Rumah-rumah penginapan, biara, pesantren juga dibangun aneka jenis tembok. Sehingga, hampir tak satupun rumah-rumah elit di Yogyakarta yang tidak dibrendeli tembok di luarnya. Saking banyaknya tembok-tembok itu sampai-sampai antara tetangga terdekat pun tidak mengenal satu sama lain, bahkan hingga puluhan tahun lamanya.
Gejala Krusial Kemanusiaan
Menjamurnya tembok-tembok di hampir seluruh kota besar di dunia terutama di Indonesia memperlihatkan suatu gejala krusial kemanusiaan yang luar biasa memprihatinkan. Tembok-tembok yang dibangun pada kenyataannya hendak mempresentasikan lunturnya relasionalitas dan interkonektivitas nyata manusia dan bergesernya cara pandang manusia terhadap manusia yang lain. Jika dulu Aristoteles menggagas bahwa manusia adalah makhluk sosial, yang selalu ada dan terbuka satu sama lain dalam sebuah polis, maka sekarang mengikuti Sartre, secara negatif bisa dikatakan bahwa sesorang melihat yang lain sebagai neraka bagi dirinya (Hell is other people).[3] Kenyataan ini terbukti ketika kita menyaksikan sendiri berbagai fenomena interaksi sosial akhir-akhir ini, di mana dimensi relasionalitas manusia menjadi kian pudar meski tampaknya aman-aman saja.
Baca Juga:
Adakah Yang lebih Indah Dari Kenyataan?
Perihal relasionalitas ini, bermasalah karena tembok yang dibangun membatasi ruang gerak manusia dalam berelasi. Ruang relasi sosial menjadi tertutup, ekslusif, dan sempit. Orang tidak lagi terbuka dan ingin hidup sendiri di balik tembok. Menjadi atomis, unencumberself – terpisah satu dengan yang lain. Hal ini mengindikasikan bahwa kehadiran yang lain selalu dilihat sebagai ancaman (threat) yang mengganggu kenyamanan diri. Tembok dalam hal ini menjadi representasi faktual situasi manusia zaman sekarang yang suka akan zona nyaman (comfort zone).
Comfort zone di sini, di satu sisi adalah ekspresi eksklusivitas dan di sisi lain adalah ungkapan individualitas. Ini terungkap dalam cara pandang orang terhadap wajah Liyan. Wajah yang lain yang bukan kelompok, suku, etnis, agamanya dan lain sebagainya tampak sebagai “yang lain sama sekali” dari kelompoknya atau The Others. Mereka menjadi yang bukan aku atau bukan bagian dari kita. Mereka adalah kelompok yang berbeda. Politisasi tembok dengan intensi pembatasan itu adalah bukti sekaligus penanda nyata fenomena ini. Eksklusivitas semacam inilah yang sebetulnya menjadi “api” penyulut kebencian.
Lebih dari itu, dari fenomena ini, kita bisa melihat realitas kesenjangan sosial yang semakin parah, yang menyasar orang-orang kecil. Kebanyakan tembok dibangun bukan oleh kalangan bawah (homeless), tetapi oleh mereka yang sudah mapan secara ekonomi-finansial. Dengan itu, realitas disparitas antara yang miskin dan yang kaya menjadi semakin jelas terlihat saat ini. Kaum miskin yang dieksklusi dari tembok mengalami penderitaan yang luar biasa. Selain, karena ketiadaan sumber daya juga karena mereka tertutup dari relasi sosial. Tak ada lagi orang yang memperhatikan mereka jika “orang-orang yang bermodal, yang beruang” menutup diri terhadap mereka. Inilah realitas dunia di mana defisit relasionalitas memang benar-benar terjadi.
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Filsafat Keilahian Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Sekarang sedang menyelesaikan tulisan akhir. Pengagum Axel Honeth