“Di Timor Ada Sirih-Pinang” || Cerpen

Image by Dok. Penaclaret.com

Pukul 15.30, aku dan Romo Magister berangkat. Butuh waktu sekitar setengah jam untuk tiba di stasi ini. Sepanjang perjalanan aku terus memandang ke luar jendela mobil, ke arah rumah-rumah yang berjejer. Kebanyakan rumah di sini terbuat dari bebak, bahan bangunan yang berasal dari pelepah pohon gewang. Hanya satu-dua rumah yang bertembok. Kulihat beberapa anak bertelanjang dada yang sedang bermain sejenak berhenti dan memandang ke arah kami. Beberapa ibu sedang duduk bercerita di bawah lopo, sebuah bangunan kecil yang ditopang oleh empat tiang kokoh dari kayu bulat dengan atap kerucut dari daun alang-alang. Romo membunyikan klakson ke arah mereka dan di balas dengan lambaian tangan. Pemandangan yang tak akan pernah kujumpai di Jakarta. Saat tiba di stasi Tuakole beberapa umat sudah menunggu. Mereka datang menyambut dan menyalami kami.

Baca juga :  Aleteia

“Romo deng frater duduk tahan dulu, te umat yang lain kepala batu. Kita suruh datang jam 4 nanti dong datang jam lima.” Kata seorang ibu paruh baya sambil tersenyum. 

Aku dan Romo magister duduk di sebuah kursi yang sudah disediakan di halaman depan kapela. Seorang anak dengan oko mama di tangannya datang menghampiri kami. Hampir semua mata umat tertuju padaku. Mereka menyadari bahwa aku bukan “orangnya mereka.” Romo magister telah mengambil bagiannya. Tinggal aku. Kupandangi sekali lagi umat yang berdiri di situ. Mereka tengah mengamatiku sambil berbisik satu sama lain. Aku tahu, isi pembicaraan mereka pasti tentangku. Seperti yang sudah-sudah, ketika oko mama sampai padaku aku menolak. Beberapa umat mulai bereaksi. Mungkin mereka kecewa lagi. Bagaimana tidak? Ini adalah kali ketiga aku mengunjungi stasi ini. Dan aku telah melakukan hal yang sama sebelumnya; menolak untuk makan sirih pinang. Setiap kali aku menolak, kulihat ekspresi yang sama dari mereka. Menatapku tanpa rasa tertarik. 

Baca juga :  Semut, Pergilah

Aku merasa semakin dihakimi oleh tatapan-tatapan itu. Ah, sampai kapan aku harus seperti ini? Aku membatin. Kupandangi Romo magister yang tengah mengunyah sirih pinang. Sejurus kemudian kupandangi oko mama di hadapanku. Kuambil sepotong pinang muda dan sirih. Beberapa umat yang sedari tadi seolah tak tertarik dengan kehadiranku mulai memandang ke arahku. 

Baca juga :  Fragmen Sebuah Minggu Pagi

“Makan sa frater. Tidak apa-apa.” Seorang ibu berkata menyemangatiku.