ClaretPath.com – Karisma dan Spiritualitas Claretian di Tengah Fenomena Intoleransi Agama dalam Dimensi Multikulturalisme Indonesia
A. Pendahuluan
Indonesia sebagai suatu bangsa yang majemuk sejak dahulu dikenal karena identitasnya yang multikultural, bersandar pada asas “Bhineka Tunggal Ika”. Kemajemukannya ini dilihat dari bagaimana bangsa ini dibangun dari berbagai rumpun suku bangsa, ras, bahasa, adat istiadat, agama, dan budaya. Masyarakat Indonesia adalah sebuah masyarakat yang berdasarkan “ideologi” Pancasila yang dibangun di atas fakta pluralitas dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”, yang melandasi corak struktur masyarakat heterogen Indonesia pada tingkat nasional dan lokal. Multikulturalisme Indonesia juga disebabkan oleh heterogenitas anggotanya yang terus-menerus menyuguhkan suatu pluralitas nilai. Pluralitas nilai ini kemudian menyajikan sebuah penjelasan tentang struktur aktual dari jagat norma.[1] Hal ini tampak dalam sistem pemerintahan berasas desentralisasi. Setiap daerah mempunyai wewenang mengatur dan mengembangkan daerahnya dengan sumber daya yang dimiliki.
Masyarakat Indonesia yang majemuk mengedepankan pluralisme nilai sebagai acuan norma dalam kehidupan. Adanya berbagai kegiatan dan pranata khusus di dalam setiap kultur sebagai sumber nilai yang memungkinkan terpeliharanya kondisi kemapanan dalam kehidupan masyarakat pendukungnya. Setiap masyarakat pendukung kebudayaan (culture bearers) cenderung menjadikan kebudayaannya sebagai kerangka acuan bagi perikehidupannya yang sekaligus untuk mengukuhkan jati diri sebagai kebersamaan yang berciri khas.[2] Sehingga perbedaan antar kebudayaan, justru bermanfaat dalam mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut.
Secara konseptual multikulturalisme sesungguhnya tidak identik dengan konsep keberagaman atau keanekaragaman. Konsep multikulturalisme selain mengandung unsur keberagaman agama dan budaya juga mengandung unsur kesedarajatan. Konsep kesedarajatan harus dipandang sebagai adanya penghargaan terhadap derajat sesama warga negara sekalipun berbeda suku, adat istiadat, bahasa, ras, agama, dan budayanya. Kesederajatan berarti adanya persamaan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia (HAM), keadilan, hukum, politik, dan budaya. Jadi konsep multikulturalisme menunjuk kepada kesederajatan dalam keberagaman.
Dalam pluralisme dan demokrasi, hak untuk berbeda tidak bisa diganggu gugat. Semua orang, siapapun dia dan dari mana asalnya memiliki hak untuk berbeda sebagai hak dasar. Perbedaan atau keberagaman merupakan kekayaan bangsa yang tak ternilai harganya, sebagai potensi yang harus dikembangkan dan dibina. Percampuran kreatif antara pengaruh asing yang tak dapat dibendung di era kontemporer dengan tradisi-tradisi lokal dan inter-lokal membentuk kesadaran kebangsaan Indonesia modern dalam usaha membangun wadah tunggal dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sebaliknya apabila keberagaman ini tidak dimanfaatkan dan dibina secara benar akan berkembang menjadi sesuatu yang menakutkan. Karena itu, pendidikan dan formasi yang berbasis multikulturalisme merupakan suatu keharusan untuk menjunjung kewajiban berintegrasi dalam wajah demokrasi Indonesia.
Keberagaman sebagai identitas demokrasi Indonesia merupakan kekayaan bangsa yang paling dibanggakan, dibangun atas dasar tujuan dan kepentingan bersama, yaitu kemerdekaan Indonesia. Tujuan dan cita-cita kemerdekaan termuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) alinea 4:
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada KeTuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawatan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”[3]
Dewasa ini, identitas keberagaman Indonesia sering dimaknai sebagai perbedaan yang mengarah ke sikap intoleran. Perbedaan tersebut semakin dipertajam maknanya dan sering dimanfaatkan pihak tertentu untuk memenuhi ambisi dan kepentingan pribadi atau golongannya. Banyaknya persoalan yang muncul di tanah air terutama dari aspek sosial, budaya, dan agama disinyalir menunjukan sikap intoleran. Fenomena-fenomena intoleran seperti konflik antar ras, agama, suku, golongan, dan perebutan kekuasaan di berbagai daerah adalah bukti nyata bahwa pemahaman terhadap nilai kebersamaan dan komitmen masih lemah. Dalam tubuh demokrasi Indonesia, kita boleh menyetujui keberadaan nilai dan cara hidup yang berbeda-beda. Namun, persetujuan ini berlaku sejauh tidak merugikan pihak lain.
“Kalau ada suatu cara hidup yang merugikan pihak atau kelompok lain, maka sesuai hukum positif, kekuasaan negara (puissance) harus campur tangan, dan campur tangan itu tetap dalam batas-batas tolerable. Maksudnya, campur tangan negara untuk mengatasi segala tindakan intoleransi hanya berlaku dengan cara-cara yang fair, manusiawi, adil dan baik sesuai hukum.”[4]
Akhir-akhir ini konflik dan fenomena intoleransi mengalami perubahan yang cukup signifikan, bukan semata terjadi karena perbedaan agama, etnik atau budaya, melainkan karena perbedaan ideologi dan kepentingan kelompok tertentu. Salah satu kasus yang sempat ramai diperbincangkan, yakni kritikan aktivis Pusaka bernama Sudarto terhadap dugaan pelarangan ibadah Natal di Nagari, Sikabau, Kabupaten Dharmasraya, Provinsi Sumatra Barat yang menyebabkan ia terjerat hukuman pidana. Terdapat kecenderungan ketidaknyamanan yang dirasakan oleh sebagian masyarakat Sumatra Barat jika hidup berdampingan dengan kelompok non Muslim. Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, Wendra Rona juga menyoroti adanya 31 kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Kabupaten dan kota di Sumatra Barat yang berbau diskriminatif. Tidak heran jika didapati angka 47,7% masyarakat Muslim Sumatra Barat menolak bertetangga dengan non Muslim.
“Menurut survei nasional BPS tahun 2014, 84% masyarakat Sumatra Barat menolak pendirian tempat ibadah bagi umat beragama selain Muslim. Sebanyak 57% masyarakat Sumatra menolak non Muslim beribadah pada kompleks atau perumahan yang mayoritas Muslim,”[5]
Menanggapi kasus serupa, Komnas HAM secara tegas menyatakan perang pada berbagai tindakan intoleransi, diskriminasi, dan radikalisasi yang masih berkembang di berbagai daerah di Indonesia. “Komnas HAM mengajak semua pihak untuk memerangi intoleransi,”[6]
Dalam hegemoni reduksi nilai dan identitas bangsa yang majemuk, misionaris Claretian dalam Delegasi Independen Indonesia—Timor Leste dengan karisma dan spiritualitas pelayan sabda dan jiwa keibuan Bunda Maria berusaha mengintegrasikan identitas budaya Indonesia ke dalam dirinya. Hal ini terkandung dalam praktek spiritualitas Kongregasi. “Dan kita memanfaatkan/mengintegrasikan ke dalam karisma kita semua kekayaan rohani dan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh umat yang kita layani.”[7] Akan tetapi cita-cita ini menjadi pudar karena identitas Bangsa Indonesia yang pluralis.[8] Hal ini menyebabkan kurang dalamnya penghayatan nilai spiritualitas dan karisma Claretian bahkan dalam tubuh anggota delegasi sendiri.
Pemakalah menyadari bahwa pudarnya identitas Bangsa Indonesia oleh pluralitas adalah akibat dari masifnya fenomena intoleransi. Karena itu, di dalam tulisan ini pemakalah akan mengulas persoalan “bagaimana Misionaris Claretian menghadapi fenomena intoleransi di Indonesia?”. Di dalam kerangka ini, tulisan ini akan mengalir di bawah judul “Karisma dan Spiritualitas Claretian di Tengah Fenomena Intoleransi Agama Di Indonesia”.
Penulis membagi tulisan ini ke dalam beberapa bagian. Pertama, penulis melampirkan data fakta pluralitas dan fenomena intoleransi sebagai akibat dari penolakan atas heterogenitas di Indonesia pada bagian pendahuluan. Kedua, penulis memaparkan integrasi misionaris Claretian: para pendengar dan pelayan sabda. Ketiga, penulis menampilkanintegrasi dalam multikulturalisme sebagai identitas demokrasi Indonesia. Keempat, penulis menunjukkan fenomena intoleransi agama di Indonesia: pengabur identitas bangsa. Kelima, penulis menelusuri Claretian melihat fenomena intoleransi dalam wajah kontemporer Indonesia. Keenam, penulis menawarkan solusi yang dikemas dalam bagian penutup.
B. Integrasi Misionaris Claretian: para pendengar dan pelayan Sabda Allah yang toleran
- Karisma dan Spiritualitas “Kita”
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan karisma sebagai keadaan atau bakat yang dihubungkan dengan kemampuan yang luar biasa dalam hal kepemimpinan seseorang untuk membangkitkan pemujaan dan rasa kagum dari masyarakat terhadap dirinya.[9] Akan tetapi, karisma dalam teologi hidup bakti dan Misionaris Claretian dipahami sebagai rahmat atau karunia dari Allah. Karisma adalah karunia dari Allah untuk mengatasi masalah-masalah sosial atau eklesia (gereja). Contoh salah satu karunia yaitu, melayani. Ada dua bentuk karisma yaitu: karisma pribadi dan karisma transmisi atau permanen yang diturunkan sebagai suatu warisan. Contoh karisma pribadi adalah karisma bapak pendiri, St Antonius Maria Claret untuk mengobati dan mampu membaca pikiran seseorang.[10]
Dalam menjalankan karya misinya para Misionaris Claretian dianugerahi sebuah spiritualitas khusus yang diwariskan dari pendirinya, Santo Antonius Maria Claret. Spriritualitas yang dimaksud adalah spiritualitas sebagai Pendengar dan Pelayan Sabda.
“Menerima Sabda yang menjadikan kita murid-murid-Nya (Lk 8:21), mewartakan dan menyaksikannya adalah pusat dari spiritualitas kita, yaitu cara kita mengikuti Kristus, seorang nabi yang penuh kuasa dalam karya dan sabda (Lk 24:19), dengan kuasa Roh Kudus. Roh Bapa dan Putra – begitu juga Roh Bunda kita (Aut. 687) adalah pusat yang mengintegrasikan segala dimensi hidup dan misi kita.”[11]
Sangat jelas rupanya bahwa “spiritualitas adalah cara menghidupi karunia (karisma) dari Roh Kudus. Spiritualiatas kita adalah cordis mariae dan sebagai pelayan sabda kita menggunakan sifat keibuan.”[12] Dalam Deklarasi Kapitel Umum yang terakhir ditegaskan ciri spiritualitas dengan Roh. “Sebagai Putra-putra Hati Maria kita dipanggil untuk menjadi pribadi yang terbuka terhadap Roh, dipimpin oleh-Nya dan selalu taat pada gerakan-gerakan-Nya: orang-orang yang berapi dengan cinta kasih.”[13]
2. Para Pendengar dan Pelayan Sabda Allah yang toleran
Dalam praktek spiritualitasnya, para misionaris Claretian Delegasi Indonesia—Timor Leste ingin hadir lebih dekat, membaur dengan budaya setempat. Hal ini diperlukan untuk mengetahui identitas yang akan lahir di Indonesia kelak dan untuk inkulturasi atau kembali lahirnya Kongregasi yang lebih matang.[14] Cita-cita ini disinyalir dapat memenuhi tugas sebagai pelayan sabda: “kita dipanggil untuk membela dan memupuk kehidupan hingga mencapai kepenuhannya.”[15] Akan tetapi konsekuensi dari wajah demokrasi Indonesia selalu menyajikan polemik dalam wujud fenomena-fenomena intoleransi. Dalam skema “Dunia Dewasa Ini” ada beberapa anggota Claretian yang menyaksikan secara langsung konsekuensi tragis dari terorisme dan perang seperti konflik antar suku, antar agama, konflik politik, sosial, dan ekonomi yang tak teratasi. Hal ini menuntut peran serta Misionaris Claretian sebagai pelayan-pelayan injil kehidupan untuk menyerukan pekikan profetis melawan budaya kekerasan dan mendukung mereka yang bekerja demi nilai-nilai kedamaian dan kehidupan.[16]
Akhir-akhir ini juga masif terlihat bahwa wajah demokrasi Indonesia selalu penuh dengan determinasi agama. Mulai dari urusan politik bahkan hingga urusan apa yang baik dan tidak baik dikonsumsi. Semua aspek mendapat porsinya sendiri. Hal seperti ini sulit dihindarkan karena adanya gap yang sangat luas antara yang mayoritas dan minoritas. Sehubungan dengan itu, semakin meningkat pula masalah-masalah yang berkaitan dengan kurangnya kebebasan beragama, kelompok fanatis, konflik dan ketegangan antar agama, baik yang datang dari tempat itu sendiri maupun yang datang dari luar. Situasi ini membuka peluang bagi para Misionaris Claretian untuk memperkenalkan agama sebagai suatu jalan perdamaian bagi umat manusia sekaligus supaya memperkuat dialog ekumenis dan dialog antar agama.[17]
C. Integrasi dalam multikulturalisme sebagai identitas demokrasi Indonesia
- Hakikat Multikulturalisme
Sejarah multikulturalisme adalah sejarah masyarakat majemuk. Amerika, Canada, Australia adalah sekian negara yang sangat serius mengembangkan konsep dan teori-teori mulikulturalisme dan pendidikan multikultural karena mereka adalah masyarakat imigran dan tidak bisa menutup peluang bagi imigran lain untuk masuk dan bergabung di dalamnya. Akan tetapi, negara-negara tersebut merupakan contoh negara yang berhasil mengembangkan masyarakat multikultur dan mereka dapat membangun identitas kebangsaannya, dengan atau tanpa menghilangkan identitas kultur mereka sebelumnya, atau kultur nenek moyang tanah asalnya. Dalam sejarahnya, menurut Melani Budianta, multikulturalisme diawali dengan teori melting pot yang sering diwacanakan oleh J. Hector seorang imigran asal Normandia.
“Dalam teorinya, Hector menekankan penyatuan budaya dan melecehkan budaya asal, sehingga seluruh imigran Amerika hanya memiliki satu budaya baru, yakni budaya Amerika, walaupun diakui bahwa monokultur mereka itu lebih diwarnai oleh kultur White Angso Saxon Protentant (WASP) sebagai kultur imigran kulit putih berasal Eropa.
Kemudian, ketika komposisi etnik Amerika kian beragam dan budaya mereka kian majemuk, maka teori melting pot kemudian dikritik dan muncul teori baru yang populer dengan nama salad bowl sebagai sebuah teori alternatif yang dipopulerkan oleh Horace Kallen. Berbeda dengan melting pot yang melelehkan budaya asal dalam membangun budaya baru yang dibangun dalam keragaman, teori salad bowl atau teori gado-gado tidak menghilangkan budaya asal, tetapi sebaliknya kultur-kultur lain di luar White Angso Saxon Protentant (WASP) diakomodir dengan baik dan masing-masing memberikan kontribusi untuk membangun budaya Amerika, sebagai sebuah budaya nasional…”[18]
Pada akhirnya interaksi kultural antar berbagai etnik tetap memerlukan ruang gerak yang leluasa sehingga dikembangkan teori cultural pluralism, yang membagi ruang pergerakan budaya menjadi dua, yakni ruang publik untuk seluruh etnik mengartikulasikan budaya politik dan mengekspresikan partisipasi sosial politik mereka. Dalam konteks ini, mereka homogen dalam sebuah tatanan budaya Amerika. Akan tetapi, mereka juga memiliki ruang privat, yang di dalamnya mereka mengekspresikan budaya etnisitasnya secara leluasa.
Dalam teori multikulturalisme, hak untuk berbeda sering ditempatkan sebagai diversitas kultural. Bhiku Parekh mengkategorikan diversitas kulturaldalamtiga aspek berikut.
“Pertama, hak untuk berbeda dalam konteks diversitas subskultural. Kedua, hak untuk berbeda dalam terang diversitas perspektival. Ketiga, hak untuk berbeda dalam pengertian diversitas komunal. Yang pertama merujuk pada sekelompok masyarakat dari budaya yang sama, tetapi dalam kehidupan sehari-hari menghidupi corak dan cara hidup yang berbeda. Perbedaan seperti ini dapat ditemukan dalam kelompok para nelayan, tukang ojek, para gay, lesbian, dan para seniman. Kelompok kedua adalah kelompok orang yang bersifat kritis terhadap segala prinsip atau nilai dari suatu kebudayaan serta berusaha untuk memperlihatkan misi tranformatif di dalam sikap kritis itu. Kelompok gender dan gerakan green peace dapat mewakili diversitas perspektival ini. Kelompok terakhir biasanya ditemukan dalam komunitas-komunitas yang sudah mapan, terorganisir dan hidup sesuai keyakinan dan kepercayaan mereka yang sudah fixed. Mereka memiliki doktrin komprehensif yang tidak boleh dibongkar. Kelompok agama dan etnis masuk dalam kategori ini.”[19]
Semua kategori Bhiku Parekh ini ditemukan dalam situasi masyarakat Indonesia.
2. Multikulturalisme Indonesia
Masyarakat demokrasi Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang sangat kompleks. Setiap suku bangsa di Indonesia yang jumlahnya mencapai ratusan bahkan ribuan mempunyai kekayaan pemikiran, sikap, dan perilaku yang tertuang dalam berbagai wujud kebudayaan. Sebagai negara yang multietnik, Indonesia didiami oleh sekitar 1.028 etnik yang menggunakan bahasa lokal atau bahasa daerahnya sendiri-sendiri. Jumlah bahasa daerah mencapai sekitar 652 bahasa daerah.[20]
Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal dengan istilah masyarakat multikultural. Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia merupakan akibat dari kondisi sosio-kultural dan geografis yang begitu beragam dan luas. Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak pulau. Setiap pulau dihuni oleh sekelompok manusia yang membentuk suatu masyarakat. Yang mencolok dari ciri kemajemukan masyarakat Indonesia adalah penekanan pada pentingnya kesukubangsaan yang terwujud dalam bentuk komunitas-komunitas suku bangsa, dan digunakannya kesukubangsaan sebagai acuan utama bagi jati diri. Dari masyarakat tersebut terbentuklah sebuah kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri.
Dalam konsep multikulturalisme Indonesia, terdapat kaitan yang erat bagi pembentukan masyarakat yang berlandaskan Bhineka Tunggal Ika dan mewujudkan suatu identitas nasional yang menjadi pemersatu bagi bangsa Indonesia. Model masyarakat multikultural ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi “Kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”.[21] Dalam model masyarakat multikultural, sebuah masyarakat dilihat sebagai mempunyai kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut, yang coraknya seperti sebuah mozaik. Di dalam mozaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar.
3. Integrasi Menyeluruh dalam Demokrasi Komunikatif
Dengan pertimbangan konteks hak untuk berbeda dalam demokrasi ditekankan kembali kewajiban untuk berintegrasi. Dalam dimensi ini tidak diharapkan sikap radikal atau sikap ekstrem. Hak untuk berbeda tidak perlu menjadi ekstrem seperti dalam bentuk separatisme. Sebaliknya, kewajiban untuk berintegrasi tidak perlu jatuh ke dalam homogenisasi yang menghilangkan identitas dan diferensiasi setiap kelompok. Hak untuk berbeda tidak boleh mengingkari kewajiban untuk berintegrasi. Demikian pula, kewajiban untuk berintegrasi hendaknya tidak menghapus hak-hak asasi untuk tetap berbeda.
Indonesia yang mencita-citakan masyarakat demokrasi yang tertata dengan baik (well-ordered society) perlu memperhatikan keseimbangan antara tuntutan hak dan kewajiban politik praktek. Di sini dibutuhkan nilai dan tuntutan keadilan dalam terang politik diferensiasi. Politik diferensiasi bersentuhan dengan relasi-relasi yang melampaui waktu dan jarak.[22] Relasi-relasi ini melampaui perbedaan, keterasingan, keberlainan, bersentuhan dengan yang minoritas, yang marginal, yang bukan kita, bukan kami, dan lain-lain. Singkatnya diferensiasi berkaitan menyentuh kompleksitas ruang kehidupan yang majemuk: ruang kerja, ruang pasar, ruang komersial, ruang agama, ruang budaya, ruang publik, termasuk ruang privat yang berbeda-beda.
Dalam konteks demokrasi dan politik diferensiasi, kompleksitas ruang kehidupan mengemukakan diri dalam komunitas politik. Irish Marion Young membuat proposal tentang komunitas politik yang berbasis bukan pada demokrasi deliberatif, melainkan demokrasi komunikatif. Bagi Young demokrasi komunikatif adalah demokrasi yang dialogal karena ia lebih menyentuh misi politik untuk mengatasi persoalan-persoalan kolektif.
Demokrasi komunikatif menjadi unggul karena terbuka pada komunikasi dari persperktif diversitas kultural. Perspektif ini tidak terbatas pada konsep, argumen dan proposisi-proposisi yang konvensional-deliberatif.
“Demokrasi komunikatif bersentuhan dengan sapaan (greeting) dalam ruang kehidupan, kesanggupan berkomunikasi (rhetoric) yang selalu tersituasi (situatedness of communication), misalnya kesanggupan pembicara untuk mengungkapkan diri dengan baik, kapasitas pendengar untuk menerima dengan hati serta kesempatan pembicara untuk saling menerima dan memahami perbedaan itu.”[23]
Semua kesanggupan ini berjalan seperti halnya semua narasi tentang dimensi multikulturalisme berjalan secara komunitatif dan demokratis.
D. Fenomena intoleransi agama di Indonesia: pengabur identitas bangsa
1. Kebebasan Beragama di Indonesia
Kebebasan beragama sebagai bagian dari wajah demokrasi Indonesia adalah salah satu hak asasi walaupun pada saat bersamaan paling sering menuai bentrokan. Sebenarnya sudah jelas: setiap orang berhak untuk hidup, beriman, dan beribadat menurut apa yang diyakininya sebagai kehendak Allah. “Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadah menurut agamanya.”[24] Di dalam praktiknya “negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.”[25] Karena itu, dalam agama tidak boleh ada paksaan. Akan tetapi, bagi pihak-pihak tertentu hal ini berat. Bagi mereka, daripada menghormati Tuhan yang mereka akui, yang mengizinkan sekian banyak agama dan kepercayaan dianut dengan tulus oleh sekian orang, orang-orang yang tidak bisa toleran sudah tertunduk oleh suatu etika palsu partai politik.[26]
Tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan nyata dalam konstitusi dan hukum nasional Indonesia, antara lain:
- “UUD 1945, pasal 29: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu.
- UUD 1945, pasal 28I, ayat 4: Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
- UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, pasal 71: Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak-hak asasi manusia yang diatur dalam UU ini, peraturan-perundangan lain, dan hukum internasional tentang HAM yang diterima oleh Negara Republik Indonesia.
- UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International”[27]
Dalam beberapa tahun terakhir ini, ditemukan fakta-fakta dan peristiwa kekerasan yang terjadi berhubungan dengan agama. Hal ini dilihat sebagai dampak determinasi agama yang begitu kuat di hampir semua rana kehidupan: politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Makna berhubungan dengan agama adalah bahwa kekerasan yang terjadi bisa saja menimpa kelompok-kelompok agama, menggunakan argumen pembelaan agama sebagai alat justifikasi, atau dalil penghinaan terhadap agama sebagai pemicu terjadinya sebuah kekerasan.[28] Satu dekade kehidupan keagamaan Indonesia juga mencatat berbagai konflik dan kekerasan yang dipicu oleh perbedaan agama: di Poso, Ambon, Ketapang, dan Maluku Utara. Sekalipun agama hanya digunakan sebagai cover konflik kepentingan yang sesungguhnya, di permukaan yang muncul adalah konflik antar anak bangsa yang berbeda agama. Terdapat banyak teori dan penjelasan ihwal konflik dan kekerasan berbasis agama ini, tetapi yang pasti kekerasan telah terjadi dan perbedaan agama plus toleransi yang minimum telah terbukti menjadi pemantik efektif bagi terjadinya konflik dengan kekerasan.
2. Toleransi: melawan apa yang tidak dapat ditoleril
Kata “Toleransi” berasal dari Bahasa Belanda yaitu “Tolerante” yang kata kerjanya adalah “Toleran”. Kata “Toleransi” juga berasal dari Bahasa Inggris yaitu “Tolerance” yang berarti membiarkan. Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, toleransi berarti bersikap atau bersifat menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan dan lain-lain) yang berbeda atau bertentangan dengan pendiriannya. Pada intinya, toleransi berarti bersifat atau bersikap menghargai.[29]
Jika ada penerimaan bahwa pengakuan hak untuk berbeda dan tuntutan kewajiban untuk berintegrasi sebagai prakondisi untuk pluralisme dan demokrasi, perlu adanya pertimbangan pentingnya nilai toleransi. Kita tidak dapat mengakui perbedaan dan menuntut integrasi dengan mengabaikan toleransi. Kita dapat mencari atau bahkan menemukan toleransi ketika kita sungguh menyadari perbedaan- perbedaan.
Dalam perjalanan sejarah, ada satu hal yang tidak dapat ditenggang (intolerable), yakni intoleransi. Walaupun situasi politik selalu belum kondusif, agama-agama sering berbenturan satu dengan lain, perang antar etnis, nilai-nilai seperti penghargaan, penerimaan, dan penghormatan atas perbedaan-perbedaan selalu lebih kuat dari intoleransi. Hal serupa muncul dalam dimensi demokrasi Indonesia.
Dalam diskursus tentang tolerance, intoleransi, dan intolerable, Paul Ricoeur berbicara tentang hubungan ketiga hal ini dalam lingkup institusional (negara dan agama), lingkup kebudayaan dan dalam aspek religius-teologis. Ricoeur melihat toleransi sebagai salah suatu bentuk asketisme karena toleransi berhubungan dengan pengekangan diri. Dalam domain institusional, negara tidak boleh mencampuri segala urusan agama. Begitu pula agama tidak boleh memaksakan segala doktrin komprehensifnya ke dalam situasi yang beragam. Masing-masing pihak diharapkan mengekang kekuasaannya serta menenggang segala hal yang perlu untuk kebaikan bersama.[30]
2. Fenomena intoleransi agama di Indonesia
Zaman kontemporer ditandai dengan berbagai gelagat baru. Karena itu, zaman ini sering disebut “post” atau “pasca”. Peradaban yang berkembang menjadikan dunia semakin kecil, sehingga semua orang bisa saling berinteraksi. Sekarang orang bisa berelasi secara lebih transparan karena benteng etnis dan budaya runtuh. Pluralisme menjadi semakin luas dan tajam menantang refleksi.[31]
Di sisi lain, dalam perkembangannya dunia mengalami cacat dalam bentuk bentrokan-bentrokan yang ditimbulkan oleh proses globalisasi. Secara sekilas, bentrokan- bentrokan itu hanya ditimbulkan oleh konflik kepentingan seperti dibidang politik, sosial, dan ekonomi.[32] Namun Hans Kung dalam The Ethic of World Religions and Human Right mengatakan “Without peace between religion there will be no peace beetween nations.”[33] Sehingga dalam fenomena yang terjadi di zaman kontemporer sebagian besar terletak pada perbedaan-perbedaan dasar tentang realitas pluralisme religius.
Pernyataan Hans Kung ingin menunjukan pluralisme religius juga sebagai salah satu penyebab masalah. Masalah ini bisa disimak dalam fenomena Pilkada Jakarta yang dimulai pada akhir tahun 2016 lalu. Instrumentalisasi agama dalam politik mengakibatkan tuduhan penistaan agama kepada kandidat non-muslim yang menjadi viral di dunia maya. Tuduhan dengan kepastian hukum Pavlov segera memicu sentimen kolektif yang mengerahkan masa besar-besaran dan beruntun bernama “Aksi Bela Islam” menekan pemerintah untuk menggiring Gubernur Jakarta ke pengadilan.[34] Ada juga intimidasi untuk tidak mendoakan jenazah mereka yang memilih kandidat non-muslim dan bahkan tersiar ujaran kebencian terhadap minoritas ras dan agama dilengkapi dengan dengung horror neraka di tempat-tempat ibadat.[35]
Arus globalisasi yang sudah menggerogoti setiap lini kehidupan ini tidak dimanfaatkan untuk membangun dialog antar agama secara lebih transparan, tetapi digunakan sebagai ajang untuk menampilkan atraksi spektakuler intoleransi terhadap sesama agama. Kehidupan agama sangat sensitif untuk diganggu karena sudah dibumbui dengan fenomena post-truth dan juga digerakan oleh kepentingan-kepentingan kekuasaan dari sebagian orang yang menginstrumentalisasikan agama untuk kepentingan-kepentingan itu.[36] Ada juga para massa radikalisme agama yang seolah-olah menganggap diri benar, tetapi sebenarnya mereka salah mempersepsi yang ditampilkan oleh agama mereka. Sehingga, dalam praktiknya mereka bisa terjerumus dalam atraksi spektakuler intoleransi dan bahkan berujung pada aksi terorisme.
Kondisi agama di era kontemporer yang hidup saling berdampingan dianggap sebagai problem dalam mencapai bonum commune. Suara teriakan agama minoritas tidak didengar, tetapi bagi agama mayoritas akan selalu diperhatikan. Bahkan, setiap kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan ajaran agama mayoritas akan diperhatikan untuk direvisi ulang oleh pihak pemerintah. Instrumentalisasi agama dalam perpolitikan akan selalu menimbulkan masalah karena secara historis pluralisme sudah dialami oleh setiap tradisi religius, bahkan sejak kemunculannya.[37] Setiap tradisi religius umumnya muncul dalam lingkungan pluralistik dan membentuk diri dalam menanggapi pluralisme.[38] Sehingga pluralisme adalah fakta yang memang sudah ada dan telah dihidupi dalam tradisi- tradisi religius. Karena itu, intoleransi akan hadir dan tampil di depan publik, jika tidak ada penerimaan akan pluralisme yang hidup dalam realitas.
E. Claretian melihat fenomena intoleransi dalam wajah kontemporer Indonesia
Dalam hidup kerasulan Misionaris Claretian karisma bapa pendiri harus dipahami pertama-tama adalah karisma pribadi yang merupakan rahmat dari Tuhan bagi dirinya sendiri. Setelah menyadari hal itu, pemahaman selanjutnya adalah karisma transmisi. Karisma inilah yang diwariskan turun-temurun untuk suatu misi jangka panjang. Hal ini menjadikan karisma Claret dinamis. Wajah dinamisnya ingin menunjukkan bahwa karisma itu terus diperbarui sesuai konteks zaman para penerusnya hidup dan berkarya. Namun kita harus ingat bahwa proses pendalaman karisma Claret berbeda-beda untuk setiap pribadi. Tujuan pencapaian bisa sama, tetapi jalan yang ditempuh bisa berbeda. Harus disadari bahwa dalam suatu komunitas ada banyak budaya yang membentuknya. Sejalan dengan karisma umum kita sebagai pelayan sabda, kita harus memperhatikan hal ini. “Kebudayaan merupakan hasil hidup dari kegiatan sekelompok orang yang pada akhirnya turut dibentuk oleh kebudayaan itu sendiri.”[39] Karena itu, pewartaan Injil seharusnya turut memperhatikan unsur kebudayaan yang melekat untuk sebagian kelompok. Di sinilah, diperlukan proses inkulturasi positif.
Pada abad 21, manusia telah berkembang dalam banyak hal khususnya di bidang intelektual. Namun, sayangnya hal itu dibarengi sikap apatis pada penderitaan kaum miskin yang tertindas akibat pembangunan yang tidak merata. Tantangan berat bagi misionaris Claretian adalah berempati pada penderitaan dunia. Sejalan dengan pikiran Gereja, kesedihan dan kegelisahan abad ini, terutama yang terjadi pada orang miskin dan tersiksa adalah suka cita dan harapan, kesedihan dan kegelisahan para pengikut Kristus.[40]
Selain kemiskinan hal yang terus menjadi ‘PR’ besar adalah soal kehidupan beragama. Indonesia identik dengan pluralisme baik dalam segi budaya, adat istiadat, agama, dan lain-lain. Namun, kepentingan kelompok sering mencederai perbedaan ini. Isu agama selalu saja menjadi trending topik. Agama-agama pasti mempunyai tata cara dan tujuan yang berbeda.
Hal serupa pun terjadi ketika agama-agama masuk ke ruang publik. Kelompok-kelompok agama harus berupaya menerjemahkan bahasa teologis mereka yang dianggap partikular dalam masyarakat majemuk ke dalam ungkapan-ungkapan yang dapat diterima oleh publik.[41] Hal ini merupakan sebuah tantangan karena agama itu sendiri harus merelatifkan posisi mereka di hadapan agama lain tanpa merelatifkan inti dogmatis agamanya sendiri. Di sinilah letak ketidakmampuan agama-agama tertentu. Pihak yang tidak mampu berintegrasi dengan yang lain jatuh pada sikap fanatisme dan mengklaim kebenaran absolut miliknya dan kelompok sesaat.
Kesulitan lain adalah lewat modernisasi, jumlah kelompok sekular dalam warga Indonesia menunggak. Cakupan kelompok ini luas, mulai dari aktivis kritis dan cendekiawan yang dengan sadar memilih nilai sekular hingga orang-orang yang beragama tetapi pragmatis, dan bahkan ignoran terhadap agama.[42]
Hal inilah yang patut disadari oleh Claretian. Kehadiran agama mau tidak mau harus sampai pada ranah publik, harus mampu menyesuaikan kepentingan orang-orang tanpa menanggalkan karisma profetik Claret. Selain itu, perang yang lebih besar juga terjadi di dalam tubuh agama sendiri yang menyatakan dirinya beragama, tetapi sikap yang ditimbulkan sudah masuk ke dalam arus modernisme negatif.
F. Penutup
Identitas demokrasi Indonesia yang majemuk dalam ikatan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” akhir-akhir ini digugat oleh fenomena intoleransi yang ekstrem, khususnya pada aspek religius. Hal ini disebabkan oleh sikap apatis terhadap penerimaan segala bentuk diversitas kultural dan penghayatan komunikatif akan kebenaran dalam cahaya karitas.
Dewasa ini, Misionaris Claretian dalam misinya di bumi Indonesia dihadapkan pada persoalan integrasi ke dalam identitas bangsa Indonesia yang majemuk. Sebagai para pelayan sabda, cita-cita kita untuk membela dan memupuk kehidupan hingga mencapai kepenuhannya ditantang oleh berbagai fenomena intoleransi yang ekstrem. Namun dalam praktek spiritualitasnya, para Misionaris Claretian diajak untuk keluar menyerukan seruan profetisnya melawan budaya kekerasan dan mendukung mereka yang bekerja demi nilai-nilai kedamaian dan kehidupan. Di saat bersamaan pula, para Misionaris Claretian diajak memperkuat dialog ekumenis dan dialog antar agama.
[1] William A. Galston, “Pluralisme Nilai”, Yosef Maria Florisan (penerj.), dalam Felix Baghi (ed.), Pluralisme, Demokrasi dan Toleransi, Maumere: Penerbit Ledalero, 2012, 54.
[2] Nur Berlian V. A. & Mursalim (ed.), Pendidikan Multikultural Berbasis Kearifan Lokal, Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015, 3.
[3] Pembukaan UUD 1945 alinea 4
[4] Felix Baghi (ed.), Pluralisme, Demokrasi dan Toleransi, 41.
[5] Wendra Rona, dalam “Komnas HAM Ajak Semua Pihak Perangi Intoleransi”, https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2020/2/17/1322/komnas-ham-ajak-semua-pihak-perangi-intoleransi.html, diakses pada Rabu, 18 Maret 2020 pukul 20:10 WITA.
[6] Komisioner Komnas HAM RI M. Choirul Anam dalam“Komnas HAM Ajak Semua Pihak Perangi Intoleransi”, https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2020/2/17/1322/komnas-ham-ajak-semua-pihak-perangi-intoleransi.html, diakses pada Rabu, 18 Maret 2020 pukul 20:10 WITA
[7] Misionaris Claretian, Dokumen Kapitel Umum XXI: Servants of the Word, no. 13. 2. (selanjutnya disingkat SW diikuti dengan no.)
[8] P. Francisco Jose Baeza Roca, CMF, dalam wawancara pada Kamis, 12 maret 2020 pukul 15:10 WITA.
[9] https://kbbi.web.id/karisma, diakses pada Selasa 17 Maret 2020 pukul 14:20 WITA.
[10] P. Francisco Jose Baeza Roca, CMF, dalam wawancara pada Kamis, 12 maret 2020 pukul 15:10 WITA.
[11] SW no 13.
[12] P. Francisco Jose Baeza Roca, CMF, dalam wawancara pada Kamis, 12 maret 2020 pukul 15:10 WITA.
[13] Misionaris Claretian, Dokumen Kapitel Umum XXV: Missionarii Sumus, no. 39. (selanjutnya disingkat MS diikuti dengan no.)
[14] P. Francisco Jose Baeza Roca, CMF, dalam wawancara pada Kamis, 12 maret 2020 pukul 15:10 WITA.
[15] Misionaris Claretian, Dokumen Kapitel Umum XXIV: Men on Fire with Love, no. 2a. (selanjutnya disiDngkat MFL diikuti dengan no.)
[16] MFL no. 2a.
[17] MFL no. 2b.
[18] Dede Rosyada, “Pendidikan Multikultural di Indonesia: Sebuah Pandangan Konsepsional”, dalam Jurnal Sosio Didaktika: Vol. 1, No. 1 Mei 2014.
[19] Bhiku Parekh, Rethinking Multicultralism, Keberagama Budaya dan Teori Politik, terj. C.B. Bambang Kuku Adi, Yogyakarta: Kanisius, 2008, 16-17.
[20] Sensus Bandan Pusat Statistik (BPS), dalam https://www.Indonesia.go.id/profil/suku-bangsa, diakses pada Minggu, 15 Maret 2020 pukul 11:00 WITA.
[21] Pembukaan UUD 1945 Pasal 32
[22] Irish Marion Young, dalam Felix Baghi (ed.), Pluralisme, Demokrasi dan Toleransi, 38.
[23] Felix Baghi (ed.), Pluralisme, Demokrasi dan Toleransi, 38-39.
[24] UUD 1945 pasal 28E ayat 1
[25] UUD 1945 pasal 29 ayat 2
[26] Franz Magnis-Suseno, “Agama, Kebangsaan dan Demokrasi Nurcholish Madjid Dan Kemanusiaan”, dalam Ayu Mellisa & Husni Mubarok (ed.), Agama, Keterbukaan dan Demokrasi: Harapan dan Tantangan, Jakarta: Paramadina, 2015, 12.
[27] Ismail Hasani (ed.), Berpihak dan Bertindak Intoleran: Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara dalam Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia, Jakarta: Publikasi Setara Institute, 2009, 99.
[28] Ismail Hasani (ed.), Berpihak dan Bertindak Intoleran: Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara dalam Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia, 1.
[29] Dwi Winanto Hadi, dkk, Analisis Sikap Toleransi di Indonesia dan Faktor-Faktornya, Jakarta: PDSPK Kemdikbud RI, 2017, 2.
[30] Felix Baghi (ed.), Pluralisme, Demokrasi dan Toleransi, hlm. 38-39.
[31] I. Bambang Sugiharto, dan Agus Rachmat W., Wajah Baru Etika dan Agama, Yogyakarta: Kanisius, 2000, 146
[32] I. Bambang Sugiharto, dan Agus Rachmat W., Wajah Baru Etika dan Agama, 144
[33] I. Bambang Sugiharto, dan Agus Rachmat W., Wajah Baru Etika dan Agama, 144
[34] F. Budi Hardiman, Demokrasi dan Sentimentalitas, Yogyakarta: Kanisius, 2017, 19.
[35] F. Budi Hardiman, Demokrasi dan Sentimentalitas, 19.
[36] F. Budi Hardiman, Demokrasi dan Sentimentalitas, 22.
[37] I. Bambang Sugiharto, dan Agus Rachmat W., Wajah Baru Etika dan Agama, 145
[38] I. Bambang Sugiharto, dan Agus Rachmat W., Wajah Baru Etika dan Agama, 145
[39] P. Hiasintus Ikun, Claretian Indonesia Timor Leste, 196.
[40] Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, art.1, dalam terj. R. Hardawirjana, Dokumen KonsiliVatikan II,Jakarta: Obor, 1993.
[41] F. Budi Hardiman, Demokrasi dan Sentimentalitas, 205.
[42] F. Budi Hardiman, Demokrasi dan Sentimentalitas, 207.
ClaretPath.Com adalah ruang pengembangan bakat menulis dan media kerasulan, terinspirasi dari Santo Antonius Maria Claret, Pelindung Pers Katolik.