“Seorang Misionaris Apostolik harus memiliki hati dan lidah yang berkobar-kobar dengan api cinta kasih” (Aut. 440).
Claretpath.com– Bagaimana cinta itu mencintai? Konsep cinta atau mencintai sudah menjadi hal lumrah yang selalu dibicarakan dalam kehidupan bersama. Dalam tradisi Yunani klasik ada tiga jenis cinta : pertama, Eros – adalah cinta yang berbasis pada ego. Cinta pada taraf ini diarahkan pada orang lain, tapi bias cinta ini selalu mengerucut pada kepuasaan diri. Kedua, philia – cinta sebagai rasa persahabatan. Cinta yang berakar dari-untuk-dalam sebuah relasi antara manusia. ketiga, agape – cinta dalam wujud yang paling tinggi. Cinta yang memberi tanpa mengharapkan imbalan, mencintai secara total, bahkan sampai pada taraf mencintai sampai tersakiti atau melupakan diri sendiri.
Pembabakan tiga taraf cinta itu mendorong seorang psikolog ternama Sigmund Freud mencoba mendefenisikan cinta seturut perspektif yang ia bangun atas muatan psikoanalisis yang menjadi mega konsepnya. Bagi dia, cinta dipahami sebagai fenomena instingtual dan dorongan libidinal ke arah objek cinta. Freud menyentil secuil pemahaman cinta sebagai sebuah perlindungan terhadap penyakit. Ia katakan, kita harus mulai mencintai agar kita tidak jatuh sakit, dan harus jatuh sakit, jika sebagai akibat frustasi bahwasannya kita tidak dapat mencintai (Semium: 2010, 74).
Cinta eros dan phila pada hakikatnya mudah dialami atau diidentifikasi oleh manusia pada umumnya. Ketika, orang mencintai sesuatu atau sesorang hanya demi kepuasan diri, maka orang tersebut terjerembab dalam “lubang” cinta agape. Demikian pun ekspresi dari perhatian atau pun kasih sayang antara seorang sahabat, ayah kepada anak atau sesama sahabat karib mengekspresikan kenyataan dari keberadaan cinta philia.
Jikalau dua taraf cinta yakni eros dan philia sangat mudah dijumpai dalam kenyataan hidup harian manusia, bagaimana dengan kenyataan atas cinta agape? Apakah juga mudah ditemukan dalam realitas yang ada? Menurut St. Teresa dari Kalkuta “cinta itu menyakitkan. Cinta senantiasa mengajak kita untuk menanggalkan diri sendiri, memberikan diri kepada yang lain. Karena itu, Agar benar-benar nyata, cinta menuntut pengorbanan, harus terluka, demi cinta seseorang harus mengosongkan dirinya sendiri. Jika tidak sampai pada pengalaman terluka, tidak pernah ada cinta sejati pada diri kita.”
Defenisi cinta yang diberikan oleh st. Teresa dari Kalkuta sudah dipahami, bahwa model cinta yang demikian menggambarkan kenyataan cinta sebagai agape. Tentu saja, defenisi demikian datang dari kedalaman refleksi dan pengalaman yang dimiliki oleh sang santa di abad 21 ini. Apakah jauh sebelum itu, banyak orang kudus sudah pernah mendefenisikan bahkan menhidupkan kenyataan sebuah bentuk ekspresi dari cinta agape?
St. Antonius Maria Claret termasuk salah satu orang yang berhasil mewujudkan cinta itu. Cinta yang ia hidupi adalah mencintai Allah, Yesus Kristus, Maria Tersuci dan sesama. Hal itu, diabadikannya dalam autobiografi nomor 448 tentang cinta akan sesama yang menghanguskannya: “O sesamaku! Saya mencintai dan menghargaimu karena seribu satu alasan. Saya mencintaimu karena Allah memerintahkan, karena Ia mencintai engkau, karena menciptakan engkau menurut citra-Nya dan untuk hidup di surga, karena engkau telah ditebus oleh darah Yesus Kristus. Karena segala sesuatu dilakukan dan diderita oleh Yesus Kristus untukmu, dan untuk membuktikan cintaku kepadamu, raga ini akan saya relakan untuk menanggung semua derita dan kerja, bahkan kematian jika perlu demi engkau.” Tentu saja, semua yang dilihat ini adalah kata-kata atau tulisan belaka, tapi tindakan mendahuluinya. Itulah yang dibuat oleh St. Antonius Maria Claret. Apakah dengan membaca kutipan doa tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa Claret itu cinta yang mencintai?
Seorang Misionaris Claretian harus menghidupi selalu semangat bapa pendiri. Meskipun api cinta kasih tidak terlalu bernyala besar, tapi percayalah bahwa hangatnya pasti dirasakan oleh orang lain, sehingga dengan sendirinya orang akan dekatkan diri pada Sabda hidup Allah yang meluap dari lidah-lidah yang berkobar-kobar dengan cinta kasih itu. Sebab Sabda Ilahi menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan, dan Sabda Ilahi Yesus Kristus memulihkan segalanya. Dan semuanya karena cinta yang menyatukan, serta pelayanan seorang misionaris juga harus memiliki hati dan lidah yang berkobar-kobar dengan cinta Ilahi, dengan demikian ia akan “menyatukan” manusia dengan Allah. Cinta membakar seperti api yang tak terpadamkan, Jika hendak mematikannya, maka jangan pernah mencintai. Claret menjadi salah satu contoh bagaimana cinta itu mencintai.
ClaretPath.Com adalah ruang pengembangan bakat menulis dan media kerasulan, terinspirasi dari Santo Antonius Maria Claret, Pelindung Pers Katolik.