Opini  

Politisasi Tembok dan Defisit Relasionalitas

Picture by Binanalar

Defisit Relasionalitas

Defisit relasionalitas memperlihatkan realita di mana manusia telah memandang yang lain sebagai yang lain tanpa merasa ada ikatan sosial-emosional sedikitpun. Manusia yang unencumberself, terpisah satu sama lain. Individu yang asosial, atomis, hiperlibertarian. Individu atau subjek semacam ini melihat sesamanya sebagai penghalang kebebasannya.[4] Atau lebih tepatnya mengancam kediriannya. Manusia direduksi hanya sebatas makhluk rasional yang mampu menentukan dan mengarahkan dirinya sendiri secara otonom. Sementara, kodrat manusia itu bukan hanya rasional melainkan juga relasional dan bahkan multidimensional.

Merujuk pada fenomena tembok tadi, hampir bisa dipastikan bahwa ketika manusia atau individu-individu berada dalam domain pemikiran yang “terpisah” satu dengan yang lain; merasa bahwa yang lain menjadi ancaman bagi diri atau kelompoknya, maka besar kemungkinan mereka akan mencoba membentengi dirinya dengan aneka macam cara, salah satunya ialah dengan membangun tembok. Secara sosial-relasional tindakan ini tidak bisa dibenarkan. Apalagi bila hal ini dikaitkan dengan etika dan moral sosial. Selain hanya menimbulkan kecurigaan dan kebencian, juga menjadi ajang di mana “pertarungan senyap” itu benar-benar terjadi. Alih-alih tembok-tembok tersebut dibangun dengan maksud keamanan, kenyataannya menjadi sirkuit baru yang justru dapat memicu pemberontakan di kemudian hari.

Baca Juga:

Roti Hidup: Bekal Menuju Keabadian

Maka, sebagaimana Paus Fransiskus, yang mesti dibangun saat ini bukanlah tembok pemisah yang menghancurkan, yang justru menelantarkan yang lain sebagai sesama manusia, melainkan jembatan penghubung yang mempersatukan. Ingat bahwa meskipun tembok tersebut dibangun  kokoh dan menjulang tinggi, kita tidak akan mungkin merasa benar-benar bebas dan nyaman ketika orang lain di sekitar kita membenci dan menaruh dendam terhadap kita karena kita menutup diri terhadap mereka. Adalah jauh lebih baik bagi kita ialah membuka pintu selebar-lebarnya. Sebab, hanya dengan cara demikian kita bisa benar-benar bebas dan nyaman. Kita hanya menjadi kita sejauh kita berada dalam mereka.


[1] Kristi Sutton, Donald Trump’s Border Wall and Treaty Infringement (Mexican Law Review, Vol. 12, No.1 Ciudad de Mexico: 15 Mei 2020), 12.

Baca juga :  Hal Berpuasa

[2] Meksiko Televisa (18 Februari 2020).

[3] Arthur Danto, Shame and The Problem of Other Minds: Jean Paul Sartre (New York: Los Angeles, 1997) 79.

[4] Michael Sandel, The Tyranny of Merit: What’s Become of the Common Good? (New York: Ferrar, Straus and Giroux,  2020) 211.

Baca Juga:

Semut, Pergilah


Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Filsafat Keilahian Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Sekarang sedang menyelesaikan tulisan akhir. Pengagum Axel Honeth.