Taman Nasional Komodo Tumbal Atas Kekuasaan?

(Telaah Kritis Michel Foucault "Kekuasaan Itu Tersebar dan Produktif)

Taman Nasional Komodo
Gambar: Ilustrasi Taman Nasional Komodo

ClaretPath.com – Ada yang menarik dari berita yang diangkat Surat kabar Harian Pos Kupang pada tanggal 4 Agustus 2022. Pada halaman depan terlihat tulisan dengan judul yang sangat memukau “Formapp Dukung Kenaikan Tarif”. Muncul segelintir pertanyaan gugatan, bukankah mereka ini yang “meneriaki” para pengambil kebijakan kenaikan tarif TNK (Taman Nasional Komodo) pada tanggal 1 Agustus 2022? Apakah “taring” keberpihakan pada masyarakat ataupun pelaku usaha pariswisata kecil hanya kelihatan tajam dalam tiga hari?

Diuraikan bahwa, Rafael selaku ketua Formapp (Forum Masyarakat Peduli Pariwisata Manggarai Barat) dan beberapa aktivis lainnya sempat ditangkap aparat Kepolisian saat aksi mogok hari pertama di 1 Agustus 2022 (Pos Kupang, 4/08/22). Apakah semuanya terselip modus operandi, atau hanya ingin terlihat memukau oleh masyarakat bahwa mereka serasa ataupun seiya sekata dengan yang dirugikan dengan kebijakan ini? Semuanya penuh tanda tanya!

Dengan “berdamainya” Formapp dengan kebijakan pemerintah apakah persoalan TNK selesai? Apakah masyarakat kecil yang dirugikan pulang dengan tertawa karena telah berhasil dirugikan oleh mereka yang memiliki kekuasaan? Ataukah mereka kembali ke rumah dengan tertunduk lesuh, meratapi nasib yang tidak menentu? Sebab, lahan tempat mereka mempertaruhkan hidup, dicuri dengan cara yang seolah-olah elegan oleh para elit dengan antek-anteknya?

Apakah yang menang selalu mereka yang memiliki kekuasaan? Apakah kekuasaan yang mereka miliki merupakan anugerah yang dibawa sejak lahir? Ataukah mereka hanya dipercayakan untuk memiliki kekuasaan, sembari menggunakan kekuasaan untuk membantu mereka yang terpinggirkan. Ataukah kekuasaan mereka membuat yang terpinggir semakin terpinggir, hingga akhrinya tak terlihat lagi?

Pro-kontra Kebijakan

Kebijakan yang diambil oleh pemerintah terkesan terpaksa atau cacat. Feri Hasiman (peneliti di Alpha Research Database) dalam Kompas.com, 3 Agustus 2022 mengatakan alasan dinaikan tarif tiket masuk TNK terkesan mulia. Namun, muncul kecurigaan bahwa kebijakan KLHK dan Pemprov NTT di Pulau Komodo dan Pulau Padar disusupi kepentingan bisnis group-group besar di Jakarta yang berminat dengan perusahan miliki provinsi, PT Flobamora.

Baginya, alasan kenaikan tiket masuk untuk tujuan konservasi hanya efek samping saja, bukan tujuan utama. Buktinya, porsi bagi hasil yang paling besar justru diserahkan ke PT Flobamora dan mitranya. Apakah ini karena kekuasaan?

Baca juga :  Altar Ketamakan Paus Fransiskus

Hal yang sama juga dipersoalkan oleh anggota DPD RI dari Provinsi NTT, Abraham Paul Liyanto. Pemilik Universitas Citra Bangsa itu, mendesak agar pemberlakuan kenaikan tarif masuk TNK yang mulai berlaku 1Agustus 2022 sebaiknya dibatalkan, mengingat dasar hukum kenaikan tarif  belum ada (Pos Kupang 4-08-2022). Baginya kebijakan ini berpotensi digugat bahkan secara sepintas dengan kebijakan yang terkesan telalu cepat ini membawa Pemprov NTT menabrak aturan hukum.

Dengan adanya pro-kontra kebijakan, hal yang sebenarnya hampir dilupakan adalah bagaiamana semuanya itu dipengaruhi oleh kekuasaan. Pemprov dan mereka yang mengambil kebijakan  ini terlihat berani membuat keputusan yang secara nyata tanpa sebuah perda yang jelas atau cacat hukum. Mengapa mereka berani? Karena kekuasaan ada di tangan mereka. Kekuasaan bukan lagi sesuatu yang diluar mereka, yang harus mereka jaga, tetapi mereka merasa merekalah kekuasaan itu. Tanpa payung hukum pun aturan tetap berlaku. Miris! Penjaga atuaran hukum adalah pelanggar aturan hukum. Apakah karena mereka memiliki kekuasaan?

Kekuasaan itu Tersebar dan Produktif

Kekuasaan itu Tersebar dan Produktifadalah salah satu tulisan dari Dr. Haryatmoko dalam bukunya “Membongkar Rezim Kepastian, Pemikiran Kritis Post-Struktualis”. Bagi penulis, dihadapan kasus Taman Nasional Komodo (TNK) ini banyak orang mempersoalkan tentang kenaikan tarif masuknya yang tidak berpihak pada kaum kecil. Namun, bagi penulis, jangan sampai terlewatkan bahwa kebijakan itu ada karena ada yang membuatnya. Mereka yang membuatnya, tidak pernah telepas dari faktisitas kekuasaan yang mereka miliki. Maka, harus dibedah dengan mata pisau kekritisan. Ada apa dibalik semua ini? Apakah kekuasaan mereka akan melahirkan anti-kekuasaan karena kebijakan yang mereka ambil?

Kekuasaan itu memesona. Orang rela menderita demi kekuasaan. Demikan hal sama dengan Michel Foucault, rela menekuni kertas-kertas tua arsip tentang orang gila, seksualitas, penjara, terlibat dalam berbagai gerakan, namun bukan demi kekuasaan, melaikan memahami kekuasaan (Haryatmoko:2016,9). Penting untuk membedah konsep kekuasaan yang digunakan para elit dengan mata pisau kekuasaan perspektif Michel Foucault.

Baca juga :  Hening || Lembar Sastra

Foucault (1926-1984) adalah seorang sejarawan dan filsuf Prancis, lahir di Poitieris, belajar di Ecole Normale Superiure di Paris (Simon Blackburn:2008,337) Ia memiliki minat yang luar biasa ketika berbicara mengenai kekuasaan. Cara Foucault memahami kekuasaan sangat orisinal. Orisinalitas ini terlihat dalam karya-karya, salah satunya Surveiller et punir (1975). Pada akhir buku tersebut, ia mengatakan “kekuasaan yang menormalisir” tidak hanya diajalankan di dalam penjara, tetapi juga beroperasi melalui mekanisme-mekanisme sosial yang dibangun untuk menjamin kesehatan, pengetahuan dan kesejahteraaan (Haryatmoko:2016,9).

Pelaksaan kekuasaan tidak pertama-tama melalui kekerasan atau masalah persetujuan (Hobbes, Locke). Kekuasaan juga bukan represi (Freud, Reich) atau pertarungan kekuatan (Machiavelli, Marx) dan bukan juga fungsi dominasi suatu kelas yang didasarkan pada penguasaan atas ekonomi, atau manipulasi ideologi (Marx). Bagi Foucault, kekuasan bukan hubungan subyektif searah: kemampuan seorang/kelompok untuk memaksakan kehendak kepada orang lain. Kekuasaan merupakan strategi kompleks dalam suatu masyarakat dengan perlengkapan, manuver, teknik, dan mekanisme tertentu.

Kekuasaan Atas TNK!

Direktur WALHI NTT, Umbu Wulang Tanaamahu menilai pemerintah gagal dalam mengurus kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) sebagai World Heritage Site dan Cagar Biosfer Dunia serta Labuan Bajo sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Selama 42 tahun beroperasi, badan TNK gagal menjalankan tiga mandat utama cagar biosfer yakni pertama, pelestarian keanekaragaman hayati atau satwa, kedua, peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat  dengan mekanisme ekonomi ramah lingkungan dan ketiga, berkeadilan dan pemulihan kebudayaan rakyat. (Pos Kupang 4-08-2022). Selama 42 tahun, kekuasaan itu digunakan untuk apa dan bagaimana?

Bagaiamana dengan kekuasaan yang dimiliki para pengambil kebijakan? Apakah kekuasaan itu sudah dijalani dengan baik? Persoalan yang disoroti saat ini adalah bagaimana kenaikan tarif masuk TNK yang terkesan ditunggangi oleh kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. “Mereka” seperti kehilangan wibawa di hadapan pribadi yang memiliki uang. Ataukah pribadi tersebut adalah oknum-oknum yang berkepentingan itu sendiri? Sehingga sulit pencuri menangkap pencuri, karena dia adalah pencuri sekaligus yang berusaha menangkap pencuri. Mustahil menangkap diri sendiri!

Baca juga :  Karl Marx: Agama sebagai Alienasi dan Opium

Di hadapan kebijakan yang tidak responsif terhadap kesejahteraan rakyat kecil yang terpinggirkan, apa yang bisa dibuat? Kebijakan tersebut berpotensi menindas rakyat yang seharusnya kebijakan selalu terorientasi pada mereka yang dilupakan ataupun mengangkat mereka dari keterpurukan hidup.

***

Bagi Foucault, kekuasaan lebih berbentuk sesuatu yang produktif di mana setiap orang turut ambil bagian dan menghasilkan realitas. Kekuasaan itu harus menghasilkan sesuatu yang riil, menghasilkan bidang-bidang obyek dan ritus-ritus kebenaran. Kalau dulu kekusasan dilaksanakan melalui perang, perjuangan, larangan atau melawan larangan. Dewasa ini, kekuasaan terlaksana dalam bentuk manejemen: manejemen energi, kemampuan dan kehidupan masyarakat di mana pengetahuan tidak mungkin diabaikan. Tes wawancara, jajak pendapat, konsultasi merupakan ritus-ritus kebenaran buah-buah kekuasaan.

Dengan cara berpikir Foucault terkait kekuasaan, kita perlu melihat apakah sudah sejalan dengan kekuasaan yang dijalankan oleh mereka yang dipercayakan untuk menjalankan kekuasaan itu. Kekuasaan tidak merupakan hak istimewa yang didapat atau dipertahankan kelas dominan. Nyatanya harus diakui bahwa kekuasaan lebih beroperasi dari pada dimiliki (Haryatmoko:2016, 15). Jika, kekuasaan itu dipahami sebagai hak istimewa dan sesuatu yang dimiliki bukan sebagai yang harus beroperasi, maka potensi menyalahgunakan bahkan menjadi yang lain sebagai tumbal akan sangat besar.

Di hadapan kekuasaan yang dimiliki saat ini, apakah Taman Nasional Komodo ataupun mereka yang dirugikan dari setiap kebijakan yang cacat hukum itu adalah tumbal atas kekuasaan? Kekuasaan melahirkan anti-kekuasaan?

Referensi:

  • Haryatmoko, Membongkar Rezim Kepastian, Pemikiran Kritis Post-Strukturalis, (Yogyakarta:Kanisius, 2016)
  • Simon Blackburn, The Oxford Dictonary of Philosophy, (Oxford: Oxford Universiry Press, 2008)
  • Surat Kabar online Kompas.com 3 Agustus 2022
  • Surat Kabar Harian Pos Kupang 4 Agustus 2022