claretPath.com – Seberapa Penting Musik dalam Liturgi Gereja?
Musik merupakan bagian dari seni yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang tidak mengenal musik. Dalam kehidupan sehari-hari, musik sering kali digunakan sebagai ungkapan dan media komunikasi manusia.[1] Dengan musik orang dapat mengungkapkan maksud dan pendapatnya tentang sesuatu. Sebagai contoh, seorang pria akan menghibur pasangannya yang sedang sedih dengan bernyanyi sambil bermain gitar. Ungakapan bernyanyi sambal bermain gitar ini sebenaranya menunjukan komunikasi bahwa pria itu ingin mengatakan agar wanita pujaanya itu jangan bersedih lagi.
Dalam budaya-budaya tertentu orang menggunakan lagu sebagai bentuk komunikasi untuk mencari jodoh. Sebut saja, dalam budaya Lamaholot terdapat tarian dolo-dolo yang menggunakan nyanyian berpantun. Nyanyian yang berisi pantun-pantun ini dilantunkan secara bergantian antara laki-laki dan perempuan. Bagi kalangan pemuda dan pemudi, hal ini menjadi salah satu media untuk mencari jodoh. Para pemuda dan pemudi akan mengutarakan maksud hati kepada orang yang mereka cintai dalam bentuk nyanyian pantun. Ungkapan hati ini dilakukan pertama kali oleh pemuda kepada pemudi yang dicintainya. Setelah itu pemudi itu harus memberikan balasan pantun kepada si pemuda. Balasan ini berupa pantun yang berisi penerimaan atau penolakan atas ungkapan hati sang pemuda tersebut.
Selain itu orang juga mengunakan musik untuk mengkritik sesuatu. Misalnya lagu-lagu profan saat ini memuat konten-konten yang mengkritik dunia politik. Para penyanyi menyampaikan aspirasi mereka lewat lagu-lagu. Hal semua hal ini mau menunjukan bahwa music merupakan media komunikasi yang sangat berguna.
Musik dalam Sejarah
Musik sendiri sudah ada sejak zaman purba. Misalnya, di Mesir purba pada sekitar tahun 1800 SM, sudah ada semacam koor, di mana puteri-puteri Harem menyanyi di bawah pimpinan seorang imam-syaman, pemuja Dewa Hathor. Di Grika juga sudah ada koor anak laki-laki sejak tahun 600 SM. Koor ini terdiri dari kurang lebih lima puluh anak yang kebanyakan berasal dari keluarga pemuka masyarakat. Mereka menyanyi untuk memuji Dewa Dionisos dan Dewa-Dewi lainnya.[2] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa musik termasuk warisan purba yang tidak termakan oleh waktu. Bahkan kini musik telah menjadi salah satu industri dalam hidup manusia yang sangat menjanjikan.
Dalam Gereja, musik juga sudah ada sejak Gereja purba. Pada saat itu terdapat koor pria maupun wanita. Misalnya ada seorang imam bernama Ephrem di Suria memimpin koor yang terdiri dari putera dan puteri. Namun seirang perkembangan, di banyak tempat gereja mulai melarang adanya koor wanita. puncaknya pada tahun 363 Konsili Laodikaya mengeluarkan dekrit melarang wanita menyani pada saat ibadat. Sejak itu suara wanita mulai kurang terdengar di banding suara pria.[3] Namun di zaman sekarang justru menjadi terbalik bahwa kebanyakan anggota koor di gereja didominasi oleh wanita.
Musik dalam Liturgi Gereja
Dalam kehidupan Gereja, musik digunakan sebagai salah satu bentuk ungkapan dan komunikasi iman. Musik memiliki peran penting dalam Gereja khususnya liturgi. Karena perannya yang cukup penting dalam Gereja, maka kita akan menemukan banyak lagu-lagu dalam liturgi.[4] Bagi Konsili Vatikan II, musik liturgi bukan sekadar selingan atau tambahan dalam liturgi. Musik liturgi merupakan bagian yang penting dan integral. Jadi musik liturgi merupakan liturgi itu sendiri.[5] Konsili Vatikan II juga mengaris bawahi fungsi musik dalam liturgi yakni untuk melayani liturgi. Itu berarti musik liturgi diciptakan untuk melayani dan mengabdi liturgi. Musik liturgi tidak boleh menjadi lebih penting dari liturgi itu sendiri.[6]
Pada hakikatnya musik liturgi bersifat simbolis. Artinya, musik liturgi dapat untuk mengungkapkan peran serta aktif umat untuk membangkitkan suasana bagi tumbuhnya daya tangkap jiwa terhadap Sabda dan karunia Allah dalam liturgi.[7] Di sini kita bisa mengatakan bahwa musik menjadi sarana pengatar bagi pemahaman jiwa.
Konsili Vatikan II menegaskan bahwa dalam wilayah-wilayah tertentu terdapat tradisi dan gaya musiknya tersendiri. Maka Gereja hendaknya menghargai dan menempatkannya dalam liturgi agar umat setempat dapat mengungkapkan iman dengan sifat dan gaya mereka sendiri.[8] Sedangakan untuk mengesahkan lagu-lagu untuk misa dan menilai bentuk musik, melodi, dan alat musik yang diizinkan untuk ibadat menjadi wewenang Konferensi Para Uskup.[9] Tujuannya adalah agar semuanya lebih teratur dan terkontrol.
Selain menampakan nilai inkulturaf, musik liturgi juga mengungkapakan hakikat liturgi akan perayaan misteri Kristus sebagai penyelamat yang sedang dirayakan dalam Ekaristi. [10] Musik mengantar umat akan pemahaman akan iman yang sedang di rayakan. Dengan musik dalam liturgi, umat menyelami misteri Kristus yang menyelamatkan. Dengan demikian kita bisa menympulkan bahwa musik memang sangat penting bagi kehidupan liturgi dalam Gereja.
[1] E. Martasudjita, Liturgi Pengantar Untuk Studi Dan Praksis Liturgi, Yogyakarta, Kanisius, 2011, 190.
[2] G. van Schie, Hubungan Manusia Dengan Misteri Segala Misteri, Jakarta, Fidei Press, 2008, 202.
[3] G. van Schie, 211.
[4] E. Martasudjita, Liturgi Pengantar Untuk Studi Dan Praksis Liturgi, 190.
[5] E. Martasudjita dan J. Kristanto, Panduan Memilih Nyanyian Liturgi, Yogyakarta, Kanisius, 2007, 15
[6] E. Martasudjita, Pengantar Liturgi Makna, Sejarah Dan Teologi Liturgi, Yogyakarta, Kanisius, 1999,139.
[7] E. Martasudjita, Pengantar Liturgi Makna, Sejarah Dan Teologi Liturgi, 139.
[8] Dokumen Konsili Vatikan II, SC 119, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana, Jakarta, Obor, 2013.
[9] E. Martasudjita, Ekaristi Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral, Yogyakarta, Kanisius, 2005, 90-91.
[10] E. Martasudjita, Liturgi Pengantar Untuk Studi Dan Praksis Liturgi, 195.
Mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, program studi Filsafat Keilahian. Pengagum karya Tere Liye. Berasal dari kota Karang, Kupang, NTT.