Oleh: Aten Dhey, cmf*
Di Malioboro.
Di sudut itu bersama Sang Putri. Gadis pertama penguasa Kraton datang dengan seribu kecantikan. Rambut terurai indah. Mata menatap tajam. Senyum menerjang amarah. Dia sendiri. Tanpa Paduka. Tidak juga bersama Sultan dan abdi-abdi dalem.
Kami saling menatap. Sang Putri terbahak, merintih serta merontah. Seorang pemuda Timor yang muncul dalam mimpi kini hadir di depannya. Dia ingin semuanya menjadi nyata. Sebab dalam mimpi, Sang Putri jatuh ke tangan pemuda berambut keriting itu. Dia dibawa pergi ke Kerajaan Timor. Kerajaan yang hilang termakan sejarah bangsa. Ada dan abadi dalam tutur para sesepuh.
Aku menatap Sang Putri. Kecantikannya sempurna melebihi semua wanita di muka bumi ini. Saat itu aku bertingkah layaknya seorang bayi yang baru belajar merangkak. Diam tanpa kata. Sang Putri tetap berdiri di tempat awal aku melihatnya. Dia tak bergeser seincih pun meski mentari mulai menyambar wajah cantiknya. Aku bingung sekaligus bersyukur Putri Kraton itu menunggu mimpi dalam tidurnya menjadi nyata.
Aku menepuk wajah dan membangunkan kesadaranku yang tenggelam dalam lamunan. Tersadar akan itu, Macario berdiri persis di sampingku. Dia menertawaiku bersama sebatang rokok yang akan habis beberapa tarikan napas.
“Engkau seperti orang gila,” ejeknya sembari duduk di sebuah batu depan dapur kecil di kebun.
Perasaan sadar dan malu mulai menyelimutiku. Aku berkhayal tentang Putri Kraton yang cantik jelita. Semuanya berubah menjadi tak nyata saat aku membuka galeri foto yang dikirim oleh sahabat karibku dari Klaten. Tatan, panggilan akrabnya. Aku ingat persis foto itu dipotret oleh seorang sahabat dari Jerman yang berkunjung ke Candi Borobudur, 2017 silam.
Di Borobudur.
“Jepretan liar pria Jerman ini sungguh luar biasa. Wajah serammu hilang oleh kecantikan Putri Kraton di belakangmu,” bisik Tatan menggunakan bahasa Indonesia agar tidak dimengerti oleh sahabat Jerman tersebut.
“Brother, this is an amazing photo,” kata sahabat Jerman sembari menunjukkan galeri foto.
“Wow! Are you a photografer?” tanyaku penasaran.
“No. I just try to make you happy, Brother,” ungkapnya sambil meninggalkanku mencari spot yang tepat untuk dipotret.
Setelah beberapa menit aku kaget akan hasil jepretannya. Siapakah Putri cantik di belakangku? Sejak tiba di Candi Borobudur aku tidak melihat wanita cantik. Aku melihat sekeliling candi. Tampak patung-patung Buddha duduk di tempatnya masing-masing. Hatiku kacau setelah melihat sebuah patung putri duduk bermeditasi di belakangku.
“Apakah patung ini berubah wujud?” pikirku menduga-duga.
Seketika itu bulu badanku merinding. Aku mendengar panggilan lembut dari balik patung putri tersebut. Ketakutanku semakin luar biasa. Aku menatap sekeliling candi. Tak ada orang selain aku dan patung putri serta patung-patung yang lain.
“Hai Anda putra sial. Kemarilah. Jangan lama-lama berdiri di tempat suci ini,” sebuah suara menyapaku.
Aku kaget dan tak bisa berpikir.
“Datanglah kemari. Tahukah Anda sekarang jam berapa? Aku sudah lapar. Putri Sultan dari Kraton sudah menyediakan makanan untuk kita. Jangan lama-lama. Cepat. Atau, Anda akan kehilangan nafsu makan dan bernafsu untuk sesuatu yang lain,” teriak sahabat Jerman itu sembari membaca terjemahan bahasa Indonesia di handphonenya.
Aku kaget mendengar kata-katanya. Handphone elitnya tidak sepintar yang kubayangkan. Dia bisa mengakses bahasa seluruh dunia tapi tidak memiliki nilai sopan santun.
“Makan bagianku juga. Aku masih punya tenaga untuk setengah hari ke depan,” teriakku sambil melihat kembali patung-patung di sekelilingku.
Rasa penasaran terus membelengguku. Di balik rasa itu, ada keinginan untuk mencari misteri patung Putri Borobudur ini. Aku tak tahu berapa banyak putri yang diabadikan di candi Buddha terbesar di dunia ini. Yang aku tahu ada patung wanita dalam kehidupan yang terukir di setiap bebatuan Candi Borobudur.
Potretan sahabat Jerman tadi terus membuka imajinasi liarku. Aku masih penasaran dengan patung wanita itu. Dia cantik melebihi bidadari dari kayangan yang pernah kubaca dan kulihat gambarnya di majalah anak-anak.
Aku berusaha menenangkan pikiran dengan berjalan mengitari Candi Borobudur. Semua panorama indah belum menggeser rasa penasaran ini. Aku kembali ke patung putri yang setelah seperempat jam mengitari Borobudur.
“Di manakah patung-patung itu?” tanyaku heran.
Di Kupang, Kota Karang.
Semuanya hilang tanpa arah. Aku tak menemukan jejak patung putri pembuat rindu itu. Aku sadar akan kekinianku. Aku bukan lagi berada di Malioboro atau Borobudur. Sebuah batu karang berukuran satu meter persegi berdiri tepat di depanku. Tanganku memegang hamar seberat lima kilogram. Urat tanganku berbentuk dan berotot.
“Mengapa aku menemukan diri ini dalam galeri foto di Kupang? Batu karang dan keadaan alamnya selalu kering kerontang di musim kemarau. Debu beterbangan ditiup angin topan Australia. Aku heran dengan keberadaanku saat ini. Mengapa tanpa menunggu waktu yang panjang aku bisa berada di banyak tempat sekaligus?” protesku dalam hati.
“Apakah karena kamera elit sahabat Jerman itu? Atau, karena kamu terlalu dungu tenggelam dalam imajinasi yang bodoh? Semuanya adalah permainan virtual yang bisa mengerdilkan dunia nyata dalam dunia maya,” nasehat Macario sahabatku yang terus menertawai tingkah bodohku.
Aku sedikit marah pada Marsi. Mengapa harus meremehkan foto dalam galeri? Aku pernah bahagia dalam kenangan yang masih tersimpan di galeriku. Ya, saat itu ketika di Pesantren Salatiga.
Di Salatiga.
Aku menolak pernyataannya, “Engkau keliru saudaraku. Apakah aku harus menyangkal pengalaman jatuh cintaku dengan seorang gadis pesantren? Itulah saat yang paling indah bagiku. Lucu jika aku harus menyangkal pengalaman mencintai gadis pesantren di Salatiga kala itu,” sinisku sambil menertawainya.
Aku mengenal seorang gadis pesantren ketika mengadakan dialog agama-agama. Saat itu tanpa sengaja aku bergabung dengan kelompok mereka. Ketika memasuki ruang diskusi, dia menatapku penuh kasih. Hatiku luluh. Benih-benih cinta mulai mekar. Jilbab merah muda yang dikenakan membungkus kesucian dirinya. Senyumnya menenangkan batinku.
Aku memotret wajahnya yang memesona. Sesekali dia malu ketika melihat aku mengarahkan kamera kepadanya. Aku ingin agar wajahnya memenuhi galeri fotoku. Entah mengapa gadis itu telah menumbuhkan rasa yang tak pernah hilang hingga saat ini. Aku mengabadikan momen berahmat itu karena kameralah yang bisa menyatukan kami.
“Salam kenal, ya. Aku Made.”
Dengan senyum manis dia berpaling ke arahku, “Iya, Mas Made. Salam kenal juga. Aku Puput.”
“Mbak Puput bolehkan kita foto berdua?” pintaku padanya.
“Boleh, Mas Made.”
Momen itu menjadi kenangan indah bersama Puput. Aku menghabis waktu tiga hari di pesantren untuk mengenalnya lebih jauh. Dia masuk pesantren demi memenuhi keinginan orangtuanya. Mereka tidak ingin Puput jatuh dalam pergaulan yang salah. Selain itu, mereka punya harapan agar dia menjadi soleha dalam menghayati kehidupan agamanya. Kelak ketika kembali ke Bantul, dia bisa mengajar pendidikan agama Islam kepada anak-anak di daerahnya.
Kembali ke Kupang.
Lonceng gereja pada jam enam sore membawaku pada dunia nyata. Selain Marsi, tak ada seorang pun yang bekerja. Senja semakin hilang di ufuk barat Kota Kupang. Hamar jatuh menghantam tulang keringku. Aku berteriak kesakitan. Marsi menertawaiku.
“Made, aku baru melihat manusia segila kamu,” teriaknya.
“Tolong bantu aku.”
“Aku melihat perubahan luar biasa dalam dirimu. Semenjak membaca novel kebanggaan orang-orang Spanyol karya Miguel Cervantes, Don Quijote Dari La Mancha, kamu selalu bertingkah aneh. Beberapa hari lalu semua orang menertawaimu karena memukul seekor tokek dengan berteriak, “Enyalah dinosaurus binatang purba yang akan menghancurkan bumi.” Kamu juga pernah berteriak-teriak di kebun ini ketika melihat tumpukan pupuk kompos yang membentuk gunung, “Cepat lari sebentar lagi gunung Merapi Yogyakarta akan meletus,” kisah Marsi sembari menuntunku pulang.
“Apakah selama ini aku bertingkah bodoh seperti yang kamu katakan,” tanyaku mengejar.
Marsi menjawab dengan pasti tentang apa yang selama ini muncul dalam diriku, “Ya, benar sekali. Don Quijote dalam novel itu terobsesi dengan berbagai kesatria yang pernah dibacanya. Dia melihat dirinya sebagai salah satu dari kesatria-kesatria hebat masa lalu. Sebagaimana Don Quijote, kamu terkurung dalam galeri foto masa lalumu. Aku menyarankan kamu untuk tidak terkungkung dalam kisah masa lalu. Aku tahu kamu pernah ke Malioboro, Candi Borobudur, dan Pesantren di Salatiga. Semuanya tersimpan rapi dalam galeri fotomu. Berusahalah untuk tidak hidup dalam dunia angan dan maya. Kita sekarang berada di dunia nyata. Jangan melihat foto itu.”
Tetap di Kupang.
“Made, kita sekarang berada di Kupang. Di musim kemarau yang menyiksa. Semua orang kekurangan air bersih. Angin badai menggugurkan mangga, asam dan jambu monyet sumber penghasilan kita. Semoga sayur dan buah-buahan yang kita tanam di atas karang ini laris di pasar. Pandemi covid-19 mengharuskan kita berada di rumah. Kebun ini adalah rumah kita. Tolong jangan melihat semua galeri fotomu sebagai rumah tempat engkau berekspresi,” ungkap Marsi sembari menuntunku pulang.
Aku melewati malam penuh derita. Ada harap besok aku bangun dalam kesadaran yang lebih nyata. Semoga kakiku menginjak tanah dengan mengejar satu mimpi, yakni bahagia di hari ini. Bahagia tidak dalam dunia imajinasi galeri-galeri fotoku. Namun, selalu berada dalam kesadaran bahwa hidup selalu mendarat bukan mengudara. Bukan pula dalam potongan galeri elit dari handphone ternama melainkan dari namaku sendiri.
Besok. Besok lagi. Di suatu tempat. Di galeri lagi. Entahlah.
ClaretPath.Com adalah ruang pengembangan bakat menulis dan media kerasulan, terinspirasi dari Santo Antonius Maria Claret, Pelindung Pers Katolik.