St. Yustinus Martir: Apolog Kristen Bernuansa Filsafat

St. Yustinus Martir: Apolog Kristen Bernuansa Filsafat
Picture form Mirifica News

ClaretPath.com – St. Yustinus Martir: Apolog Kristen Bernuansa Filsafat

Yustinus Martir  memiliki posisi yang sangat penting dalam kehidupan Gereja, secara khusus dalam memperjuangkan eksistensi filsafat dalam dunia teologi.  Pada masa hidupnya, Gereja sedang mendapat  pergulatan yang luar biasa hebatnya untuk menemukan titik temu  antara kebenaran filsafat dan kebenaran iman Kristiani. Secara pribadi, dia menyetujui pentingnya dunia filsafat dalam merumuskan teologi. Keduanya merupakan sesuatu yang tidak dapat dilepas-pisahkan.

Yustinus lahir sekitar 100 M di Flavia Neapolis (sekarang dikenal dengan nama Nablus) di Samaria. Santo Yustinus dikenal sebagai Yustinus Martir dan Yustinus sang Filsuf. Dia adalah seorang apolog Kristen dan dipandang sebagai penafsir terpenting teori Logos pada abad ke-2. Ia wafat sebagai martir bersama dengan sejumlah muridnya, dan dipandang sebagai seorang santo atau orang kudus oleh Gereja Katolik, Gereja Anglikan, Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Ortodoks Oriental.

Bertambahnya jumlah umat Kristen dan penyebarannya pada masa itu yang semakin bertambah menuntut adanya perumusan ajaran yang bisa diterima oleh siapapun yang mempunyai latar belakang budaya yang berbeda. Untuk perumusan itu muncul sebuah konflik filsafat vs teologi. Ada Bapa Gereja  yang berusaha menggunakan metode dan pola pikir filsafat untuk merumuskan teologi mereka, seperti Klemens dari Aleksandria, Origenes dan Yustinus Martir. Di sisi lain, ada tokoh yang menolak filsafat, seperti Tertullianus (160-222 M). Ia berpendapat bahwa wahyu Ilahi dalam diri Yesus Kristus merupakan puncak dan pokok iman Kristen. Sehingga baginya, filsafat tidak perlu lagi dan dianggap membuang waktu, sia-sia dan bahkan mengancam iman seseorang.

Sementara Yustinus berpendapat bahwa filsafat merupakan sarana untuk membela iman Kristen dan bahkan filsafat sering dipahami sebagai preparatio evengelica (persiapan menuju pemahaman akan kebenaran Injil). Ia sudah mengenal filsafat semenjak belum dibaptis. Sesudah dibaptis ia berhasil menggunakan penalaran filsafat dalam membela iman Kristen.

Yustinus merasa tidak puas dengan pendidikan awalnya, karena gagal memberikan sistem kepercayaan yang menyediakan inspirasi teologis dan metafisika bagi dirinya  yang masih muda dan polos. Kemudian, ia mengatakan pertama mencoba belajar pada sekolah seorang filsuf ajaran Stoa, yang tidak mampu menjelaskan keberadaan Allah kepadanya. Kemudian ia berguru kepada seorang filsuf dari sekolah Paripatetik, tetapi kecewa karena filsuf itu terlalu menginginkan bayarannya. Selanjutnya ia pergi mendengarkan seorang filsuf beraliran Pythagoras yang menuntutnya pertama-tama belajar musik, astronomi, dan geometri, yang tidak dikehendakinya. Lalu ia mengadopsi Platonisme setelah berjumpa dengan seorang pemikir Platonis yang baru pindah ke kotanya. Ia mengatakan bahwa “Dan persepsi mengenai hal-hal non-material sangat menguasaiku, dan penalaran ide-ide memberiku sayap-sayap, sehingga untuk sesaat aku merasa aku telah menjadi bijaksana; begitulah kebodohanku, aku berharap sejak itu untuk mencari Allah, karena inilah akhir dari filsafat Plato.”

Beberapa waktu kemudian, kebetulan ia bertemu seorang pria tua, kemungkinan seorang Kristen Siria, di dekat pantai laut, yang mengajaknya berdialog mengenai Allah dan berbicara mengenai kesaksian para nabi yang lebih dari dapat dipercaya daripada penalaran para filsuf. Yustin menjadi seorang Kristen ketika ia merenungkan tulisan-tulisan Taurat dan membaca Injil serta surat-surat Paulus.  Yustin menemukan bahwa sekarang ia menemukan kebenaran sejati dalam agama Kristen. Oleh karena itu, ia bertobat menjadi Kristen pada tahun 130 M. Sesudah pertobatannya, Yustin mengajar di Efesus. Ia memandang pengajaran Kristen sebagai filsafat, yang nilainya lebih tinggi dari filsafat Yunani.

Baca juga :  Iman yang Mencintai Keberagaman

Yustinus hidup pada masa Kristenan  dalam keadaan yang tidak menguntungkan. Ia sering melihat bahwa banyak orang Kristen yang dihambat dan dianiaya. Oleh karena rasa keprihatinannya, ia membela kekristenan dari serangan yang dilancarkan oleh pemerintah yang tidak beragama Kristen.

Penyebutan tertua mengenai Yustin ditemukan dalam Oratio ad Graecos karya Tatian yang menyebutnya “Yustin yang paling dikagumi”, dan mengutip suatu perkataan Yustin serta mengatakan bahwa orang Cynic bernama Crescens telah menjebaknya. Irenaeus menulis mengenai kemartiran Yustin dan mengenai Tatian sebagai murid Yustin. Irenaeus mengutip tulisan Yustin dua kali dan memperlihatkan pengaruhnya dalam bagian-bagian lain. Tertulianus, dalam karyanya Adversus Valentinianos, menyebut Yustin seorang filsuf dan seorang martir serta antagonis paling awal terhadap ajaran sesat.

Baca juga :  Marilah ke Tempat yang Sunyi

Yustinus memiliki karya yaitu Liber Apoligeticus. Karya Yustinus tersebut mengandung pemikiran Yustinus tentang logika yang dipakai seseorang dalam mengimani sebuah kepercayaan. Oleh sebab itu Yustinus juga disebut sebagai seorang apoligis. Pemikirannya dipakai oleh para apologis dalam membela ajaran Kristen. Pemikirannya yaitu “penegasan bahwa agama Kristen bukanlah agama baru melainkan agama yang lebih tua dari pada filsafat Yunani.” Oleh karenanya, hal yang wajib dipercaya oleh mereka adalah Allah yang Esa bukan para Dewa (banyak Tuhan).

Argumen Yustinus berisi logikanya bahwa segala pemikiran diturunkan kepada orang Yunani adalah Logos yang secara tidak langsung telah diturunkan oleh Nabi Musa. Penguatan argumen Yustinus adalah bahwa Nabi Musa adalah sebab adanya Kristus yang dipercaya Kristen sebagai sumber Logos. Oleh karena itu, siapa pun orangnya (dalam hal ini orang Yunani), ia telah mengandung unsur Kristus (benih Logos) meskipun tidak dibaptis sama sekali. Yustinus pun berargumen bahwa Logos itu sendiri terpisah dari Tuhan dan merupakan turunan dari Tuhan.

Karya tulis Yustinus, The Apologist, ditujukan pada Kaisar Antonius Pius (dalam bahasa Yunani berjudul ‘Apologia’, yaitu suatu kata yang mengacu pada logika yang menjadi dasar kepercayaan seseorang). Ketika Yustinus menjelaskan dan mempertahankan keyakinannya, ia juga menyinggung bahwa penyiksaan yang dilakukan penguasa Romawi terhadap orang-orang Kristen adalah salah. Sebaliknya, mereka seharusnya bergabung dengan orang Kristen untuk menunjukkan kepalsuan sistem penyembahan dewa-dewa.

Tidak hanya itu saja, Yustinus juga memberikan informasi mengenai tata ibadah, Baptisan, dan Perjamuan Kudus dalam gereja pada abad ke 2. Mengenai tata ibadah dikatakan bahwa ibadah dilakukan pada hari Minggu. Hal ini dikarenakan Allah beristirahat pada hari ketujuh. Selain itu, jemaat beribadah pada hari minggu juga karena Kristus bangkit pada hari tersebut. Mengenai praktik baptisan, Yustinus menyatakan bahwa mereka yang dibaptis adalah mereka yang telah percaya kepada pengajaran Kristen dan yang telah berjanji hidup mengikuti ajaran-ajaran tersebut.

Bagi Yustinus, seluruh kebenaran adalah kebenaran Allah. Para filsuf Yunani yang tersohor sedikit banyak telah dilihami Allah, namun mata mereka belum dibukakan bagi keutuhan kebenaran Kristus. Oleh karenanya, Yustinus menyetir pemikiran Yunani dengan bebas dan kemudian menjelaskan kepada mereka bahwa kesempurnaan itulah Kristus. Ia mengutip prinsip Yohanes tentang Kristus sebagai “Logos”, Firman Allah. Allah Bapa adalah kudus adanya dan terpisah dari manusia jahat – tentang hal ini Yustinus setuju denga Plato. Namun melalui Kristus, Logos-Nya, Allah dapat berhubungan dengan manusia. Sebagai Logos Allah, Kristus adalah bagian dari hakikat Allah, meskipun terpisah, seperti api dinyalakan dari api juga (demikianlah pemikiran Yustinus telah menjadi alat bagi kesadaran akan Tritunggal dan Inkarnasi yang berkembang di Gereja). Oleh karena itu, ia juga dikenal sebagai tokoh pertama setelah Yohanes yang mengembangkan gagasan “Kritologi Logos.”

Baca juga :  Penuntun kepada Kebenaran

Yustinus tidak hanya menulis dan menulis, tetapi juga mengadakan perjalanan yang cukup jauh. Dalam perjalanannya ia selalu beragumentasi tentang iman yang diyakininya. Di Efesus, ia tertemu dengan Trypho. Di Roma, ia bertemu Marcion, pemimpin Gnostik. Pada suatu perjalannya ke Roma, ia pernah bersikap tidak ramah terhadap seseorang yang bernama Crescens, seorang Cynic. Ketika Yustinus kembali ke Roma pada tahun 165 M, Crescens mengadukannya kepada penguasa atas tuduhan memfitnah. Yustinus pun ditangkap, disiksa dan akhirnya dipenggal kepalanya bersama-sama enam orang percaya lainnya.

Ia pernah menulis, “Anda dapat membunuh kami, tetapi sesungguhnya tidak dapat mencelakakan kami.” Keyakinan ini ia pegang sampai mati. Dengan demikian ia telah meraih nama yang disandangnya sepanjang masa sebagai Yustinus Martir.

Pada tahun 1882 Paus Leo XIII mengadakan suatu Misa untuk hari peringatannya, yang ditetapkan pada tanggal 14 April, satu hari setelah kematiannya sebagaimana diindikasikan dalam Martyrology of Florus. Namun, karena tanggal ini sering jatuh dalam masa perayaan Paskah, kemudian peringatannya dipindahkan pada tahun 1968 ke tanggal 1 Juni. Oleh karena itu, Gereja sekarang selalu merayakan pestanya tepat pada tanggal 1 Juni setiap tahunnya.