Wajah Kristus dalam Korban Nagasaki

Wajah Kristus dalam Korban Nagasaki
Picture is taken from inspirasiindonesia.id

ClaretPath.com – Wajah Kristus dalam Korban Nagasaki

Film Oppenheimer (2023) karya Christopher Nolan berkisah tentang seorang fisikawan jenius yang direkrut pemerintah AS untuk merancang senjata perang mematikan. Dia bersama timnya berhasil menciptakan sebuah senjata peledak maha dasyat yang akhirnya digunakan Amerika untuk menyerang Jepang atas dalil “menghentikan Perang Dunia II”. Bagian awal film dibuka dengan kutipan mitologi Yunani tentang Prometheus yang dihukum Zeus karena mencuri api dan meminjamkannya kepada manusia bernama J. Robert Oppenheimer. Nolan terinspirasi dari buku American Prometheus: The Triumph and Tragedy of J. Robert Oppenheimer karya Kai Bird. Namun, Oppenheimer melihat dirinya bukan sebagai dewa, tetapi sebagai pahlawan tertimpa bencana, enggan berperang tetapi wajib melakukannya. Tidak heran jika kita akan dibawa memasuki penyesalan Oppenheimer karena telah menciptakan dosa besar bernama Little Boy dan Fat Man, dua bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki.

Film Oppenheimer adalah alternatif tambahan, meskipun tidak membenarkan, dilema presiden Harry Truman kala menentukan pilihan menjatuhkan bom atom atas Hirosima dan Nagasaki dengan keyakinan, “saved millions, even tens of millions, of lives”.

Pada musim panas 1945 waktu itu, Truman memiliki tiga pilihan mengakhiri Perang Pasifik tanpa pertumpahan darah. Yang pertama, meningkatkan pengeboman di kota-kota Jepang yang telah menewaskan ratusan ribu orang.  Yang kedua, mencekik Jepang dengan blokade laut dan membuatnya kelaparan hingga menyerah.  Dan yang ketiga, menggunakan senjata atom yang dikembangkan Proyek Manhattan untuk membuat politisi Jepang menyadari bahwa seluruh negara akan hancur jika mereka tidak menyerah.

Truman memilih alternatif ketiga. Dengan melakukan itu, dia menyelamatkan jutaan, bahkan puluhan juta nyawa, orang Amerika dan Jepang. Dilema Truman ini menarik perhatian George Wiegel dalam “Truman’s Terrible Choice, 75 Years Ago”. Melalui peremenungannya, Weigel membela penggunaan bom atom terhadap penduduk Hiroshima dan Nagasaki dan menyatakan bahwa tindakan Truman adalah “pilihan benar”.

Profesor John Keown dan Edward Feser menunjukkan bahwa perspektif Weigel bertentangan langsung dengan ajaran moral Gereja Katolik. Namun, hal yang belum disorot, baik oleh Weigel atau pengkritiknya, adalah bahwa, banyak umat Katolik di AS mendukung tindakannya, yakni menyerang Nagasaki— pusat kekatolikan terpenting di Jepang. Nagasaki di masa lalu merupakan lokasi kemartiran massal. Ini tidak berarti mengubah karakter kekejaman moral yang terjadi. Karena bagaimanapun, bahkan dengan anggapan pembantaian yang disengaja terhadap penduduk Hiroshima dan Nagasaki dapat mempersingkat perang, tindakan tersebut tetaplah pembantaian.

Baca juga :  Politik (Demokrasi) Timbal Balik: Untuk Negara dan Rakyat

Bom atom dimaksudkan menghancurkan seluruh wilayah bersama dengan populasinya dengan tujuan, dalam kata-kata Weigel, “mengejutkan Jepang hingga menyerah”. Penghancuran pusat-pusat populasi sebagai sarana menekan politisi tidak akan dilihat hanya sebagai tindakan militer yang agresif. Penggunaan senjata pemusnah massal terhadap seluruh kota, dengan sekolah dan rumah sakitnya, selalu salah tetapi jika tujuannya adalah teror, kematian warga sipil bukanlah tragedi. Korban tewas adalah bagian dari apa yang membuat senjata itu menakutkan dan kredibel.

Menurut Weigel, Truman bukanlah “monster moral, setara Stalin, Hitler, dan militeris Jepang yang membunuh jutaan orang Cina tak bersalah dalam perang yang dimulai sejak 1937”. Dengan tajuk “a terrible choice”, Weigel bahkan menyiratkan bahwa Truman menunjukkan keberanian moral dengan memutuskan menghancurkan dua kota agar seluruh bangsa tidak binasa.

Filsuf besar Katolik Elizabeth Anscombe mengungkapkan, “Tuan Truman [dianggap] berani karena, dan hanya karena, apa yang dia lakukan sangat buruk”. Namun, menurutnya, bahkan dalam istilahnya, alasan ini tidak masuk akal, “Mengingat keadaan yang tepat … orang yang cukup biasa-biasa saja dapat melakukan hal-hal jahat yang luar biasa”.

Singkatnya, mereka sepakat, Truman mengizinkan penggunaan bom atom dengan berpikir, dengan benar, bahwa hal itu akan menyelamatkan nyawa Amerika dan Jepang dengan mengejutkan Jepang hingga menyerah. Mereka juga sepakat bahwa pilihan Truman adalah pilihan yang buruk, namun seperti yang disebut Sekretaris Perang Henry Stimson, “our least abhorrent choice”. Mengingat pilihan yang tersedia, itu adalah pilihan yang tepat.

Melangkah lebih jauh, dan menempatkan peristiwa ini dalam konteks teologis, kita mungkin harus mempertimbangkan apakah benar menjadikan Truman sendiri sebagai fokus perhatian kita. Bahkan menganggapnya biasa-biasa saja mungkin berarti memberinya terlalu banyak pertimbangan. Signifikansi teologis dari cerita ini terletak di tempat lain.

Dalam menceritakan kejahatan atau pembantaian, sering kali penjahatlah yang dirayakan. Menjadi terkenal adalah menjadi terkenal. Korban, sebaliknya, jika tidak dilupakan, selalu berada di urutan kedua dari kisah monster itu. Dengan cara ini, korban dirugikan dua kali, oleh kejahatan itu sendiri dan oleh penghapusannya dari cerita. Sebaliknya, cerita Injil bukanlah, pertama-tama, cerita tentang Herodes sebagai pembunuh yang tidak bersalah, atau tentang Kayafas sebagai seorang sofis moral, atau Pontius Pilatus dan hati nuraninya yang bermasalah. Fokus cerita bukan pada penguasa dunia tetapi pada korban, anak domba Allah yang menghapus dosa dunia.

Baca juga :  Yesus: Tabib Ulung

Pembacaan umat Kristiani terhadap tragedi mengerikan warga Hiroshima dan Nagasaki seharusnya tidak berfokus pada pribadi Presiden Amerika, tetapi pada orang-orang di kota-kota tersebut. Di sinilah Kristus dapat ditemukan dalam cerita. Ini berlaku untuk semua korban, tetapi dalam konteks Katolik, mungkin lebih mudah untuk melihat dalam konteks Nagasaki, kota para martir.

Fransiskus Xavier tiba di Jepang Barat pada 1540-an dan melakukan perjalanan melalui tempat yang sekarang menjadi prefektur Nagasaki. Misi tersebut berhasil, tetapi ketika Toyotomi Hideyoshi mempersatukan Jepang, dia menjadi curiga terhadap pengaruh asing dan mengeluarkan dekrit yang membatasi praktik kekristenan dan mengusir misionaris dari Jepang. Pada 5 Februari 1597, St. Paul Miki, seorang seminaris Yesuit, dan dua puluh lima rekannya, kebanyakan Fransiskan tingkat ketiga, disalibkan di Nagasaki.

Pada 1630 hampir semua ekspresi kekristenan di depan umum telah dihapuskan dari Jepang. Namun, ketika misionaris Katolik kembali ke Jepang, mereka menemukan di dalam dan sekitar Nagasaki orang Kristen tersembunyi Kakure Kirishitan yang mempertahankan unsur-unsur iman tetap hidup selama tiga setengah abad tanpa imam dan sakramen. Banyak dari mereka kembali ke kelompoknya dan menjadi inti dari komunitas Katolik di Urakami, sebuah daerah di Utara Nagasaki.

Santo Maximilian Kolbe melayani di sana pada 1930-an, sebelum dia kembali ke Polandia dan mati sebagai martir, sebuah detil peristiwa yang digunakan sebagai dasar cerita pendek, “Japan in Warsawa”, oleh novelis Katolik Shusaku Endo. Kolbe memperkirakan bahwa pada zamannya, keluar dari populasi 80 juta, kurang dari 100.000 orang Jepang beragama Katolik dan sebanyak 60.000 berada di Nagasaki.

Ketika Katedral Santa Maria Urakami (浦上天主堂, Urakami Tenshudō) selesai dibangun pada 1925, dia menjadi struktur Kekristenan terbesar tidak hanya di Jepang, tetapi di seluruh wilayah Asia-Pasifik. Sedikit catatan, Katedral Urakami dibangun dengan susah payah oleh keturunan orang-orang Kristen yang teraniaya pada akhir abad ke-19. Di Katedral inilah umat beriman berkumpul pada 9 Agustus 1945, mempersiapkan pesta Santa Maria Asumpta. Pukul 11.00, bom atom kedua, “Fat Man”, diledakkan di atas Urakami yang hanya berjarak 500 meter dari Katedral. Katedral hancur seketika dan mereka yang sedang berdoa terkubur di bawah reruntuhan. Secara total, antara 40.000 dan 80.000 orang tewas di Nagasaki pada hari itu.

Baca juga :  Korupsi dan Kehancuran Rakyat

Setidaknya bagi beberapa orang, iman Katolik membantu mereka menanggung cobaan ini. Seorang dokter Katolik, Nagai Takashi yang selamat menggambarkan Nagasaki sebagai “persembahan bakaran utuh di altar pengorbanan, menebus dosa semua bangsa selama PD II”. Dalam kata-kata Endo, “di tengah belantara nuklir (Nagai) menjaga hatinya dalam ketenangan dan kedamaian, tidak membenci siapa pun atau mengutuk Tuhan.” Katedral Urakami telah dibangun kembali oleh penduduk Nagasaki. Salah satu barang yang tersisa adalah kepala patung kayu Perawan Maria yang setiap tanggal 9 Agustus, kepala yang hangus ini, dibawa dalam prosesi sambil berdoa untuk perdamaian antar bangsa.

Pelajaran dari pembantaian ini dan doa umat di Nagasaki meminta perhatian kita pada kemanusiaan mereka yang menderita. Dalam kata-kata Paus Fransiskus, berbicara di Taman Hiposentrum Bom Atom di Nagasaki, “Salib dan patung Bunda Maria yang rusak ditemukan di Katedral Nagasaki mengingatkan kita sekali lagi akan kengerian tak terkatakan yang diderita secara fisik oleh para korban pengeboman dan keluarga mereka.” Wajah korban selalu merupakan wajah Kristus, dan hal ini berlaku di Hiroshima tidak kurang dari Nagasaki, tetapi mungkin lebih mudah dikenali ketika pembunuhan terjadi di Katedral.

Sumber:

Leonie Caldecott, “Oppenheimer and the Lesson of Fat Man”, Church Life Journal: A Journal of the McGrath Institute for Church Life, 09 Agustus 2023.

David Albert Jones, “Murder in the Cathedral: The Face of Christ in the Victims of Nagasaki”, Church Life Journal, 20 Oktober 2020.

George Weigel, “Truman’s Terrible Choice, 75 Years Ago”, Weekly Column The Catholic Difference, 30 September 2020.