ClaretPath.com – Teologi Publik menjawabi Persoalan Manusia dan Agama (Pluralisme) di Indonesia
Permasalahan teologi publik di Indonesia merupakan isu yang sangat kompleks dan menarik perhatian banyak kalangan. Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim memiliki dinamika yang unik dalam konteks teologi publik. Meskipun negara ini menganut prinsip negara berdasarkan Pancasila, masih terdapat permasalahan yang muncul dalam implementasi teologi publik di Indonesia.
salah satu permasalahan utama teologi publik di Indonesia adalah ketidakharmonisan antara agama-agama. Meskipun Indonesia menganut prinsip Bhineka Tunggal Ika, masih banyak konflik antarumat beragama yang sering kali diwarnai oleh fanatisme dan intoleransi agama. Hal ini terlihat dari seringnya munculnya bentrok di berbagai daerah, baik itu antara agama mayoritas dan minoritas, maupun intra-agama seperti antara Sunni dan Syiah.
permasalahan teologi publik di Indonesia adalah buruknya praktik kebebasan beragama. Meskipun Indonesia diakui sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia termasuk kebebasan beragama, masih terdapat kasus-kasus pelanggaran hak tersebut. Contohnya, penolakan pemberian izin mendirikan rumah ibadah bagi agama-agama minoritas dan penghancuran tempat ibadah yang kerap terjadi. Selain itu, permasalahan teologi publik di Indonesia juga terkait dengan radikalisasi agama. Radikalisme agama telah menjadi ancaman serius bagi keamanan dan kestabilan negara, terutama setelah adanya serangan teroris yang mengguncang beberapa tahun terakhir. Radikalisme agama menciptakan polarisasi dan mengancam kerukunan antarumat beragama di Indonesia.
Selanjutnya, permasalahan teologi publik di Indonesia adalah politisasi agama. Dalam konteks demokrasi, agama sering kali digunakan untuk kepentingan politik. Hal ini terlihat dalam praktik politik identitas yang cenderung mengkotak-kotakan masyarakat berdasarkan agama, memicu sentimen negatif, dan meningkatkan ketegangan di masyarakat.
Terakhir, permasalahan teologi publik di Indonesia juga terkait dengan kurangnya pemahaman dan pendidikan keagamaan yang berkualitas. Pendidikan agama yang hanya bersifat formal dan kurang mendalam sering kali menghasilkan individu yang menjalankan praktik-praktik keagamaan secara formalitas, tanpa memahami esensi dan nilai-nilai agamanya. Hal ini dapat memicu pemahaman yang sempit dan mudah terpengaruh oleh pemahaman-pemahaman sempit dan ekstrem.
Tujuan Penulisan
Persoalan manusia dan agama di Indonesia dalam teologi publik bagi saya memiliki banyak kompleksitas yang perlu dipahami dan dipecahkan. Indonesia adalah negara yang heterogen dalam hal agama, dengan mayoritas masyarakatnya beragama Islam, namun juga terdapat berbagai agama dan kepercayaan lainnya. Di tengah perbedaan ini, muncul pertanyaan tentang bagaimana mengintegrasikan agama dalam kehidupan publik Indonesia.
Teologi publik berusaha mencari pemahaman dan solusi untuk persoalan-persoalan tersebut. Mengintegrasikan agama dalam kehidupan publik berarti menciptakan dialog antara agama-agama dan memperjuangkan keadilan serta kesejahteraan bersama. Hal ini melibatkan pekerjaan bersama dalam memecahkan masalah sosial dan mencari solusi yang adil berdasarkan nilai-nilai agama yang diakui secara bersama. Dalam konteks Indonesia, teologi publik dapat menjadi landasan untuk menciptakan dialog antarumat beragama, serta mengatasi perselisihan dan konflik yang mungkin muncul akibat perbedaan keyakinan. Dalam menghadapi persoalan manusia dan agama di Indonesia, teologi publik dapat menjadi sarana untuk membangun kerukunan antarumat beragama dan menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera secara bersama-sama.
Pembahasan
Teologi publik mengacu pada gagasan bahwa iman dan moralitas adalah bagian integral dari kehidupan publik. Ini mengingatkan umat Katolik untuk melibatkan pandangan iman mereka dalam penilaian dan tindakan mereka dalam hal keadilan sosial, hak asasi manusia, lingkungan hidup, dan pembangunan manusia dalam masyarakat.
Teologi Publik: nilai simbolitas
Dalam lingkup ini, teologi publik Katolik menekankan pentingnya dialog antara Gereja Katolik dan masyarakat untuk meningkatkan pemahaman bersama dan mencari solusi atas masalah-masalah sosial yang kompleks. Nampaknya ini dapat dikaitkan dengan suatu nilai simbolitas.
Nilai simbolitas sendiri hampir mendarah daging dengan teologi publik. Dalam konteks ini, nilai simbloitas merupakan suatu rujukan tertinggi dari teologi publik. Ini dapat dibenarkan, karena salah satu watak dari teologi publik iu sendiri adalah simbol. Ini hampir sama dengan pandangan dari Paul Evdokimov yang secara terperinci ia menjelaskan, bahwa simbol mengikat bersama, membangun jembatan, membangun kembali persekutuan.[1]
Dalam pemahaman akademik, pandangan mengenai teologi publik tidak terlalu terdefinisikan. Acapkali teologi satu ini selalu terarah pada teologi sosial, teologi kontekstual, bahkan masuk dalam rana teologi politik. Dalam buku yang berjudul “A Theology of Engagement”, Ian Markham menjelaskan bahwa teologi publik mengajak gereja untuk menjadi suara yang bermanfaat dalam dunia yang bergejolak ini.[2]
Sebenarnya, Istilah teologi publik selalu memiliki suatu keterkaitan antara dan masyarakat yang kompleks. Keduanya tidak bisa dipisahkan melainkan saling melengkapi, yakni gereja mempunyai peran satu dari banyaknya ruang publik; sedangkan kita sebagai masyarakat harus menampakkan wajah eklesia dari banyaknya ruang-ruang publik yang lain. Arman Riyanto juga menyebut bahwa teologi publik itu ‘teologi keterlibatan’, namun harus tetap berjalan dalam koridor imannya atau lebih di pahami sebagai keberlanjutan tindakan dari imannya. [3]
Gereja dan masyarakat adalah dua entitas yang saling terkait. Gereja, sebagai institusi rohani, memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat. Pertama-tama, gereja adalah komunitas orang percaya yang dipanggil untuk melayani dan menyajikan Tuhan dalam dunia. Gereja bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga tempat di mana anggotanya terlibat dalam pelayanan sosial dan pertumbuhan rohani. Dalam teologi publik, gereja memiliki peran penting dalam mempengaruhi kehidupan masyarakat melalui pesan dan teladan yang diberikan oleh anggotanya.
Kedua, masyarakat adalah lingkungan sosial yang melibatkan berbagai macam individu dan kelompok. Dalam teologi publik, masyarakat dipandang sebagai tempat dimana nilai-nilai agama dan moral dapat diimplementasikan secara luas. Oleh karena itu, gereja dan anggotanya memiliki tanggung jawab untuk membangun komunitas yang adil, mengadvokasi keadilan sosial, dan memperjuangkan kepentingan bersama.
Dengan demikian jelas, bahwa teologi publik selalu terarah dalam rana nilai simbolis. Nilai simbolis[4] di sini berperan sebagai sebuah hal praktis meskipun dilihat dari sikap kualitatif. Tetapi, bukan sampai di sini saja nilai simbolis bagi teologi publik selalu terarah pada nuansa terstruktur berteologi, teologi masa kini.
Pluralisme Indonesia
Negara Indonesia dikenal dengan negara yang memiliki bentuk keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, suku dan komunitas etnis lainya. Tidak lepas dari etnis ini, Indonesia juga dijuluki sebagai negara yang multikulturalisme. Negara multikultural sendiri memiliki pemahaman pemaknaan, di mana masyarakat dalam suatu negara memiliki latar belakang budaya yang ragam bentuk. Dari sini kita mengerti bahwa negara Indonesia merupakan negara yang pluralis.
Di tengah keberagaman seperti ini, saya mencoba menyandingkan sila ketiga Pancasila (persatuan Indonesia) dengan paham politik demokrasi Indonesia. jika dilihat secara bersama tema ‘persatuan bangsa’ saat ini sangat memprihatinkan. Mulai dari kasus politik identitas, hoax serta gerakan OPM, membuat suatu pemahaman demokrasi hilang. Masalah seperti ini rasanya mengundang pilu seluruh masyarakat Indonesia. Raut wajah bumi pertiwi yang indah permai rasanya dikikis oleh suatu prospek korupsi oleh kelompok elit, banyak warga yang kelaparan, terlantar dan sakit akan menatap masalah ini. Cita-cita demokrasi serasa tidak ada arti bagi negara pluralis ini.
Banyaknya pengguna media sungguh dan sangat menunjukkan suatu trend baru, yakni adanya keinginan untuk menyampaikan suatu tindakan atas hak atau bisa dikatakan sebagai pemenuhan kebebasan dalam menyampaikan pendapat. Tak terkecuali aspirasi akan adanya pemilihan presiden 2024, dengan mudahnya orang akan bersarang pada payung politik diseliri tema dan isu masalah sosial khususnya berkaitan dengan pluralis. Pada saat ini, Indonesia adalah negara dengan penduduk yang memiliki beragam suku, agama, bahasa, dan kebudayaan. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu contoh pluralisme yang kaya di dunia. Niali pluralisme di Indonesia melibatkan pengakuan dan penghargaan terhadap keberagaman sebagai aset negara yang harus dijaga dan dikembangkan.
Salah satu contoh nyata dari pluralisme di Indonesia adalah Bhineka Tunggal Ika, yang merupakan moto nasional Indonesia yang berarti “Beda-beda tetapi tetap satu”. Moto ini memperkuat tekad bangsa Indonesia untuk hidup dalam harmoni meskipun memiliki perbedaan suku, agama, dan budaya. Selain itu, Indonesia juga memiliki lembaga-lembaga seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Badan Kerja sama Antar Agama (BKAA) yang bertujuan untuk mempromosikan dialog antara agama serta menghormati keberagaman agama dan keyakinan masyarakat Indonesia. Dengan pluralisme yang kuat, Indonesia dapat menjadi contoh bagi negara lain dalam menghormati keberagaman dan membangun masyarakat yang harmonis.
Indonesia adalah negara yang multikultural dan multireligius. Masyarakat Indonesia memeluk berbagai macam etnis. Setiap etnis memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan dicontohkan pada realitas masing-masing yang diakui oleh negara. Hal ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan kehidupan keberagaman akan persatuan di Indonesia dilandasi oleh prinsip kesetaraan, kebebasan, kerja sama, dan menjaga toleransi serta kedamaian.[5]
Kita harus selalu menghargai keberagaman agama di Indonesia sebagai bagian dari kehidupan budaya Indonesia. Dengan memperkuat pemahaman terhadap pluralisme etnis Indonesia, kita mampu menciptakan harmonisasi antara berbagai suku yang ada di Indonesia. Pluralisme etnis akan menjadi pemicu toleransi kita dalam rangka meningkatkan kemajuan, persatuan, dan kesatuan bangsa Indonesia. Bagi kita sebagai bangsa yang besar, pluralisme etnis Indonesia menjadi warisan yang harus kita junjung tinggi.[6]
Meskipun demikian, Fenomena pluralisme etnis di tengah masyarakat zaman ini sangatlah aktual. Dimulai dari sikap orang dalam menanggapi kepercayaannya yang sangat kompleks sampai pada pengaktualannya. Nampaknya hal semacam ini sudah mulai tertanam di bumi pertiwi ini. Bahkan sosialisasi untuk masuk dalam sekte tertentu pun masih sangat hangat untuk didengarkan. Banyak orang mengklaim, religi atau etnis mereka mereka sudah menjadi yang terfavorit atau bisa dikatakan di luar religi mereka tidak ada yang benar. Persoalan ini sangatlah eksistensialis.
Tetapi kita perlu bertanya, apakah dengan perbedaan yang menonjol ini, Indonesia menjadi satu keluarga yang satu dalam perbedaan? Tidak. Indonesia meskipun memiliki satu modal dasar yang sangat tinggi, yakni Pancasila, tetapi Indonesia konflik mempertahankan masih sangat tinggi. Dimulai dari menunjukkan sebuah dogma keselamatan, sampai dalam permasalahan privasi pun. Sedangkan disisi lain kelompok etnis tertentu ingin menjadikan suatu negara yang memiliki paham dan pola suatu religi tertentu.
Indonesia ( lahirnya Pancasila untuk pluralitas)
Jauh sebelum munculnya fenomena fundamentalis dan radikalis dalam kehidupan berbangsa ini, para pembangun negara republik ini telah mengantisipasi sedapat mungkin. Menyadari diri sebagai realitas pluralitas atau keberagaman di bumi pertiwi ini. Hal ini tergambar jelas juga pada suatu tatanan yang menyejarah, terutama dalam sidang BPUPKI yang melahirkan rumusan Pancasila hingga sampai pada perevisiaan sila pertama ‘kewajiban bagi umat islam untuk menjalankan syariat Islam “ menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa”. Bahkan tindakan merevisi kalimat yang saat ini tercantum dalam piagam Jakarta itu mengakibatkan bentrokan yang serius.[7]
Keyakinan seperti ini lahir dari keyakinan dasar Pancasila dan keyakinan pluralitas yang lepas dari pengaruh ideologi luar seperti komunisme-sosialis. Kita menggali keyakinan kuat pluralitas, khususnya dalam dasar negara sebagai unjuk gigi nilai-nilai luhur yang sudah bergantung sebelum terjadinya negara kesatuan Indonesia.
Keyakinan atas realitas transenden yang terwujud dalam Pancasila yang pertama lahir atas dua alasan mendasar. Pertama, lahir dari keyakinan dasar masyarakat yang percaya akan adanya realitas yang tinggi atau melampaui realitas yang konkret. Realitas semacam inilah yang membuta kita mengenal sebuah wujud keilahian atau dalam agama-agama menyebutnya dengan Tuhan. Kiranya pandangan seperti ini diberlakukan dalam gerak ruang masyarakat Indonesia. Ini semacam sebuah bukti yang menarik untuk menjustifikasi, dengan adanya kenyataan faktual agama-agama pribumi, ritual-ritual, bahkan sampai pada harta warisan yang ditinggalkan sampai saat ini.
Kedua, kata ‘Esa’ yang ditempatkan dalam sila pertama Pancasila merupakan bentuk kesadaran akan realitas masyarakat Indonesia akan realitas yang tertinggi, saya sebutkan di sini sebagai sebuah keberagaman. Persisi di sini keyakinan sudah mulai muncul, bahwa kehidupan manusia di Indonesia diperlihatkan dalam suatu tatanan pluralitas.
Dalam kerajaan majapahit kita akan mengenal kitab situsoma. Kitab inilah yang menggerakan semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’. Bentuk atau nilai yang menarik dalam kitab ini adalah, kita menemukan bentuk toleransi yang menarik. Apa yang menarik? Sebenarnya kitab ini hampir sama dengan suatu sistem pluralisme yang diusung oleh Harold Coward. Pertama, Tuhan dipahami sebagai yang satu, namun dapat terwujud yang banyak; kedua, adanya pengalaman bersama mengenai kualitas pengalaman agama partikular sebagai alat, dan ketiga, spiritualitas dikenal dan diabsahkan melalui pengenaan kriteria sendiri pada setiap agama. [8] Tiga poin ini menekankan sebuah pluralitas agama menurut Coward yang nyatanya mirip denagn Tuhan yang maha esa dalam sila pertama Pancasila.
Saya berpikir demikian, meskipun Indonesia tidak seluas Amerika serikat dan Rusia, Indonesia unggul dalam keberagaman. Bahkan dalam satu pulau dapat ditemukan beberapa tradisi dan bahasa daerah. Kenyataan ini sanggatlah faktual seperti masyarakat yang tidak selalu mengklaim sebuah kebenaran yang absolut bagi institusinya atau budayanya. Apabila demikian, konsekuensinya adalah hegemoni dalam ruang publik yang tidak melahirkan arogansi dan dominasi terhadap kaum minoritas oleh mayoritas. Dengan demikian, kepercayaan akan konflik dan kuterpecahkan menjadi sangat rentan.
Kesimpulan (Tawaran)
Titik benarnya teologi publik bagi pluralis Indonesia adalah mempromosikan keragaman dan menghormati perbedaan keyakinan di tengah masyarakat yang serba beragam., Teologi publik yang pluralis bertujuan untuk membangun kesatuan dalam keberagaman. Melalui pendekatan ini, masyarakat Indonesia dapat lebih memahami dan menghargai satu sama lain, serta bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama dalam membangun negara yang berkeadilan dan damai.
Teologi publik yang pluralis juga menekankan inklusivitas dan kesetaraan dalam partisipasi publik. Artinya, setiap individu, terlepas dari latar belakang agama atau budaya, memiliki hak yang sama untuk ikut serta dalam kehidupan publik dan membantu membentuk kebijakan yang berdampak pada kehidupan masyarakat. Dalam teologi publik ini, setiap orang, terlepas dari keyakinan agamanya, dihormati dan diakui kehadirannya sebagai bagian dari kelompok pluralis Indonesia.
Selain itu, teologi publik bagi pluralis Indonesia juga menekankan pentingnya dialog antaragama dan harmoni antarumat beragama. Melalui dialog dan diskusi yang terbuka, masyarakat dapat mengatasi kecenderungan untuk stereotip, prasangka, dan diskriminasi antaragama. Dalam teologi publik ini, kerja sama dengan berbagai kelompok agama dan organisasi masyarakat sipil juga ditekankan untuk menciptakan solidaritas dan saling mendukung dalam mempromosikan perdamaian dan keadilan bagi semua warga Indonesia.
Dalam konteks aktualisasi teologi publik di Indonesia, pendidikan yang benar benar seharusnya tidak sampai pada menghayati atau berpengetahuan tentang adanya pluralitas, tetapi bagaimana mengaktualisasikan pandangan dan pengetahuan itu ke dalam wadah masyarakat supaya nilai sumbangsih bahwa nilai teologi ada di dalamnya. Sebenarnya jika pengetahuan dan nilai pluralitas terus diaktualkan, toleransi dengan suatu pokok dialogis akan menumbuhkan semangat memerangi radikalis dan aneka gerakan yang tidak sesuai dengan nilai humanis Pancasila Indonesia. Perlu ditekankan, nilai pengetahuan humanis ini sebenarnya harus mampu berjumpa langsung dengan pengalaman manusia bahkan menyentuh realitas dan keterbukaan hari untuk saling berdialog. Bagi saya ini merupakan bakat dari teologi publik yang konkret dari sekolah pluralitas yang Pancasila.
Daftar Pustaka
Evdokimov, P. (1966). The Struggle with God (Sister Gertrude, Trans.). Paulist Press.
Markham, I. S. (2020). Public Theology: Toward a Christian Definition. Anglican Theological Review, 102(2), 180. https://doi.org/10.1177/000332862010200202
Riyanto, A. (Ed.). (2021). Teologi Publik: Sayap Metodologi & Praksis. Kanisius.
Abdullah, T. (2009). Islamic pluralism in Indonesia: Challenge and response. In R. S. O’Fahey & B. Radtke (Eds.), Islamic Reform in Twentieth-Century Africa. Edinburgh University Press.
Fealy, G., & White, S. (Eds.). (2008). Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia. Institute of Southeast Asian Studies.
Wibowo, S. (2018). Negara Pancasila Menurut Driyakarya: Melacak Asal-Usul Dan Artinya. In Meluhurkan Kemanusiaan: Kumpulan Esai untuk A. Sudiaeja (pp. 122). Kompas Media.
Irsyad, H., & others. (2018). Pluralisme Agama dalam Kakawin Sutasoma. Statistika: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, 9(2), 9.
Neville, R. C. (2006). On the Scope and Truth of Theology: Theology as Symbolic Engagement. T&T Clark.
[1] Paul Evdokimov, The Struggle with God, trans. Sister Getrude (Glen Rock, NJ: Paulist Press, 1966), 63.
[2] Ian S. Markham, “Public Theology: Toward a Christian Definition,” Anglican Theological Review 102, no. 2 (March 2020): 180, doi:10.1177/000332862010200202
[3] Armando Riyanto, “Pengantar: Apakah Teologi Publik,” in Teologi Publik: Sayap Metodologi & Praksis, ed. Armando Riyanto (Yogyakarta: Kanisius, 2021), x
[4] Saya meminjam konsep teologi sebagai symbolic engagement dari Robert C. Neville, sekalipun saya memanfaatkannya di luar intensi asalinya. Neville mengusulkan sebuah symbolic engagement hypotesis, yaitu bahwa “refleksi atas hal-hal altimat berlangsung lewat simbol-simbol yang melaluinya altimasi (ultimacy) didekati dan karenanya ditafsirkan.” Lihat, Robert C. Neville, On the Scope and Truth of Theology: Theology as Symbolic Engagement (New York: T&T Clark, 2006), 1.
[5] T. Abdullah, Islamic pluralism in Indonesia: Challenge and response. In R. S. O’Fahey & B. Radtke (Eds.), Islamic Reform in Twentieth-Century Africa Edinburgh University Press. (2009). Hal. 22
[6] G. Fealy & S. White, (Eds.). Expressing Islam: Religious life and politics in Indonesia. Institute of Southeast Asian Studies. (2008). Hal.12
[7] Setyo wibowo, Negara Pancasila Menurut Driyakarya: Melacak Asal-Usul Dan Artinya. “Dalam meluhurkan kemanusiaan: Kumpulan esay untuk A Sudiaeja, Jakarta: kompas media (2018), hal. 122
[8] H. Irsyad, dkk, Pluralisme Agama dalam Kakawin Sutasoma. Statistika: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, (2018), hal. 9 (2)
Mahasiswa Filsafat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Pengagum absurditas Albert Camus