kitab Suci sebagai kesaksian normatif
  • Sabda Allah dalam pewartaan aktual Gereja sepanjang zaman.

Secara empiris-historis Gereja dibangun oleh persekutuan umat beriman melalui Roh Kudus. Mereka menerima Sabda, lalu meneruskan Sabda itu dalam pewartaan sebagai bagian asasi karya pendirian Gereja. Pewartaan para rasul mengalami proses transformasi ke dalam pewartaan Gereja. Proses tersebut bersamaan dengan suatu proses krusial, yakni Sabda Allah yang menjadi Kitab Suci.[8]

Alhasil, pewartaan tersebut harus diaktualisasikan oleh Gereja seturut perkembangan zaman. Gereja harus berani untuk mewartakan kerajaan Allah melalui tindakan konkret sebagai upaya untuk menghadirkan diri Yesus Kristus di tengah realitas keberagaman.

Pada koridor tertentu mereka yang terpanggil untuk menolong sesamanya, mendapatkan misi dari Allah untuk menghadirkan 3V yakni via, vita dan veritas (jalan, hidup, dan kebenaran) bagi semua orang.[9] Seorang pewarta berarti menjadi man of God yang selalu membawa kabar sukacita Injil dan mewartakannya dengan suara lantang kenabian.

Tugas pewarta tidak hanya dilakukan oleh hierarki Gereja tetapi semua umat Allah. Semua umat Allah dipanggil untuk melaksanakan tugas pewartaan dan kesaksian iman akan Yesus Kristus sebagai penyelamat dunia. Umat Allah sebagai representasi dari Gereja itu sendiri di tengah situasi dilematis dunia. pewartaan menjadi prasyarat yang mutlak bagi Gereja dalam ziarah panggilannya di dunia ini.

Pewartaan Gereja Sebelum Pandemi

Gereja mempunyai peran yang sangat urgen dalam melaksanakan tugas pewartaan. Tugas pewartaan perlu penyesuaian dengan pergulatan yang sedang terjadi. Gereja perlu menilik dan memperhatikan secara komprehensif situasi atau konteks tertentu. Hal ini sebagai upaya agar aktualisasi cara atau model pewartaan tidak bermuara pada realitas kontradiktif. Dengan ini, Gereja perlu terbuka terhadap realitas demi terwujudnya kesinambungan dan pembaruan tugas pewartaan dalam konteks tertentu.

Sebagaimana yang termaktub dalam Ajaran Sosial Gereja, “Gereja tidak menutup dirinya atau mengundurkan dirinya namun selalu terbuka, menjangkau ke luar dan berpaling kepada manusia, yang tujuan akhirnya berupa keselamatan menjadi alasan keberadaan manusia”.[10]

Gereja yang berada di tengah dunia harus menyesuaikan dirinya dengan konteks yang melingkupi pergulatan hidup manusia. Orientasi utama tugas perutusan Gereja adalah manusia beserta lingkup eksistensialnya dan historis kehidupanya. Jadi, harus ada penyesuaian pewartaan Gereja dengan situasi manusia, seperti budaya, perubahan zaman dan peradaban manusia.

Dalam konteks sebelum pandemi, pewartaan Gereja biasanya terjadi secara langsung dengan melibatkan partisipasi umat secara komunal. Para imam atau pelayan dapat berinteraksi secara bebas dengan umatnya tanpa adanya halangan tertentu. Selain itu, para iman dapat terlibat dan berinteraksi secara langsung dengan kehidupan umatnya. Hal ini sebagai upaya agar orientasi pewartaan dapat terealisasi secara efektif serta dapat menyentuh secara langsung kehidupan umatnya. 

Pengembangan model pewartaan sebelum pandemi cenderung terjadi secara manual tanpa menggunakan alternatif yang lain. Pada waktu itu, belum masif penggunaan teknologi sebagai sarana pewartaan kabar gembira. Semua umat Gereja Katolik masih kurang berminat untuk menggunakan teknologi sebagai sarana pewartaan. Dengan dalih bahwa pewartaan secara daring tidak proporsional dan sekaligus mereduksi pewartaan itu pada simulasi semata. Dengan demikian, pewartaan secara manual paling dominan terjadi pada masa sebelum pandemi. Setiap umat dapat melakukan aktivitas seperti biasanya, seperti merayakan perayaan Ekaristis secara bersama di gereja, berkumpul dalam kegiatan rohani dan lain-lain.

Pewartaan Masa Pandemi

Pewartaan gereja secara tanggap dan niscaya membutuhkan penyesuaian dengan berbagai situasi zaman. Hal ini menandai kehidupan manusia yang selalu bertransformasi seturut peredaran waktu. Realitas pandemi Covid-19 menjadi sebuah momentum refleksi bagi Gereja dalam mengarahkan tugas pewartaannya di tengah dunia. Pandemi ini menjadi titik balik bagi Gereja dalam merancang model pewartaan yang efektif.

Baca juga :  Musik Liturgi, Musik Rohani dan Musik Profan

Ada begitu banyak aktivitas di Gereja terbatas jangkauannya dan pelayanan umat pun terhenti. Namun, kebutuhan umat akan harapan tentang Kabar Gembira sangat besar di tengah pandemi. Umat semakin mengalami berbagai tekanan dan timbul kecemasan dalam menghadapi covid-19. Dalam konteks ini, peran Gereja sangat krusial dan esensial sebagai harapan terakhir. Gereja berperan untuk membantu umatnya dari berbagai kecemasan dan ketakutan umatnya di tengah pandemi. Dengan demikian, semua umat Allah mengharapkan agar Gereja menemukan model baru pewartaannya di tengah pandemi.

Gereja sebagai persekutuan umat Allah mengharapkan adanya akomodasi praktik pewartaan seturut konteks aktual. Pandemi menjadi momentum krusial bagi Gereja dalam merintis dan memprakarsai model pewartaan Gereja. Gereja perlu membaca dan merefleksi dalam kacamata iman, agar mampu melihat situasi pandemi menjadi bagian dari tanda-tanda zaman.[11]

Di sisi lain Gereja berhadapan dengan arus perkembangan teknologi yang sangat pesat dan masif. Harapannya Gereja mampu mengaplikasikan teknologi secara efektif. Pada kesempatan ini, Gereja dapat menggunakan teknologi sebagai mediasi pewartaan dengan umat yang lain. Gereja dapat menyalurkan inspirasi Injil kepada semua orang melalui wadah teknologi, khususnya teknologi komunikasi.

Selama masa pandemi, Gereja sudah mengimplementasikan penggunaan teknologi sebagai sarana pewartaan secara masif. Pewartaan secara daring selama pandemi terejawantahkan dalam misa secara daring, katakese daring, ada juga keterlibatan Gereja dengan internet. Di Indoensia, kehadiran Gereja di internet, antara lain melalui mirifikannews, Iman katolik dibawah KWI, clarettanur.org dan ClaretPath.com.[12] Pewartaan Gereja yang terintegrasi dalam media digital menjadi cikal bakal dalam mewartakan Kabar Gembira bagi semua orang secara khusus di masa pandemi.

Kendati demikian, pewartaan Gereja melalui teknologi perlu terealisasi secara komprehensif. Hal ini sebagai upaya agar substansi pewartaan Gereja tidak direduksi pada tataran visual belaka. Gereja perlu terlibat secara langsung dalam tugas pewartaan.

Ada begitu banyak karya pewartaan Gereja selama pandemi yang sudah ditorehkan seperti memberi bantuan karitatif bagi mereka yang terkonfirmasi positif Covid-19 dan menggalakan kerja sama dalam mengatasi sekaligus memutus rantai penyebaran Covid-19. Partisipasi Gereja mencirikan Gereja yang peka dan simpati terhadap realitas pandemi ini.

Hal ini mengindikasikan pandemi sebagai momentum bagi Gereja untuk mengubah tolok ukur keberhasilannya dari kehadiran (attendance) dan bangunan fisik (building) menjadi kapasitas pengutusan (send) jemaat sebagai pewarta di tengah dunia.[13] Gereja perlu memperlengkapi jemaat untuk menjadi utusan misi Allah di dalam pekerjaan, keluarga, lingkungan dan bahkan dunia digital. Harapannya setiap anggota Gereja mampu mengintegrasikan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan secara proporsional demi melaksanakan tugas pewartaan secara baik. 

Pewartaan Gereja Post-Pandemi

Bagaimana model pewartaan gereja di era post-pandemic? Pertanyaan ini menjadi rujukan yang krusial bagi Gereja dalam merancang model pewartaan di era post-pandemi.

Sebagaimana tampak dalam uraian di atas, pandemi Covid-19 sebagai momentum transformasi dalam ranah kehidupan manusia. Pandemi ini turut membangun kesadaran manusia bahwa manusia mempunyai keterbatasan, apabila berhadapan dengan sebuah perubahan yang spontan dengan intensitas waktu yang singkat. Hal ini mengakomodasi rasa takut dan kecemasan manusia. Manusia menjadi cemas dan takut akan segala hal yang terjadi di masa depan.

Di sisi lain, manusia tidak dapat memprediksi segala kemungkinan masa depan secara benar. Manusia perlu merencanakan masa depan dengan persiapan pada saat sekarang. Alasannya, persoalan sekarang menjadi parameter untuk mengakomodasi masa depan. Gereja perlu terbuka terhadap segala kemungkinan yang akan terjadi saat ini sembari mengkritiknya dengan berlandas pada substansi pewartaannya.

Pandemi menjadi rujukan yang krusial dalam merekonstruksi paradigma maupun tindakan untuk era post-pandemi. Post-pandemi menjadi sebuah realitas yang baru bagi pewartaan Gereja. Realitas pasca pandemi merupakan situasi dan keadaan yang sedang berlangsung saat ini. Lantas realitas post-pandemi turut mempengaruhi model pewartaan Gereja. Gereja perlu membangun model pewartaan gereja secara baik yang menyesuaikan dirinya dengan realitas post-pandemi.

Pasca pandemi memunculkan berbagai perubahan dalam ranah kehidupan manusia. Sebagaimana yang diafirmasi oleh Zizek dalam Stepanus Ammai Bungaram bahwa satu-satunya peluang menghadapi kekacauan ini adalah membangun kehidupan di atas puing-puing sisa pandemi.[14] Pandemi telah memaksa manusia bereaksi secara kreatif dalam membentuk tatanan kehidupan baru di masa pasca-pandemi. Dengan ini, kehidupan manusia merujuk pada suatu gerak maju.

Bahwasanya pasca–pandemi manusia perlu beradaptasi secara dinamis dengan realitas yang baru ini. Ada tuntutan bagi manusia untuk bergerak maju dalam mengakomodasi tindakan dan paradigma di era post pandemi. Hal ini menjadi rujukan bagi Gereja untuk menata kembali pelayanan gereja.

Delio mengatakan, “Hal  esensial  yang  perlu  diingat dan  dikaji ulang  bagi  pelayanan  pasca-pandemi  adalah tujuan eksistensi Gereja, yaitu melakukan pelayanan kepada Allah melalui ibadah, pelayanan kepada sesama melalui pembinaan dan penggembalaan,  serta pelayanan  kepada dunia melalui pewartaan Injil dan kesaksian sosial”.[15]

Baca juga :  Permainan Bahasa Butuh Logika

Pelayanan ibadah atau perayaan ekaristi menjadi sentral dalam tugas pewartaan. Setelah  adanya model pelayanan daring selama pandemi, Gereja perlu memikirkan strategi mengenai  pertemuan-pertemuan  yang terlaksana baik secara fisik luring maupun secara digital daring di era post-pandemi.

Selain itu dalam tugas pewartaan, Gereja perlu membina para penggembala agar menjadi seorang penggembala yang profesional. Penggembala yang profesional harus mampu bersikap dinamis, akomodatif dan kreatif dalam menghadapi berbagai tantangan sekaligus dapat menemukan praktik pelayanan yang baik di era post pandemi.

Pada koridor tertentu tindakan praksi gereja sangatlah krusial.  Gereja jangan hanya bertumpu pada aksi kontemplatif semata. Tugas pewartaannya harus membuatnya terlibat secara langsung dalam kehidupan umatnya.

Menurut Delio, pemaknaan akan Kristus harus bergerak dari altar Gereja ke altar dunia. [16] Gereja perlu mengikuti teladan Yesus yang selalu terlibat secara langsung dalam kehidupan sosial manusia. Dengan ini, Gereja perlu memperhatikan kebutuhan real dari umatnya. Berbagai hal tersebut menjadi agenda yang krusial dalam tugas pewartaan gereja di masa post-pandemi.

Epilog

Pandemi covid-19 telah mempengaruhi ranah kehidupan manusia seperti pendidikan, ekonomi, politik, dan sosial. Segala aspek tersebut bertransformasi menuju sebuah realitas new normal. New normal tampak sebagai situasi perubahan dalam jangka waktu yang relatif singkat. Secara aktual, new normal terjadi berupa pembatasan aktivitas yang berpotensi tatap muka dan beralih kembali pada interaksi secara digital. Realitas ini bermuara pada fenomena culture shock (gegar budaya) yang tampak dalam rasa takut dan cemas terhadap fakta pandemi covid-19. 

Pada tataran tertentu covid-19 turut menciptakan sebuah perubahan baru dalam kehidupan manusia. Hal ini berkaitan dengan realitas post-pandemi yang menjadi sebuah momentum dalam mengakomodasi tatanan kehidupan baru. Pada era post-pandemi, diprediksi bahwa segala aktivitas manusia terintegrasi dengan sarana digital atau teknologi. Selain itu post-pandemi turut mempengaruhi kebijakan ilmiah, khususnya penemuan obat atau vaksin dan meningkatnya kesadaran masyarakat komunal terkait dengan kesehatan.

Pada koridor yang lain pandemi Covid-19 turut mempengaruhi model pewartaan gereja. Fakta demikian terjadi pasca penyebaran Covid-19 secara global bahwa terdapat pembatasan aktivitas gereja. Hal ini yang mendorong Gereja untuk beralih pada model pewartaan yang berkolaborasi dengan dunia digital atau media komunikasi. Teknologi dapat dijadikan sebagai sarana pewartaan gereja. Penggunaan teknologi atau media komunikasi dilihat sebagai model pewartaan yang efektif dan profesional di era post-pandemi.


Ket: tulisan ini pernah publikasi di penaclaret.com, kini publikasi ulang di ClaretPath.com setelah mendapat beberapa revisi.

Referensi:

[1] Rangga Kala Mahaswa dan Putu Pradnya Linggar Dharmayasa, “Reflecting Ecological Awareness In Post-Pandemic World: A Philosophical Review”, Jurnal Masyarakat dan Budaya, 23:1 (Yogyakarta, Maret 2021) hlm. 59.

[2] D’Souza et.la. “Examination Of Cultural Shock, Intercultural Sensitivity And Willingness To Adapt”, Education and Training Journal, 4:2 (2016), hlm. 906

[3] Leach, Macgregor and A. Wilkinson, “Post-pandemic Transformation: How And Why Covid-19 Requires Us To Rethink Development”, World Development,  https://doi.org/10.1016/j.world-dev.2020.105233. Diakse 3 Oktober 2021.

[4] Jason Schenker, Masa Depan Dunia Setelah Covid-19: Perubahan, Tantangan Di Berbagai Sektor Kehidupan Pasca Pandemic, Penerj. Yanto mustafa(Jakarta: PT. Pustaka Alvabet, 2020), hlm. 2.

[5] Ibid. hlm. 176.

[6] Konferensi Waligereja Indonesia, Imam Katolik (Jakarta: Penerbit Kanisius dalam Kerja Sama dengan Penerbit Obor, 1996), hlm. 382.

[7] Ibid., hlm. 383.

[8] Ibid., hlm. 384.

[9] Kanisius Komsiah Dadi, (ed), Menjadi Pewarta Kabar Baik di Tengah Perbedaan (Jakarta: Penerbit Obor, 2019), hlm. 51.

[10] Gereja Katolik, Kompendium Ajaran Sosial Gereja, Penerj. Yosef M. Florisan, Paul Budi Kleden dan Otto G. Madung (Maumere: Penerbit Ledalero, 2013), hlm. 59.

[11] Yosef Agut, OFM., “Bagaimana Pastoral Gereja Pasca Pandemi Covid-19?” Katolik News https://katoliknews.com/2020/05/22/bagaimana-pastoral-gereja-pasca-covid-19. Diakses 5 Oktober 2021.

[12] “Webinar Magister Ilmu Komunikasi; Media Digital dan Agama di Masa Pandemi”” UAJY. https://pasca.uajy.ac.id/webinar-magister-ilmu-komunikasi-media-digital-dan-agama-di-masa-pandemi. Diakses 6 Oktober 2021.

[13] Michael Teng dan Carmia Margaret, “Sketsa Pelayanan Gereja Sebelum, selama dan sesudah pandemic covid-19”  Jurnal Teologi dan Pelayanan, 19:2 (Malang, Desember 2020), hlm. 211.

[14] Stepanus Ammai Bungaram, “Evolusi, Kepergian, Dan Spiritualitas: Memahami Realitas Pandemic Dan Pasca-Pandemi Berdasarkan Pemikiran Ilia Delio”, Epigraphe, Jurnal Teologi Dan Pelayanan Kristiani, 1:5 (Jakarta: Mei 2021), hlm. 5.

[15] Ibid., hlm. 11.

[16] Ibid.,hlm. 12.