“Di Timor Ada Sirih-Pinang” || Cerpen

Image by Dok. Penaclaret.com

“Di sini, kamu akan dianggap orang asing kalau masih duduk di ruang tamu. Tidak hanya itu. Kamu masih sebagai “orang lain” dan bukan bagian dari keluarga yang kamu kunjungi, jika saat berkunjung kamu masih masuk ke rumahnya lewat pintu depan. Beginilah kami orang Timor.” Egi menjelaskan sambil tersenyum. Aku hanya mengangguk sambil ikut tersenyum canggung. 

Tak berapa lama kemudian ibu pemilik rumah keluar dengan sebuah benda asing di tangannya, seperti sebuah wadah kecil terbuat dari anyaman daun lontar.

“Namanya Oko Mama. Itu adalah tempat untuk meletakkan sirih dan pinang yang akan diberikan kepada tamu yang berkunjung.” Kata Egi padaku seolah tahu rasa penasaranku. Aku mengangguk lagi. Egi dan kedua temanku yang lain langsung mengambil sirih dan pinang yang disodorkan. Aku hanya diam mematung menyaksikan mereka.

Baca juga :  Aleteia

“Makan sirih-pinang frater.” Ibu tadi menawariku sambil menyodorkan oko mama. Ia tersenyum ramah padaku.

“Tidak usah, bu.” Tolakku halus.

“Makan sedikit sa frater.” Timpal suami si ibu sambil ikut tersenyum.

“Kalau tidak makan, ambil saja. Bawa ke biara.” Sambung Egi.

Aku tetap pada pendirianku. Aku menolak. Ibu dan Bapak yang tadi tersenyum seketika berubah ekspresi wajahnya. Mereka kecewa? Aku pun tak tahu. Aku bukan tidak terima pemberian mereka, tetapi aku merasa agak jijik jika harus mengunyah buah-buah aneh itu. Berbeda denganku, ketiga temanku, suami-istri itu dan anak laki-laki mereka sangat menikmati mengunyah sirih pinang sambil sesekali meludah, bercanda dan tertawa puas. Aku sendirian. Merasa asing di antara mereka. Kepalaku pening. Aku mengharapkan pertunjukkan di hadapanku ini cepat berlalu. Meski demikian, aku menyadari satu hal. Ketika aku menolak makan sirih pinang yang disodorkan ibu tadi, cerita-ceritaku tentang Jakarta menjadi kering bagi mereka. Mereka memandangku dengan tatapan kosong. Tak bergairah mendengarku. 

Baca juga :  Semut, Pergilah

***

Dua bulan berlalu namun aku belum bisa menerima kebiasan orang setempat. Mengunyah sirih-pinang. Saat tengah berkutat dengan pikiranku sendiri, Romo Magister mengetuk pintu kamarku sore itu.

“Rio, siap-siap kita ke Tuakole. Ada undangan misa di sana.” Romo memberitahuku.

“Baik Romo.” Balasku.

Baca juga :  Fragmen Sebuah Minggu Pagi

Tuakole adalah salah satu stasi di paroki Benlutu. Akses ke sana masih jauh dari kata baik. Jalannya berlubang, sebagian bahkan hanya berupa timbunan tanah. Jika musim hujan tiba akan sangat sulit bagi para Romo untuk mengunjungi umat di stasi ini.