Adakah yang lebih indah dari kenyataan bahwa Tuhan mengasihimu setiap hari?

Photo by Kumparan.com

Oleh: Angga Usfal, CMF*

Menyesal karena telah berbuat salah itu baik. Tapi itu tidak cukup, karena penyesalan bisa membawa seseorang pada satu dari dua hal ini: Putus Asa atau Harapan. Yudas Iskariot pernah menyesal karena mengkhianati Yesus. Ia sadar akan kesalahannya lalu memutuskan untuk menggantung diri (Mat. 27:3-5). Petrus juga pernah menyesal karena menyangkal Yesus. Ia sadar akan kesalahannya namun akhirnya memilih untuk membenah diri. Perbedaan mendasar dalam perasaan sesal kedua rasul ini adalah: Petrus percaya pada pengampunan dan kasih Tuhan, sedangkan Yudas tidak. Karena itu seperti dikatakan pemazmur:  “orang percaya dikelilingi dengan kasih setia” (Mzm. 32:10).

Perjalanan saya persis dimulai dari sebuah penyesalan. Saya tahu apa yang ada dan ingin saya tinggalkan di belakang. Saya adalah orang seperti yang diserukan nabi Yesaya: “Kami sekalian seperti seorang najis, dan segala kesalehan kami seperti kain kotor, kami menjadi layu seperti daun, dan lenyap oleh kejahatan” (Yes. 64: 6). Saya lupa seberapa sering menyakiti hati Tuhan, dan untuk semua itu saya berulang kali menerima akibatnya. Pernah berada pada titik paling rendah, menjalani hidup seperti tanpa makna dan sia-sia, adalah buah masam yang harus saya telan. Tapi saya juga ingin memohon seperti nabi Yesaya: “Melihat semua ini Ya Tuhan, masakan Engkau menahan diri, masakan engkau tinggal diam?” (Yes.64:12). Dan Tuhan menjawabnya dengan cara yang tidak pernah saya bayangkan: IA memilih dan memanggil saya.

Baca juga :  Hendaklah Kamu Kaya Dalam Pelayanan Kasih (2 Kor 8:7b)

Masa lalu adalah cermin yang baik untuk mengingatkan betapa saya sebenarnya tidak layak menerima rahmat besar dari Tuhan melalui jalan ini. Seperti anak paling bandel menerima hadiah dari sang ayah, saya pun ingin berteriak: “Ini terlalu besar untuk saya, Ayah. Berikan kepada anak yang lain. Mereka lebih pantas.” Sering saya bertanya: “Apakah Tuhan tidak salah memilih orang?” Markus mengatakan bahwa Yesus memanggil orang-orang yang DIKEHENDAKI-NYA dan mereka DATANG KEPADA-NYA (Mrk. 3:13). Mengapa harus saya yang dikehendaki Tuhan? Ini pertanyaan yang paling sering saya ulangi, dan tidak pernah mendapat jawabannya. Itulah cara Tuhan. “Dia menyingkap hal-hal yang tidak terduga dan yang tersembunyi” (Dan. 2:22). Karena itu, untuk Tuhan yang sudah mengehendaki saya menyertai-Nya, tidak ada pilihan yang lebih baik selain datang pada-Nya.

Ia menyesal lalu pergi juga” adalah gambaran mengenai perasaan dan tindakan seorang anak yang mula-mula menolak perintah sang ayah untuk bekerja di kebun anggur (Mat. 21:28-30). Mengapa sang anak harus menyesal? Jawabannya satu: sang ayah pastilah orang yang sangat dihormati dan dikasihinya. Ketika anak sulung -dalam kisah “perumpamaan anak yang hilang”- menggerutu, ayahnya berkata: “Anakkku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu” (Luk. 15: 31). Jika kisah penyesalan sang anak dilihat dari kacamata kebaikan sang ayah yang menganggap “segala kepunyaannya adalah kepunyaan sang anak”, maka penyesalan itu memiliki makna yang dalam: Belas kasih sang ayah. Rasa sesal dalam diri si anak tidak datang dari permintaan berulang kali ayahnya (akibatnya: jika ia pergi, itu karena keterpaksaan yang dilandasi amarah). Rasa sesal itu muncul dari kesadaran sang anak akan kebaikan yang sudah dia terima dari sang ayah (akibatnya: jika ia pergi, itu karena ketaatan yang dilandasi kasih). Ia sadar bahwa ia sudah dikasihi secara mengagumkan. Karena itu, mengabaikan perintah sang ayah adalah ekspresi tidak tahu malu. Kasih ayah adalah awal dari penyesalan.

Baca juga :  Engkau Telah Memberikan Sukacita Kepadaku

Saya sadar bagaimana Allah mengasihi saya setiap hari. Memang tidak mudah untuk paham seperti apa Ia mengasihi saya terutama karena kasih selalu berdampingan dengan “tanur”. Gagal berkali-kali dan hampir putus asa, Ia datang menuntun saya kembali. Menyakiti-Nya berulang kali tapi Ia tetap menerima dan menunjukkan bahwa kasih lebih besar dari dosa. Ingin pergi jauh-jauh dari-Nya, tapi IA menunjukkan bahwa saya tidak dapat lari dari-Nya (Mzm. 139). Tuhan itu setia: meski tidak diinginkan dan ditolak berulang kali IA tetap datang kepada saya. Bukankah hanya orang yang “tidak tahu malu” yang mau datang meski terus-menerus ditolak? Ya, Tuhan sering “tidak tahu malu” demi dan karena saya yang “tidak punya malu”. Kurang baik apakah Tuhan dengan semua yang sudah dilakukan-Nya?

Baca juga :  Doa: Sarana yang Menghasilkan Buah

Ia menyesal lalu pergi juga”, merupakan pengingat akan apa yang sudah dilakukan Tuhan dalam hidup saya. Akan semua yang sudah Ia berikan meski saya tidak pantas untuk itu. Bila dalam perjalanan saya ingin berlaku tidak setia, kata-kata itu akan menjadi teman yang baik, yang menegur saya, dan menyuruh saya membungkuk dalam-dalam di hadapan Tuhan: “Tuhan, saya menyesal akan apa yang ingin saya lakukan. Saya ingin pergi juga.”

*Misionaris Claretian